.

.

Song For Alice: Second Chapter



Alice menghirup dalam-dalam uap yang keluar dari cangkir. Gadis itu tersenyum. Dia menyukai aroma bunga di kopinya.

Dia selalu merasa aneh karena ada kopi yang memiliki aroma bunga, tetapi memang begitu kopi dari Bajawa. Dan, dia tumbuh dewasa bersama minuman pahit tersebut. Dia menyeduhnya setiap pagi.

Pagi ini juga. Alice duduk di ruang makan yang dinding-dindingnya bata telanjang, di hadapan meja jati berpelitur terang yang lebih tua dari dirinya. Dia ditemani suara radio buatan tahun sembilan puluhan. Penyiar berceloteh tidak putus-putus. Alice mendengarkan sambil menyesap kopi dan membalik-balik partitur“Fur Elise”.

Halaman-halaman partitur tersebut sudah menguning dan di setiap barisnya terdapat coretan pensil yang hampir memudar berupa angka dan istilah-istilah musik seperti staccato, legato, atau fermata.

Senyum Alice berubah sendu. Jari-jarinya mengusap coretan di partitur dengan perlahan-lahan. Lalu, dia melempar pandangannya ke kabinet di salah satu sisi ruangan. Di sana, buku-buku berbaris rapi dan sebuah foto dengan pigura hitam berdiri bersandar ke dinding.

Foto kakeknya.

Kakeknya berambut putih, memiliki banyak kerutan di kening dan sekitar matanya. Dagunya tirus. Pipinya berbintik-bintik hitam. Tatapannya tampak sedikit lelah.

Tetapi, Alice menyukai tatapan kakeknya. Tatapan lelaki itu teduh dan memberi rasa tenang seperti “Raindrops” Chopin. Alice terbiasa pergi tidur ditemani tatapan lelaki itu saat dia masih kecil. Kini, dia merindukannya.

Alice bangkit dari tempat duduk. Dia menghampiri kabinet. Permukaan foto kakeknya tertutup debu tipis, maka dia membersihkan benda itu.

Dia berkata pelan kepada foto kakeknya, “Kakek tahu? Bulan ini aku mengajarkan ‘Fur Elise’.”
Benda itu tidak membalas, tentu saja. Sebuah foto tidak bisa membalas ucapan.

Alice melanjutkan, “Tapi aku tidak punya partitur yang bersih. Semua penuh coretan Kakek. Bagaimana aku akan mengajar?” Kali ini, dia memakai nada menggerutu dan memanyunkan mulutnya.

Kalau kakeknya masih ada, pasti lelaki itu hanya akan tertawa. Alice merindukan suara tawa kakeknya juga. Sudah dua tahun dia tidak mendengar suara tawa kakeknya.

Sudah dua tahun dia sendiri di rumah yang dinding-dindingnya bata telanjang tersebut.

Dia mendesah. Mendadak, dia disergap kesepian.

Pada saat yang bersamaan, penyiar di radio berkata, “Omong-omong, pagi ini agak mendung, ya? Suram. Supaya kalian semangat, saya akan putarkan ‘Wild Cherry’, oke? Tidak ada yang lebih asyik daripada memulai hari dengan mendengarkan bunyi gitar dan suara seksi Arsen Rengga.” Tepat setelah itu, radio memutar lagu rock yang dimaksud. Suara serak seorang pemuda beradu dengan bunyi drum dan jerit gitar listrik.

Alice diam. Untuk beberapa saat, dia membiarkan lagu tersebut menghidupkan ruang makan. Dia membiarkan suara serak si musisi mengobati kesepiannya. Tetapi, lalu dia mulai merasa gusar. Suara yang sama mulai mengingatkannya pada hal-hal yang tidak menyenangkan.

Dia cepat-cepat mengganti saluran radio. Seketika, lagu rock digantikan berita berbahasa Jepang. Alice tidak memahami bahasa Jepang, tetapi untuk saat ini dia lebih suka menyimak kata-kata asing.

