Lagu itu terputus-putus.
Silih berganti dengan derit tambang yang berayun-ayun tegang pada balok kayu.
Arsen memejamkan mata. Alisnya berkerut. Wajahnya menunduk. Jari-jarinya
memetik gitar spruce yang memiliki begitu banyak goresan di tepinya.
Dia bergumam
menyanyikan beberapa nada. Suaranya serak dan sedikit tinggi. “F, f.” Dia
berhenti sejenak. “F, g, a, d.” Lalu, tangannya mengambil sebatang pensil
pendek yang terselip di telinganya. Di permukaan tiang tempat punggungnya
bersandar, dia menuliskan nada-nada tersebut.
“Kenapa kau menulis di
situ?” Alice menggerutu pelan.
Gadis itu mengawasi
Arsen dari kursi ayun di ujung beranda. Pandangannya beralih dari partitur di
pangkuannya. “Kakek baru mengecatnya kemarin.”
Arsen menyeringai. “Oh,
ya. Maaf.” Dia mengembalikan pensil ke telinganya. Jari-jarinya memetik gitar
lagi, mencari-cari nada lagi.
Pandangan Alice masih
tertuju kepada pemuda itu. Sepanjang sore mereka di beranda tersebut, di
belakang rumah mungil bercat krem yang langit-langitnya tinggi. Arsen di lantai
tegel abu-abu agak biru, sibuk dengan gitar tua. Alice di kursi ayun rotan
putih, sibuk membaca. Bayangan mereka membentuk siluet panjang.
“Lagu baru?” Dia
bertanya kepada pemuda itu.
Pemuda itu mengangguk.
“Rock?”
Seperti sebelumnya,
pemuda itu mengangguk.
Alice memberengut. “Aku
tidak akan suka, kalau begitu,” katanya.
“Kau pasti suka.” Arsen
membalas dengan yakin.
“Aku tidak pernah suka
lagu rock.”
“Lagu ini untukmu, jadi
kau pasti suka.”
Derit kursi ayun berhenti.
Petikan gitar tua pun menguasai beranda. Alice membelalak. “H-ha?”
Arsen mengerling ke
arah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya mengedipkan sebelah matanya.
Pipi Alice merona merah
seketika. Dengan kikuk, gadis itu mengangkat partitur tinggi-tinggi hingga
menutupi wajahnya. “Aku tetap tidak akan suka.” Dia mengayun kursinya.
Derit pun kembali
terdengar, silih berganti dengan sepotong lagu yang keluar dari gitar tua.
Lalu, sore berubah jingga. Petang mengintip. Bayangan Alice dan Arsen bertambah
panjang.
Di balik partitur yang dia
gunakan untuk bersembunyi dari Arsen, diam-diam Alice membiarkan bibirnya
melengkung lebar.
* taken from Last Verse (Published title: Song for Alice)
Wow... Nice Postingan mbak... hehe
ReplyDeletePostingannya menarik dan unikkkk
ReplyDeleteoh so sweeeet,,keren nih :)
ReplyDeletesaya suka nama-nama dalam cerita tersebut.. thanks
ReplyDeleteIni dari potongan novel atau tulisan sendiri,, ya..
ReplyDeleteMbak Windry, ditunggu novel barunya lagi, ya :D I'm a big fan of your writings!
ReplyDeleteDitunggu novelnya kak :)
ReplyDeleteWah, sweet sekali, jadi pengen liat Alice. Ditunggu nih novel-novel terbarunya
ReplyDeletesaya suka nama-nama dalam ceritanya... mantab lah
ReplyDeleteCan't wait for the Last Verse kak.
ReplyDeleteSelalu suka dengan karyanya kak Windry.
ReplyDeletebaguss ceritanya...
ReplyDelete