.

.

[Virtual Book Tour Parent's Stories] Balerina dan Jendela di Sudut Mikrolet



Tulisan saya kali ini adalah cerita sederhana yang ingin saya bagi setelah membaca Parent’s Stories Adhitya Mulya—buku terbaru PandaMedia.

Ini cerita orangtua. Saya si orangtua itu. Sebagian pembaca saya sudah tahu, walau banyak juga yang tidak, bahwa saya seorang ibu. Gadis kecil saya, Balerina, berumur enam tahun lebih sedikit. Dia lucu, manis, aneh, dan menjengkelkan pada saat yang bersamaan. Oh, dan di akhir cerita, kalian bisa mendapatkan buku Adhitya Mulya!

Nah, cerita saya dimulai dengan pertanyaan.

“Kita mau ke mana?” Pertanyaan pertama. Datang dari Balerina. Ditujukan kepada saya pada satu pagi.


Kami sedang menyusuri jalan kompleks. Tangan saya yang besar menggenggam tangannya yang kecil. Saya menjawab, “Kita ke rumah Yangti, ya.” Yangti, panggilan Balerina untuk ibu saya.

Balerina tersenyum lebar dan mengedip-ngedipkan mata. Seperti itulah dia kalau senang. “Naik apa?” Pertanyaan kedua.

“Angkutan umum,” jawab saya lagi.

Saya lihat senyum Balerina langsung kisut. “Lama, nggak?” Pertanyaan ketiga.

“Pertama, mikrolet putih. Lalu, mikrolet merah. Terakhir, bus oranye.” Itu berarti perjalanan kami akan cukup lama.

Dia mendesah. Mulutnya maju. “Panas, nggak?” Pertanyaan keempat.

“Mikrolet nggak punya AC.”

Mulutnya tambah maju. “Nanti aku keringatan.”

“Ya, nggak apa-apa. Sampai rumah Yangti, kamu bisa mandi.”

Dia mendesah lagi. Walau begitu, dia berkata, “Oke.”

Sesekali, saya memang mengajak Balerina naik angkutan umum. Di tempat tinggal kami di Bintaro, para ibu membawa anak mereka naik mobil pribadi—ada juga yang naik motor. Itu yang wajar. Yang naik angkutan umum tidak banyak, biasanya mahasiswa, asisten rumah tangga, pensiunan yang berhemat, atau—yah—saya.

Kehidupan kami, sih, baik. Mobil pribadi ada. Tetapi, saya pikir, Balerina perlu kenal angkutan umum. Jadi, dia punya pilihan. Dia tidak terlalu bergantung pada mobil pribadi. Dia bisa mandiri. Dan, dengan menjadi mandiri, dia dapat kesempatan untuk berkembang.

Saat kita menjadi orangtua, barangkali tidak ada yang kita khawatirkan selain memberikan yang terbaik untuk anak. Saya bisa memberi Balerina kemudahan-kemudahan dalam hidup: pengasuh, sopir yang mengantarnya ke mana-mana, semua barang yang dia mau. Tetapi, yang terbaik yang bisa saya berikan kepada Balerina adalah pilihan.

Terkadang, ada saja yang mempertanyakan keputusan saya. “Memang, dia bisa naik angkutan umum? Nggak apa-apa, tuh?” Ada yang sulit membayangkan buah hati mereka berada dalam situasi tidak nyaman.

Oke, balik ke cerita, Balerina menarik-narik tangan saya saat satu dari rangkaian angkutan umum yang akan mengantar kami ke rumah Yangti muncul di kejauhan. “Ma, Ma, mikrolet putih,” katanya.
Saya menyetop mikrolet putih tersebut, lalu kami naik.

Balerina selalu duduk dekat jendela. Dia tidak suka kepanasan. Jadi, dia akan membuka jendela itu dan membiarkan angin mengibar-ngibarkan rambutnya. Saya memperhatikan dia sambil diam-diam tersenyum gemas.

Yah, angkutan umum memang tidak senyaman mobil pribadi. Bukan hanya panas. Seringnya juga berdebu dan lambat, dan kita harus berbagi ruang dengan banyak orang yang tidak kita kenal.

