.

.

Namaku Laila, Istri Hamid


Suatu sore, abi pulang ke rumah dengan membawa seorang lelaki. “Ini suamimu, Laila!” Dia berkata. Disodorkannya lelaki itu kepadaku, jatuh terjerembab di lantai beranda. “Abi temukan dia di pasar. Bawa masuk dan beri dia makan!” Lalu kubawa lelaki itu masuk, kuberi sepiring tongkol segar yang masih mentah, dan berakhir-lah masa lajangku.

Baiklah, memang tidak seperti itu kejadiannya. Lelaki yang diambil abi sebagai suamiku bukan kucing liar yang ditemukan di pasar, tetapi abi benar-benar menikahkanku secara sepihak. Saat itu aku tengah menyelesaikan semester terakhirku di universitas. Aku mengambil jurusan Filsafat. Jean Paul Sartre adalah tema skripsiku.

“Berapa umurmu sekarang, Laila?”
Dua puluh satu tahun.
“Sudah waktunya anak kita menikah,” kata abi pada umi, “Bukan begitu, Umi?”

Kami duduk bertiga di ruang keluarga selepas Isya. Aku menghadapi laptop tuaku, abi membaca majalah dan umi mengupas mangga. “Sudah waktunya anak kita menikah, Abi.”

Aku belum lulus kuliah, Abi, Umi. Dan lagi pacar-pacarku selalu kalian tolak.
“Semua laki-laki yang kamu kenalkan pada abi dan umi bukan keturunan Arab.”
Kita kan sudah membicarakan ini dulu. Kenapa harus keturunan Arab?
“Karena memang sebaiknya begitu.”
Mana punya aku teman lelaki keturunan Arab? Kalau begitu, kalian saja yang mencarikan suami untukku.

Sesungguhnya saat itu aku hanya menggertak sambal, mencoba menyindir rasisme abi dan umi yang bersikeras bahwa darah keturunan kami harus terus dijaga. Selama satu bulan berikutnya abi dan umi bersikap mencurigakan. Mereka tampak sibuk mengurus sesuatu. Mereka banyak menemui kerabat dan kenalan jauh. Mereka juga sering berdiskusi diam-diam di malam hari atau saling berbisik jika aku berada di sekitar mereka, seolah-olah ada sesuatu yang mereka rahasiakan dari diriku. Dan rupanya memang begitu adanya.

“Kemari, Laila. Abi kenalkan dirimu dengan Hamid.”

Hamid adalah lelaki keturunan Arab. Suami yang abi pilihkan untukku. (Oh, biar kuralat). Lelaki yang kepadanya abi nikahkan diriku. “Ijab Kabul kami lakukan tadi pagi,” kata abi dan aku tidak menghadiri akad tersebut! Bagaimana bisa terjadi?

Jika menilik sejarah para nabi dan latar belakang keluarga kami, secara teori, ya: pernikahan semacam ini sah. Tapi demi Tuhan aku tidak menduga ini bisa terjadi di zaman modern, di Indonesia, di mana (bukankah) ada yang disebut sebagai surat nikah dan surat ini harus ditandatangai oleh kedua pihak: suami juga istri. Dan aku tidak merasa pernah menandatangi sesuatu yang berhubungan dengan konsep menikah. Maka seperti banyak orang menamakannya, ini adalah Nikah Sirih.

Nah, Hamid, kita tidak bisa tidur di dalam satu kamar yang sama.
“Kita sudah menikah, istriku Laila.”
Akan kupertimbangkan dulu.

Tidak kubiarkan lelaki itu memasuki kamarku. Aku tidak peduli dia tidur di mana malam ini. Abi dan umi tidak tahu, mereka sudah sejak tadi tidur. Tapi esok paginya, tentu saja, mereka menemukan lelaki itu tidur di ruang sembahyang dan terjadi-lah ceramah panjang yang membosankan dari abi dan umi untukku.

“Abi sendiri yang memilihkan Hamid untukmu. Dia lelaki yang baik.”
“Dan keturunan Arab,” umi menyambung.
Tapi kalian melakukannya tanpa sepengetahuanku.
“Ijab Kabul tidak membutuhkan kehadiran perempuan.”
Oh, Abi! Kita tidak tinggal di Saudi lagi dan di sini orang-orang menonton siaran berita lewat ponsel.
“Laila!”

Tidak pernah terjadi di dalam sejarah, saat aku dan abi berdiskusi keras (dengan umi di sisi abi, tentunya), kemenangan berada di pihakku. Maka, apa yang akan (atau sudah?) terjadi padaku, terjadi-lah. Aku menjadi istri orang, menikah tanpa embel-embel cinta, tanpa mengenal sebelumnya siapa suamiku yang abi pilihkan, apalagi pacaran.