Sambil mencibir, gadis itu melirik foto kakeknya. “Musiknya sekarang tidak bagus sama sekali. Iya, kan? Tidak berkarakter. Seperti bukan dia,” katanya, “empat tahun yang sia-sia.”

Ah. Empat tahun.

Alice tercenung.

Sudah selama itu, rupanya. Dia berbisik sedih dalam hati.


Gadis itu menghabiskan kopinya. Lalu, dia mematikan radio, memasukkan partitur “Fur Elise” ke tas, dan mencari kunci mobil. Dengan sedan tua berwarna laut peninggalan kakeknya, gadis itu pergi dari rumah.

Dia membawa kendaraan tersebut menyusuri jalan-jalan Bintaro yang lengang dan rapi. Di kanan-kirinya, pohon-pohon berpucuk merah. Udara hangat meskipun langit di luar jendela digelayuti awan-awan kelabu.

Tidak lama, kendaraannya berhenti di pelataran parkir sebuah plaza, tepat di hadapan bangunan memanjang yang terdiri dari banyak toko lama, yang atapnya telah menghitam dan sebagian catnya mengelupas.

Toko milik Alice berada di ujung. Sisi depannya putih—bukan putih bersih—dengan gambar piano di jendelanya yang tinggi dan lebar. Tetapi, sebenarnya, itu bukan toko. Itu tempat anak-anak berkenalan dengan nada, melodi, dan komposisi; juga dengan piano, gitar, dan drum. Kakeknya yang mendirikan tempat itu.

Nama tempat itu diambil dari istilah musik. Lilt. Ritme yang riang. Supaya—kata kakeknya—siapa pun yang datang ke tempat itu, dia akan bermain musik dengan riang.

Alice masuk ke Lilt, lalu menyalakan lampu. Sebelumnya, dia menyempatkan diri memungut amplop-amplop yang tergeletak di depan pintu. Lobi kosong. Baru dia yang datang. Pagi ini, memang hanya akan ada dia di tempat itu. Dia memberhentikan resepsionisnya beberapa hari lalu. Dia masih punya pengajar gitar dan pengajar drum, tetapi mereka datang apabila diperlukan saja.

Oh, salah. Dia juga sudah memberhentikan pengajar drum. Ah, bukan. Pengajar itu yang meminta berhenti. Jadi, sekarang, dia hanya punya pengajar gitar.

Tetapi, Lilt bukan sekolah musik besar. Untuk sementara, satu pengajar gitar dan satu pengajar piano—Alice sendiri—dia anggap cukup.

Setelah menaruh tasnya di loker, Alice membersihkan lantai lobi. Dia juga membersihkan empat ruangan lainnya—satu ruang belajar bersama dan tiga ruang belajar privat. Dia mengelap meja dan piano, dan merapikan kursi-kursi. Lalu, dia membalik papan bertuliskan “close” yang bergelantung di jendela menjadi bertuliskan “open”.

Pukul sembilan tepat. Alice mengambil tempat di meja resepsionis. Dia membuka satu per satu amplop-amplop yang dia temukan tadi. Amplop pertama berisi tagihan listrik. Amplop kedua berasal dari pengelola plaza, berisi tagihan juga. Amplop ketiga dan keempat kurang lebih sama, semua menginginkan uang darinya. Baru Alice ingat, ini awal bulan. Dia pun menggerutu tanpa suara.

Gadis itu mengeluarkan buku putih tebal dari laci. Dia memeriksa jadwal yang tertera di dalamnya. Telunjuknya menelusuri salah satu halaman buku tersebut dari baris paling atas, lalu berhenti di baris paling bawah.

Kelas gitar, privat. Pukul 15.00

Itu satu-satunya tulisan yang tertera di halaman tersebut. Satu-satunya kelas hari ini.

Alice menggigit bibir. Dia mengetukkan telunjuknya dengan lesu. Selain kelas gitar itu, dalam sepekan ini hanya ada dua kelas piano pada Minggu siang dan satu lagi kelas gitar pada Selasa sore. Bagaimana dia akan membayar semua tagihan?