Tetapi, kalau kita memberi anak kita kesempatan, mereka akan cari cara sendiri agar merasa nyaman di angkutan umum. Seperti Balerina yang sekarang memejamkan mata meresapi udara sejuk yang masuk lewat jendela di sudut mikrolet.

Hem. Sejauh ini, dia baik-baik saja.


---------------------

Berbagi cerita sudah. Sekarang, saya akan berbagi Parent's Story, buku terbaru Adhitya Mulya terbitan PandaMedia. Saya punya satu eksemplar untuk satu pembaca.

Cara mendapatkannya mudah. Cukup kemukakan pendapat kamu mengenai cerita saya di atas di kolom komentar. Kamu juga boleh menceritakan pengalaman pribadi kamu yang berhubungan dengan cerita di atas. Sebutkan nama lengkap dan kota tempat tinggal kamu, yah, di akhir komentar.

Pendapat kamu saya tunggu sampai 6 Maret 2016 pukul 21.00. Pemenang akan diumumkan pada hari berikutnya.

Selamat bersenang-senang. Semoga kamu beruntung!

11 comments:

  1. Setiap orang tua memang memiliki pilihan untuk mendidik anaknya ya. Tapi kadang sebagai orang tua memang dituntut untuk melakukannya dengan cara yang berbeda. Salah satunya seperti cara Mbak Windry di atas. Saya yakin, kelak Balerina akan mengerti mengapa ia harus sesekali mencoba naik angkut.

    Saya sendiri tipe anak yang cukup manja. Tidak pernah jauh dari orang tua sebelum menikah. Setelah menikah saya langsung diboyong suami ke Surabaya. Dan sekaranglah saatnya saya benar-benar mandiri. Terkadang menyesali beberapa hal yang dulu tidak saya lakukan sendiri. Ya dengan kata lain masih mengandalkan orang tua. Tapi dari sini saya belajar. Barangkali ketika saya punya anak, sesekali saya harus melibatkan dia untuk semisal membantu orang tuanya. Atau memberi dia sebuah pelajaran lewat hal-hal yang perlu pengorbanan untuk mendapatkannya :)

    Ade Delina Putri
    Surabaya

    ReplyDelete
  2. Sepakat dgn cara mbak Windry mendidik Balerina. Kalau anak diberi kenyamanan terus dia nggak bakalan bisa hidup survive.

    Toh nyatanya kehidupan yang kita jalani selalu ada masa enak dan nggak enaknya. Masa diatas dan dibawah. Dengan mengenalkan sejak dini, anak akan semakin siap dengan kehidupan yang makin kompetitif.

    Aku sendiri mendapatkan didikan seperti itu dari orang tua. Sekarang merasa beruntung. Nggak pernah mengeluhkan kehidupan yang dilalui. Nggak enak ya dijalani,seneng ya disyukuri.

    Ika Koentjoro
    Jogja

    ReplyDelete
  3. Sepakat dgn cara mbak Windry mendidik Balerina. Kalau anak diberi kenyamanan terus dia nggak bakalan bisa hidup survive.

    Toh nyatanya kehidupan yang kita jalani selalu ada masa enak dan nggak enaknya. Masa diatas dan dibawah. Dengan mengenalkan sejak dini, anak akan semakin siap dengan kehidupan yang makin kompetitif.

    Aku sendiri mendapatkan didikan seperti itu dari orang tua. Sekarang merasa beruntung. Nggak pernah mengeluhkan kehidupan yang dilalui. Nggak enak ya dijalani,seneng ya disyukuri.