“Pacaran dilarang agama!”
Oh, dunia!

“Dek Laila!”

Suatu sore yang lain, sepulangku dari kampus, aku melihat sejumlah tetangga berkumpul di depan pagar rumah kami. Lima perempuan berdaster motif kembang warna mencolok, rol rambut di kepala mereka, dan mulut tidak berhenti bicara, kental berlogat gaya bicara setempat.

“Dek Laila!” Mereka mengerumuniku beramai-ramai. “Lelaki muda yang kemarin dibawa pulang Abi Hasan, siapa dia?”
Oh. Lelaki itu bernama Hamid.
“Ah, jadi dia bernama Hamid? Kami lihat semalam lelaki itu menginap di rumah Abi Hasan. Kerabat dari jauh?”
Bukan. Bukan kerabat. Dia suami saya.

Aku tidak menunggu tanggapan. Kutinggalkan mereka yang lalu berwajah terperangah, mata melotot dan mulut ternganga. Jangankan mereka, diriku saja belum bisa menerima berita ini dengan baik. Karena itu, aku tidak heran saat keesokan harinya mulai beredar rumor miring seputar pernikahanku.

“Laila, anak perempuan Abi Hasan, menikah kemarin lusa.”
“Tiba-tiba sekali?”
“Itulah. Mencurigakan.”
“Sudah keburu hamil, mungkin. Padahal anak seorang syekh.”

“Padahal anak seorang syekh.”

Kutatap Hamid dengan agak sinis. Kami berada di dalam satu ruangan, kamar tidurku (aku tidak bisa berkelit lagi, abi dan umi kini mengawasi pintu kamarku dari kamar mereka). Apa maksud perkataanmu barusan, wahai Hamid? Aku anak abiku dan memang abiku seorang syekh.

“Kalau begitu kamu pasti mengerti, apa yang dirimu lakukan ini berdosa, Laila sayang.”
Dosa? Dosa apa aku?
“Memperlakukan suamimu seperti ini.”
Suami? Sudah kukatakan, akan kupertimbangkan dulu hal itu. Nah, Hamid, aku terpaksa tidur satu kamar denganmu. Aku tidur di atas sini dan kamu bisa menggelar karpet di bawah sana.

Kutarik selimutku. Menutupi tubuh rapat-rapat dari kaki sampai leher. Tidak kuizinkan Hamid melihat lebih dari yang biasa. Tidak mudah menerima lelaki yang sama sekali tidak kukenal sebagai suami. Kulihat lelaki itu menuruti kata-kataku. Dia menggelar karpet di lantai untuk alas tidur. Entah apakah dia lelaki yang sopan atau justru bodoh, tetapi itu tidak mengapa selama aku aman tidak tersentuh.

Rumor miring beredar di kalangan warga RT, Abi dan Umi tahu?
“Rumor? Rumor apa?”

Pagi hari di meja makan, kami belum beranjak seusai sarapan. Abi sedang menyelesaikan bacaan korannya, umi merapikan piring-piring dan Hamid sibuk menelpon para pembeli madu dagangannya.

Mereka bilang, aku menikah tiba-tiba karena keburu hamil.
“Hamil?” Hamid menyeletuk tiba-tiba. Suaranya bernada terkejut. “Benarkah kamu hamil, Laila?”
Tentu saja tidak! Rumor, kubilang.

“Jika memang rumor, maka tidak perlu dipedulikan.” Abi berkata dengan tenang. Dia tidak mengalihkan perhatian dari korannya. Umi juga terlihat tenang. Wanita itu menyeduh teh madu hangat untuk abi, sementara Hamid kembali sibuk menelpon dan tampaknya hanya aku yang merasa berada dalam situasi sulit.

Dan memang aku tengah berada dalam situasi sulit. Siapapun tahu, rumor tidak akan berhenti menjalar selama masih ada ruang dan energi para pelakunya belum habis. Kini setiap pagi dan sore, saat berangkat dan pulang kuliah, aku kerap mendengar para tetangga menggunjingkanku. Mereka berkerumun dan saling berbisik. Mata melirik penuh arti ke arahku.

“Memangnya anak syekh tidak bisa hamil di luar nikah?”
“Bukan tidak bisa. Tidak pantas.”
“Justru karena itu Abi Hasan buru-buru menikahkan anaknya.”
“Jadi Laila sungguh hamil di luar nikah?”
“Bukan, ini masih dugaan saja, tetapi sepertinya perut Laila agak buncit.”

BUNCIT? Lingkar pinggangku hanya 58 cm! Demi Tuhan, aku harus melakukan sesuatu. Semua ini karena abi menikahkanku secara sepihak dan akan kubereskan masalah ini segera. Aku akan minta ce ...