Dia menatap ke arah pintu. Lalu, dia diam. Dia menunggu—atau berharap—seseorang masuk melewati pintu itu. Ini Sabtu. Hari yang pas bagi para orangtua untuk membawa anak-anak mereka ke sekolah musik. Siapa tahu. Dia boleh berharap, bukan?

Tetapi, sampai matanya lelah mengawasi pintu itu, Lilt tetap sepi. Di luar sana, orang-orang berlalu-lalang. Tidak ada yang mampir ke sekolah musik miliknya.

Barangkali, karena sofa hijau usang dekat jendela—dahulu warnanya cerah dan memikat. Atau, karena lantai kayu Lilt yang kusam, yang sudah saatnya dipoles ulang. Atau, karena kertas dinding-dindingnya yang pudar. Atau, karena noda cokelat di sudut langit-langit—air merembes dari atap setiap hujan turun lebat. Alice berusaha merawat Lilt dengan baik selama ini, tetapi ada hal-hal yang tidak bisa melawan waktu. Barangkali, karena itu.

Dan, menunggu mulai membuatnya bosan. Jadi, dia pergi ke dapur untuk menyeduh kopi—untuk mengusir rasa bosan. Gadis itu bisa minum tiga sampai empat cangkir kopi dalam satu hari, terlebih jika harinya tidak menyenangkan. Jika gadis itu tidak minum kopi sama sekali, dia yang menjadi tidak menyenangkan sepanjang hari.

“Halo. Permisi.”

Sewaktu dia kembali ke lobi, seperti harapannya, pintu Lilt terbuka. Alice cepat-cepat menaruh kopinya di meja agar dia bisa menyambut tamu yang datang. “Silakan masuk,” sahut Alice. Suaranya lantang dan bersemangat. Sayangnya, yang masuk melewati pintu itu kemudian adalah lelaki pemilik toko sebelah.

“Saya ingin pinjam faksimile. Boleh?” tanya lelaki itu.

SemangatAlice langsung surut. Dia memaksakan segaris senyum di bibirnya.Tangannya menunjuk perangkat elektronik lama di atas kabinet dekat tempat dia berdiri.

Lelaki pemilik toko sebelah menghampiri perangkat elektronik tersebut. “Ada yang mau mengirim sesuatu kepada saya,” katanya, “sekarang sudah jarang yang pakai faksimile, jadi saya tidak menyimpannya lagi di toko.” Dia tertawa kecil.

Alice melirik faksimile yang mereka bicarakan. Dia sendiri tidak pernah menggunakan benda itu lagi. Walau begitu,dia masih menyimpannya.

“Berapa nomor faksimile ini?”

“Tertulis di situ.”

“Ah, 531… ini normornya?”

Alice mengangguk. Dia memberikan kopi yang semula dia seduh untuk dirinya sendiri kepada lelaki pemilik toko sebelah. Lalu, dia menjauh ke sofa dan membiarkan lelaki itu menggunakan faksimile.

Pandangan lelaki itu menyapu lobi Lilt. Sambil menyandarkan tangannya ke kabinet, lelaki itu mendesah. “Tempat ini dulu ramai sekali, ya. Kakekmu punya banyak murid. Anak-anak kecil lari-lari. Mereka bawa partitur dan bernyanyi-nyanyi.”

Pandangan Alice ikut menyapu lobi Lilt. Bayangan anak-anak kecil berlari-lari membawa partitur muncul di kepalanya. “Ya,” jawabnya.

“Antara senang dan sedih kalau ingat itu. Situasi sekarang jauh beda, ya. Resesi membuat kita susah.”

“Ya,” jawab Alice lagi. Tanpa dia sadari, raut wajahnya berubah muram.

Sampai beberapa tahun lalu, anak-anak kecil masih berlari-lari di lobi Lilt, membawa partitur, bernyanyi. Lilt seperti lilt seharusnya. Riang. Hidup. Tetapi, itu sebelum ekonomi negara ini memburuk beberapa tahun belakangan terkena imbas krisis ekonomi global, sebelum musik menjadi sesuatu yang mewah.