    Ika Koentjoro
    Jogja

    ReplyDelete
  4. Cerita mbak windry mengingatkan saya pada sosok Ayah saya yg dibalik sikap tegas & slalu mengajarkan anaknya hidup mandiri, diam-diam ia adalah seorang ayah yg sangat perhatian. Saat itu saya seorang mahasiswi & hobi berjualan untuk sekedar menambah uang jajan. Suatu hari saya mendapatkan orderan yg lumayan besar & kebetulan tempat yg perlu dijamah cukup jauh. Saya cukup kerepotan saat mengemas barang & pasti akan sangat merepotkan saat saya harus menempatkannya ke motor ( saya biasa pergi ke kampus & cod barang pesanan mengendarai motor). Sebetulnya saya sangat berharap bapak menawarkan diri mengantarkan saya menggunakan mobil pribadinya. Tapi rasa2nya tidak mungkin mengingat bapak kurang suka dengan hobi saya berjualan. Alasannya bukan apa-apa melainkan karena takut mengganggu jam kuliah saya. Saat saya masih sibuk mengepak barang, tiba-tiba mamah datang dan berkata "ini semuanya mau dianterin sekarang pake motor kak(panggilan keluarga kepada saya)?" Sambil sedikit terkesima melihat barang orderan yg sedang saya packing. "Iya mah, bapa mau ngga ya nganterin kaka?" Tanyaku pada mamah. "Tar coba mamah tanyain" jawabnya.
    'Semoga bapa mau Ya Allah' gumamku dalam hati. Tepat dugaan saya, lewat pesan mamah saya tau kalau bapa tidak akan mengantarkan saya. Saya sempat bergumam "Ah, tega banget" saat itu. Ternyata mengepak barang bukan hal mudah, apalagi sambil menahan jengkel karna tidak diantar bapa. Sebagai wujud rasa marah saya, saya diam seribu bahasa & mengabaikan bapa saya. Masih sambil mengepak barang yang "aah masih saja tidak bisa muat disimpan dimotor". Singkat cerita, tiba2 tanpa basa basi bapa mengobrak abrik kardus yang saya gunakan untuk mengepak barang & merobeknya. Alhasil, bapa berhasil mengepak barang saya & menyimpannya dengan aman diatas jok scoopy merah saya. Yaaa, kalaupun pada akhirnya tetap tidak diantar, bapa membantu saya mengepak barang dengan baik. Sambil mengepak barang bapa sempat menjelaskan prinsip untung rugi & mengajarkan saya untuk bisa mengedepankan prioritas. Setelah lama berpikir diperjalanan, akhirnya saya tahu maksud dibalik sikap bapa. Dari kejadian tersebut saya berkesimpulan bapa ingin menunjukkan pada saya apapun keputusan yang sudah kita ambil pasti ada konsekuensinya & bapa tidak mau saya menjadi pengecut yang tidak berani menghadapi pilihan hidupnya sendiri. Sesekali manusia memang perlu merasakan kesulitan agar tahu caranya bersyukur & tetap survive.

    Himayatul Millah
    Jl. Gatot subroto km.7 Kota Tangerang 15136

    ReplyDelete
  5. Waktu sekolah dulu, saya iri melihat teman-teman saya yang pergi dan pulang sekolah/les diantar-jemput oleh orang tua/pembantu mereka. Sementara saya harus berangkat pagi-pagi supaya nggak ketinggalan angkot, dan berjalan pulang saat terik menuju jalan besar atau pangkalan angkot. Di dalam harus berdesak-desakan dan kepanasan karena jam pulang sekolah pasti penumpannya banyak. Belum lagi kalo les pulangnya sore/maghrib. Sampai saya merasa orang tua saya nggak peduli sama saya.

    Sekarang, saya mensyukuri hal tersebut karena jadi nggak mudah mengeluh dan percaya bahwa segala sesuatu yang kita mau harus didapatkan dengan berusaha.

    Fitriana N
    Cirebon

    ReplyDelete
  6. well, bahkan saya belum jadi orang tua mbak windry*.
    saya nggak tau bagaimana cara yang baik untuk jadi orang tua. yang saya lihat hanya bahwa betapa orang tua saya udah begitu berusaha memberi segala yang terbaik buat saya.
    ada kutipan favorit saya di tulisan mbak windry di atas.
    "Saat kita menjadi orangtua, barangkali tidak ada yang kita khawatirkan selain memberikan yang terbaik untuk anak ...... Tetapi, yang terbaik yang bisa saya berikan kepada Balerina adalah pilihan."