“Biarkan saja mereka. Berdosa mereka karena bergunjing.”
Bukankah kita ikut berdosa karena tahu tapi membiarkan mereka?

Ucapanku (yang sesungguhnya sengaja kuucapkan untuk menjebak abi) kali ini mengena. Abi terdiam lalu umi mengambil alih pembicaraan. Umi berkata, “Abi, Laila benar. Ini tidak bisa didiamkan.”

Ya, Umi. Lebih baik, aku dan Hamid ce ...
“Menurut umi, Kita perlu mengadakan syukuran.”
Syukuran?
“Untuk memberitahu warga sekitar dan kerabat mengenai pernikahan ini.”
Bukan. Bukan syukuran yang kumaksud, Umi.
“Bagaimana, Abi?”
Umi ...
“Ya, rasanya abi masih punya sedikit tabungan.”
Bukan syukuran ...
“Kapan waktu tepatnya?”

AKU MINTA CERAI!

Suaraku memenuhi ruang keluarga. Terdengar histeris akibat akumulasi emosi yang menumpuk beberapa hari belakangan ini. Saat ini hanya kami bertiga di dalam ruangan. Hamid belum pulang (syukurlah dan aku berharap, dia lupa jalan pulang). Kulihat abi dan umi menatapku. Mereka tidak terkejut. Bagaimanapun, aku adalah anak mereka yang sudah terlalu sering mencoba membantah dan dengan tenang, seperti biasa, mereka akan menjawab.

“Cerai dilarang agama.”
Tidak jika dalam situasi tertentu.
“Apakah kamu merasa dalam situasi tertentu?”
Aku tidak mencintai Hamid, Abi!
“Kamu tidak harus mencintai suamimu.”
Lalu untuk apa aku menikah?
“Ibadah, tentu, maka abi pilihkan suami yang baik untuk menemanimu beribadah.”

Tapi ini hidupku.

Dan hidupku kini bergulir tanpa terkendali (olehku). Aku seperti melihat diriku sendiri bermain sebuah drama kehidupan lewat layar televisi. Drama yang (mungkin) tidak kusukai, tetapi aku tidak bisa melakukan apa-apa, selain menjadi penonton yang kerap menggerutu, sementara episode demi episode tidak bermutu terus berlanjut setiap harinya.

Syukuran itu diadakan di satu bulan yang panas. Abi dan umi mengundang tetangga dan kerabat, memotong kambing dan memasak kebab. Acara berlangsung sampai tengah malam. Riuh disertai iringan musik. Kini semua orang tahu bahwa aku, Laila, adalah istri Hamid, lelaki yang dipilihkan Abi Hasan. Mulut-mulut nyinyir yang bergunjing tentang kehamilanku, lama-kelamaan, kelelahan sendiri. Dan rumor-rumor yang mereka ciptakan dengan cepat tersapu oleh waktu.

“Laila, istriku.” Hamid memanggil di suatu malam. Setelah dua bulan, dia masih kubiarkan tidur di lantai, beralas karpet. “Sampai kapan aku akan tidur di lantai, sayang?”

Selamanya.
“Tapi aku suamimu.”
Itu masih kupertimbangkan.

Lalu Hamid terdiam. Aku juga terdiam dan malam menjadi semakin sunyi. Setengah mengantuk aku teringat pembicaraanku dengan umi beberapa waktu yang lalu. Membahas aku, Hamid dan cinta yang tidak pernah ada di antara kami. (Sungguh, saat pembicaraan itu terjadi, aku masih memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa cerai dari Hamid).

Saat itu, umi berkata lemah lembut, “Cukup cintai Tuhanmu, Laila, lalu berdoa-lah.”

Dan sesungguhnya (kemudian) aku berdoa. Dalam sepi di satu malam. Aku tidur setelahnya tapi tidak menantikan mimpi karena aku percaya, jawaban tidak datang lewat mimpi. Jawaban datang lewat hati.

Hamid.

Kupanggil lelaki yang tidur beralas karpet di lantai. Dia menoleh, setengah terpejam menatapku. “Ada apa, Laila sayang?”

Naiklah kemari, Hamid! Aku di kanan dan kamu di sisi satunya. Jangan senang dulu! Di tengah kuberikan batas menggunakan bantal dan guling. Jangan berani menyentuhku atau kamu kembali tidur di lantai. Perihal pernikahan kita, masih akan kupertimbangkan.


Jakarta, 14 Januari 2008

2 comments:

  1. Bagus banget.........
    ending yang tak terduga
    paham sekali dengan budaya arab...
    "Two Thumbs UP!!!!"

    ReplyDelete