Faksimile berdering. Menyusul, secarik kertas berisi sebuah pesan yang ditunggu-tunggu oleh lelaki pemilik toko sebelah keluar dari perangkat elektronik itu.

“Bulan ini, toko buku di ujung tutup.”

Alice menatap lelaki pemilik toko sebelah. “Maksud Anda—”

Lelaki itu mengangguk. “Selamanya tutup. Sayang sekali, ya. Tapi, mereka memang sudah lama rugi. Toko pecah-belah dekat pos satpam juga. Bulan kemarin, mereka yang tutup. Bulan kemarinnya lagi, kedai kopi di seberangnya. Saya rasa, tidak lama lagi, plaza ini akan mati.”

Mati. Alice menggigit bibir dengan cemas.

Lelaki pemilik toko sebelah buru-buru meminta maaf. “Ah, saya tidak bermaksud membuatmu khawatir. Banyak toko tutup, tapi kita harus bertahan,ya? Cepat atau lambat, resesi pasti akan berakhir. Saya percaya.”

Faksimile selesai mengetikkan pesan. Lelaki pemilik toko sebelah mengambil semua kertas yang dikeluarkan perangkat elektronik itu, meminum kopi yang disuguhkan Alice, lalu meninggalkan Lilt setelah mengucapkan terima kasih.

Alice kembali ke meja resepsionis. Dia sudah menyeduh kopi baru. Kedua sikunya di meja. Tangannya memangku dagu. Matanya menatap ke arah pintu. Tetapi, kali ini dia tidak menunggu seseorang masuk melewati pintu itu.

Dia melamun.

Dia membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu, ke satu sore yang panas dan lembap, ketika dia melihat seorang anak lelaki berambut biru duduk di teras Lilt dengan sepasang penyuara Walkman di telinga.

*

Itu Sabtu juga, Alice ingat. Lilt ramai sekali. Semua kelas terpakai dan lobi dipenuhi para orangtua yang menunggu anak-anak mereka selesai belajar musik. Sabtu, tiga belas tahun lalu.

Alice duduk di tepi lobi, di kursi kayu kecil berwarna kuning agak hijau yang selalu ditempatinya setiap dia menemani kakeknya di Lilt. Dia memangku partitur. Jari-jarinya yang mungil mengetuk-ngetuk seperti menekan-nekan tuts piano. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri bergantian. Di benaknya, dia sedang memainkan lagu.

Tetapi, dia tidak bermain sendiri. Dari balik pintu-pintu kelas yang tertutup rapat, samar-samar dia bisa mendengar nyanyian lugu yang berusaha tidak sumbang, atau denting piano waltz yang kikuk, atau lantunan biola tersendat, atau pukulan drum yang tidak terkendali. Dia bermain ditemani suara-suara itu.

“Kau membuat lagu lagi, Al?”

Jari-jari Alice berhenti. Dia menoleh kepada perempuan muda berkulit pucat di lobi yang memanggilnya. Perempuan itu merunduk di depan rak buku, tampak mencari-cari sesuatu. Wajah Alice langsung berubah merah. Dia menggeleng keras-keras. “Tidak, Al tidak sedang melakukan apa-apa.”

Lawan bicaranya tersenyum. Alice tambah tersipu-sipu. “Apa judul lagu barumu kali ini?” tanya perempuan itu lagi.

Malu-malu, akhirnya, Alice menjawab, “'Jutaan... Bintang'.” Dia menunduk menyembunyikan wajahnya.

“Hem. Pasti bagus, ya. Tante ingin dengar kapan-kapan, boleh?”

Alice mengangguk. Dia membiarkan perempuan itu membelai rambutnya. Lalu, lewat ekor matanya, Alice memperhatikan perempuan itu masuk ke kelas.

Tante Rae. Begitu Alice memanggil perempuan itu. Salah satu pengajar di Lilt.