    memberi pilihan. ini yang paling saya sepakat. dengan begini, orang tua menunjukkan rasa percaya bahwa sang anak mampu memilih apa yang baik bagi dirinya, namun tetap pada koridor pengawasan orang tua.
    saya pikir, ini yang terkadang kurang disadari sebagian besar orang tua. rasa terlalu ingin melindungi, mungkin membatasi rasa percaya para orang tua, bahwa sang anak seharusnya bisa melakukan banyak sekali hal, jauh lebih banyak dari yang kita pikirkan. semua kesempatan bagi sang anak, berawal dari rasa percaya orang tua.
    ini, adalah apa yang saya dapet pas baca "sabtu bersama bapak"nya kang adhit. such an awesome novel....

    note: * disini maksud saya adalah bahwa saya secara harafiah belum menjadi orang tua seperti mbak windry, bukan menjadi orang tua dari mbak windry. just in case barangkali ada yang salah paham...


    Dani Ridzal Safii
    Jayapura

    ReplyDelete
  7. Wah sharing yang menarik.
    Saya setuju dengan cara mendidik spt itu.
    Kalo orang jawa bilangnya,

    "Ojo kabeh kabeh dipenging, engko malah gopok anakke"
    Artinya anak jangan tll nggak boleh ini, nggal boleh itu (tll khawatir) , nanti anaknya malah rentan alias rapuh."

    Saya hidupnya di kampung mbak, dari kelas 4 sudah diajarkan nyuci baju sendiri dan naik taksi (sebutan angkot di palembang) sendiri.

    Lepas SD, malah disuruh merantau jauh, ke yogya, hidup di asrama, di kost, semua dilakukan sendiri.
    Alhamduliah saya dan empat adik saya tumbuh menjadi pribadi mandiri yang nggak takut melakukan segala sesuatunya sendiri.

    Saya yakin Balerina sudah mendapatkan pengasuhan yang benar dengan mengenalkan hal hal umum spt naik angkot.


    YUNITA HENTIKA.
    Surabaya, 60194

    ReplyDelete
  8. Mbak Windry, saya baru tahu kalau mbak sudah bisa dipanggil "ibu"! Dan, Balerina, nama yang sungguh cantik, sampaikan salam saya untuknya. :D

    Saya ikut tersenyum gemas membayangkan bagaimana angin dari celah jendela mikrolet memainkan anak rambut Balerina. Saya pikir, keputusan Mbak Windry untuk selalu memberikan pilihan bagi buah hati merupakan hal yang bijaksana. Melalui pilihan, anak akan belajar mengenai tanggungjawab dan kelak mengerti bahwa ada berbagai hal di dunia ini yang meskipun mulanya tidak kita suka, sebenarnya membawa manfaat yang tiada terkira.

    Ayah dan almarhumah ibu saya juga menerapkan hal serupa: membuka kesempatan seluas-luasnya bagi saya serta kedua adik saya untuk mencoba berbagai pilihan. Kami diperbolehkan mengambil risiko, dengan tujuan melatih tanggungjawab. Tak lupa, fungsi kontrol tetap dijalankan oleh orangtua.

    Kini, setelah ibu tiada, saya mengambil peran seorang ibu di rumah. Mendidik dua orang adik perempuan ternyata tidaklah mudah. Karenanya, tiap kali membaca artikel tentang parenting, saya berusaha mencatat setiap poin penting di dalamnya dan mencoba menerapkan pada kedua adik saya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Faktanya, saya seorang mahasiswa semester dua yang menganggap parenting adalah keahlian yang penting. Ada seni dalam parenting yang dapat dipelajari sejak jauh-jauh hari, sebagai modal ketika membangun rumah tangga, dan tentunya berguna untuk buah hati saya nanti. :)

    Salam hangat,
    Sekar
    Yogyakarta

    ReplyDelete
  9. Aku merasa mamaku dulu mungkin sama seperti Mbak Windry kepada Balerina. Pada hari-hari tertentu ketika aku libur sekolah, mama sering mengajakku ke kantornya dengan naik ojek dan angkot. Mungkin mama ingin sesekali membuatku terbiasa dengan rutinitas kesehariannya sejak pagi hingga pulang kantor. Bahkan aku ikut masuk ke dalam pasar becek nemenin mama belanja sore hari. Dari sini aku cukup bisa mengerti jika mama nggak sempat masak siang hari karena memang beginilah adanya. Dan aku juga mengerti mengapa mama lebih suka masak pagi-pagi buta dan menyediakan lauk yang sudah dingin di siang hari.

