.

.

Old World

Faye

Sejak kecil, barangkali sejak belum bisa mengingat apa-apa, saya sudah senang bercerita. Awalnya, saya bercerita secara lisan, lalu memakai gambar, dan baru tujuh tahun ini menulis.

Saya berasal dari generasi yang menyaksikan permulaan manga dan anime masuk ke Indonesia (ya, sayangnya, saya sudah tua). Kami pembaca pertama Candy-Candy, penonton pertama Doraemon, pendengar pertama L'Arc~en~Ciel. Jadi, sewaktu saya memakai gambar untuk bercerita, hal-hal tersebut tampak jelas.

Ada masanya saya menjadi mangaka--tentunya mangaka amatir. Bersama beberapa penggila budaya Jepang lainnya, saya membentuk kelompok seni. Tetapi, pada dasarnya, kami membuat komik. Masing-masing memiliki cerita, tokoh, dan gaya sendiri-sendiri. Anak-anak lelaki beraliran Amerika, anak-anak perempuan beraliran Jepang. Tetapi, intinya, kami sama-sama membagi selembar kertas A4 menjadi panel-panel, mengisinya dengan gambar, lalu menyelipkan kotak narasi atau balon dialog. Dan, kami sempat menerbitkan komik indie.

Dunia itu saya tinggalkan saat lulus sekolah. Lebih dari sepuluh tahun saya tidak bersentuhan dengan dunia itu lagi. Kini, tiba-tiba, saya merindukannya. Hem, tidak tiba-tiba, sebenarnya. 

Pada akhir 2014, di Ubud, saya terlibat percakapan kecil dengan Syafial--editor Bukune--dan Resita--kepala redaksi GagasMedia. Kami di perjalanan saat itu, di mobil. Syafial mengungkit light novel, genre buku bawaan Jepang, novel ringan dengan ilustrasi adegan di dalamnya.

Saya berkata kepadanya, ide itu menarik. "Pengin menerbitkan novel yang seperti itu, deh." Lalu, Resita menyeletuk, "Orange mau cetak ulang, kan? Dibikin menjadi seperti itu saja." Dan, pembicaraan tersebut tidak lepas dari pikiran saya hingga kami pulang ke Jakarta.

Jadilah saya memutuskan untuk memberi ilustrasi untuk Orange edisi baru. Saya sendiri yang membuatnya. Saya memulai dengan Rera, mewarnainya dengan cat air, dan--oh--siapa sangka hasilnya lumayan. Cukup pantas dipasang di buku. Lalu, tokoh-tokoh lain menyusul: Faye, Diyan, Zaki. Saya juga menyiapkan gambar beberapa adegan yang saya sukai.

Diyan dan Faye dalam Orange

Tetapi, saya pikir, mengapa hanya Orange? Mengapa tidak semua buku? Ide itu kedengaran menarik. Mungkin asyik kalau sejak sekarang buku-buku saya akan diselipi ilustrasi buatan sendiri. Supaya khas. Lagi pula, saya toh memang selalu membuat sketsa tokoh setiap mengeksplorasi ide. Dan, saat saya membahas ini dengan penerbit, editor saya setuju.

Jadi, sepertinya dunia lama dan dunia baru saya sedang melebur. Semoga ini benar-benar bisa terealisasi.

15 comments:

  1. Keren, Kak. 'Supaya khas'. Hem :)
    Sukses terus :)

    ReplyDelete
  2. Walau sudah punya Orange tetep menanti edisi terbarunya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah Orange mau dicetak ulang ya? kapan kah? akhirnyaaa.. susah banget cari novel ini hihihi

      Delete
  3. Wah, setuju sekali, Mbak, bila semua buku Mbak Windry memiliki ilustrasi. Akan unik sekali.
    *berharap nanti suatu saat Mbak Windry juga bisa menulis gambar yang menjadi "kelanjutan cerita" seperti Wonderstruck oleh Brian Selznick supaya lebih beda dari yang lain*

    Sukses selalu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. ide bagus. mungkin bisa dicoba untuk buku berikutnya :D

      Delete
  4. Saya belum berjodoh sama Orange, jadi nunggu banget edisi barunya :D

    ReplyDelete
  5. Mbak Windry, aku dukung idenya. Bisa membuat novelnya jadi lebih menarik dan jadi ciri khas juga. :). Ngomong-ngomong soal Orange, ada manga yang judulnya Orange juga. :).

    ReplyDelete
  6. Aaaaaaaaaaaaaa keren :D. Suka banget deh gambar yang diyan sama faye, btw yg di atas faye itu jeruk apa donat toh?

    ReplyDelete
  7. Ah, betapa beruntungnya penulis yang bisa menggambar.
    Semoga sukses, Windry.

    Salam.

    ReplyDelete