Alice sangat menyukainya.Tante Rae seperti peri di kartun Pinokio. Cantik sekali. Hanya dengan menatap wajah perempuan itu, Alice akan tersipu-sipu. Perempuan itu juga anggun, gerakannya halus dan gemulai. Permainan pianonya indah. Alice senang mendengarkan “Love’s Greeting” perempuan itu.

Dan, sekarang, permainan piano perempuan itu menari-nari di benak Alice. Jari-jari mungil Alice kembali mengetuk-ngetuk. Kepalanya kembali bergerak ke kanan dan ke kiri bergantian. Mulutnya menggumamkan “Love’s Greeting”.

Tetapi, lalu tiba-tiba dia berhenti. Sesuatu di balik jendela lobi mencuri perhatiannya. Seseorang. Anak lelaki.

Anak itu duduk di teras Lilt, di lantai. Satu kakinya lurus sementara kakinya yang lain menekuk. Punggungnya bersandar ke dinding. Dia, anak itu, mengenakan kaus dan celana jin hitam. Rambutnya biru, berantakan, dan berdiri kaku. Di telinganya, ada penyuara.

Alice mengerutkan alis. “Siapa?”Tanpa sadar, dia bertanya. Barangkali, anak itu salah satu murid Lilt. Tetapi, kalau memang murid Lilt, mengapa dia tidak masuk? Kelas sudah dimulai sejak tadi. Lagi pula, di luar panas. Luar biasa panas, bahkan. Saat ini pukul empat. Matahari masih terik. Alice melihat anak di teras Lilt itu berkeringat hebat. Wajah dan leher anak itu basah. Walau begitu, sepertinya dia tidak terganggu. Dia asyik menggoyang-goyangkan Walkman dalam genggamannya. Kepalanya mengangguk-angguk. Matanya terpejam. Bibirnya bergerak-gerak tanpa suara, sesekali tersenyum lebar.

“Lagu apa?” Lagi-lagi, Alice bertanya.

“Sedang bicara dengan siapa, Alice?”

Alice melompat dari kursinya. Suara kakeknya membuat dia terkejut. Partitur di pangkuan Alice sampai jatuh.

Kakeknya menegur dari meja resepsionis. Lelaki itu menunggu jawaban sambil menatapnya dan mengangkat alis.

Alice melirik anak lelaki di teras. Kakeknya melakukan hal yang sama, lalu tersenyum. “Oh. Kau baru sekali ini melihatnya, ya? Dia anak Tante Rae,” kata kakeknya kemudian.

“Anak... Tante Rae?” Mata Alice membelalak. Dia tidak menyangka dan... sedikit kecewa.

“Namanya Arsen.”

Arsen.

“Sana, sapa dia. Kalian sebaya, cuma beda dua tahun.”

Alice cepat-cepat menggeleng. Gadis itu kembali duduk memangku partitur. Tetapi, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan anak lelaki Tante Rae. Setelah dilihat-lihat, anak itu memang mirip Tante Rae. Matanya, hidungnya, bibirnya; tetapi hanya itu.

Sisanya tidak mirip. Sisanya mengecewakan. Mengapa Tante Rae yang seperti peri memiliki anak lelaki yang seperti... seperti—Uh. Alice tidak menyukai rambut biru anak itu. Memang tidak seluruh rambut anak itu biru, hanya sebagian di dekat kening dan telinga, seperti semburat. Tetapi, tetap saja. Biru.

Alice menjulurkan lidah. Dia memutar kursinya ke arah lain, mendengus, lalu mulai mengetuk-ngetukkan jari-jarinya dan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri lagi, berusaha melupakan anak lelaki di teras Lilt.

Ketika itu, dia berumur sembilan tahun. Arsen sebelas tahun.


(Note: this is the unedited version of Song For Alice second chapter)

6 comments:

  1. hai kak, terima kasih sudah sharing.

    ReplyDelete
  2. aaaa,,, bagus,, ga sabar nunggu lanjutannya

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Terima kasih. Baca cerita lengkapnya di buku Song For Alice, yaaa :)

      Delete