    Naik kendaraan umum adalah sesuatu yang langka bagiku karena sejak TK sampai SD aku pergi ke sekolah dengan jalan kaki. Menurutku pengalaman naik angkot itu menyenangkan karena aku bisa melihat ramainya jalanan dan hiruk pikuk orang dari pasar. Di satu sisi aku bersyukur karena aksesku ke sekolah terbilang sederhana. Aku hanya butuh naik ojek untuk ke SMP & SMA dulu. Nggak pernah merasakan hectic-nya pagi dengan rebutan angkot. Tapi di satu sisi aku pun menyayangkan karena setelah gede begini aku masih nggak bisa hapal rute angkot untuk ke tempat tertentu. Aku sering nyasar. Tapi ternyata ada yang lebih parah dariku karena temanku malah ada yang sama sekali nggak tau harus naik angkot apa untuk ke mana-mana.

    Ada kalanya seorang anak memang tidak harus selalu diberi fasilitas terbaik misalnya antar jemput, karena bagiku memang lebih baik jika anak bisa dibiasakan mandiri sejak kecil. Dibiasakan untuk tidak selalu instan dan dilayani. Lagipula aku sering sebal kalau lewat depan sekolahan di jam pulangnya, pasti macet gara-gara banyaknya mobil jemputan yang bertumpuk. Pfffttt~

    Cahya - Palembang

    ReplyDelete
  10. Soal memberi pilihan, saya setuju dan itu inspiratif buat ibu-ibu lain. semoga banyak yang membaca tulisan ini :)
    sepakat, anak memang harus diberikan berbagai pilihan sehingga pikirannya terbuka dan ia bisa mensyukuri apa yang sudah ia dapatkan, kemudahan yang sudah diberikan. Dengan berbagai pilihan tersebut ia juga bisa belajar menyesuaikan, sebagaimana Balerina yang ternyata bisa membuat nyaman dirinya di angkot yang semula dikira tidak nyaman dsb. Sama mbak Windry, saya perkenalkan Janitra (3,5 th) pada berbagai pilihan. mengambil contoh di atas, kalau mudik ke tempat nenek yang jauhnya 20 menitan, biasanya diantar motor sama bapak, sekali-kali saya ajak naik angkot dan berganti dengan becak. Buat anak saya, hal tersebut justru pengalaman yang menarik. Bertemu dengan orang-orang baru dan kadang anak sekolah di angkot bagi Janitra hal yang seru. Mengamati hal-hal di luar jendela adalah hal yang menarik,lebih-lebih naik becak. Ia merasakan naik becak seperti dalam lagu anak-anak yang sering dinyanyikannya. Begitu perjalanan dengan berjalan kaki dari rumah ke tepi jalan raya. Capek tak dirasakannya. Kita menyangka anak-anak merasakan capek, tapi anak punya daya tangguh sendiri nyatanya. Sekali-kali bapaknya mengantar dengan mobil, fasilitas dari kakungnya. pengalaman-pengalaman baru tersebut bisa kita eksplorasi dengan bertanya-jawab mengenai hal yang dirasakannya.
    Untuk acara jalan-jalan pun, kami sejak dini perkenalkan ia dengan berbagai pilihan. Sebagai contoh bersepeda bersama--diboncengin bapak--- kami perkenalkan ia rute kota dan berkenalan dengan desa dengan menjelajahinya. Lain pekan kami ajak ia berenang. Ada kalanya ia kami ajak ke pantai, alun-alun kota dan sekali-kali bersenang-senang ke taman bermain. Namun frekuensi mengenal alam lebih sering kami lakukan supaya ia bisa belajar banyak. Capek dan panas ia rasakan, namun diujungnya, ia akan merasakan kesenangan dan pengalaman yang berbeda.
    Berbagai pengalaman dari pilihan yang diberikan orang tua, seperti halnya mbak terhadap Balerina sangat perlu sebagai 'bekal' sebab hidup berputar, ada kalanya berada di zona nyaman, ada kalanya keluar dari zona nyaman. Belajar menyesuaikan diri yang sudah dipersiapkan orang tua secara tidak langsung (sebab anak mempelajarinya sendiri) seperti cerita di atas adalah bekal menghadapi tantangan hidup. Sebab hidup adalah pilihan, anak akan siap menghadapinya ketika orang tua sudah terbiasa memberikannya pilihan dengan berbagai konskuensi yang menyertainya. Yan kan? Panas, tidak nyaman, berkeringat, adalah konskuensi naik angkot yang dirasakan Balerina, tapi toh anak bisa 'berdamai' dengan segala konskuensi tersebut. Hal itu juga membuat anak memiliki 'daya tahan' yang dipelajarinya sendiri. Pada akhirnya ia akan berkata: i will survive! :D

    sukses untuk mbak Windry :)

    Sayekti Ardiyani
    @sayektiardiyani
    Magelang

    ReplyDelete
  11. Waduh mepet banget nih ikutannya. Mau ah ngerame-ramein :D

    Alhamdulillah saya termasuk anak yang dibesarkan orangtua saya dengan kemudahan. Kamar saya diberi AC, tapi hanya dinyalakan kalau mau tidur malam saja. Saya selalu dimasukkan sekolah negeri, tapi diantar-jemput dengan mobil. Tidak boleh naik angkutan umum, tapi gadget yang dipakai ya nokia warisan orangtua saja. Mau beli baru tunggu yg lama rusak dulu, tidak boleh boros. Begitulah orangtua saya, tidak pernah berlebihan, tapi cukup untuk memastikan betul bahwa saya aman, kenyang, dan tidak kepanasan.

    Orangtua saya sibuk bekerja, mereka jarang di rumah. Saya sendiri di rumah ditemani lebih dari satu pengasuh, tak boleh kemana-mana. Main sepeda hanya boleh depan rumah, ke rumah teman juga tak boleh seenaknya. Kalau melanggar, siap2 saja dimarahi orangtua saat mereka pulang dari bekerja nanti.

    Kelebihan yang saya dapatkan setelah dewasa adalah kemampuan berimajinasi dan prioritas dalam hidup. Saya paham betul mana tren semata dan mana kebutuhan yang benar2 mendasar. Kekurangan saya, saya penakut untuk segala hal kecuali hantu dan terlalu cepat putus asa, mungkin karena dulunya terbiasa nyaman di bawah perlindungan orangtua.

    Tapi tidak apa-apa, orangtua membesarkan saya sebaik yang mereka mampu saja saya sudah sangat berterimakasih. Tidak adil rasanya kalau lantas mengkritik karena pola pikir yang berbeda dari orang2 lainnya. Betul saya berandai2 apa jadinya kalau saya dibesarkan seperti si A, seperti si B, tapi bukan sesuatu yang ingin lama2 saya tanam di kepala. Setelah dewasa, baik buruk itu tanggung jawab saya. Kalau saya merasa kurang di satu hal, itu yang harus saya perjuangkan di masa sekarang. Tak perlu diulang lagi ke masa kecil untuk membuat semuanya sempurna.

    Saya rasa, putri Teh Windry juga nantinya akan berterimakasih untuk pengalaman naik angkutan umum bersama ke rumah Yangti. Terimakasih karena memberitahu bahwa bahagia itu bukan mobil pribadi, terimakasih karena memperlihatkan bahwa tidak perlu malu saat harus bersusah2 dulu, terimakasih atas kenangan manis akan ibu yang memikirkan perkembangan mentalnya.

    Dan kalau suatu hari nanti dia menemui kesulitan saat Teh Windry sudah terlalu tua untuk membimbing atau tidak lagi bersamanya, saya percaya dia akan tetap berterimakasih. Untuk yang kali itu dan seterusnya, dia akan belajar sendiri untuk melewatinya.

    ReplyDelete