
‘Besok, Mirna berangkat ke Aussie. Bisa kita bertemu malam ini di Boncafe?’
Setelah tidak pernah ada sapa di antara kami selama sepuluh tahun, pesan itu masuk ke dalam inbox telpon selular saya. Mo yang mengirimnya, seseorang yang sudah sejak lama saya hapus eksistensinya dari memori saya. Semula saya tidak mengenali nomor yang Mo gunakan, lalu saya berinisiatif menelpon balik dan saya menyesal.
“Ini nomorku. Simpan-lah,” begitu cara Mo memaksa masuk kembali ke dalam kehidupan saya. Saya menggerutu tapi tidak kuasa menolak. Mo selalu menjadi Mo. So persistent.
Maka di sini lah saya sekarang, duduk menunggu di dalam Boncafe yang mulai ramai selepas jam kerja. Membiarkan memori-memori menyebalkan kembali melintas tidak beraturan. Memori tentang Mo, tentang Nai, tentang Mirna, tentang kami.
Memori empat tangkup es krim yang berbeda rasa.
“Coklat.” Mo menutup buku menu di tangannya. Dia membuat keputusan dengan cepat, seperti biasa.
Nai menatap Mo seraya berbisik, “Kamu tidak ingin mencoba rasa lain? Coklat di cafe ini pahit sekali, Mo.”
“I’m not complain.” That’s Mo. Semakin pahit rasa coklat, semakin dia suka dan Mo memang tidak mengenal kata ‘manis’ dalam kamus hidupnya. Mungkin karena sifatnya yang seperti laki-laki atau mungkin karena dia berasal dari keluarga yang keras.
“Kalau begitu, aku pilih mocca.” Mirna berkata sambil tersenyum lebar dan saya segera menimpali, “Aku juga yang biasa.”
“Lho kok?”
Mocca selalu menjadi pilihan Mirna setiap kami berkunjung ke Boncafe dan saya tidak pernah bosan dengan stroberi. Pernah sekali Nai membujuk kami untuk memesan rasa yang berbeda dari apa yang biasa kami pesan. Dua puluh menit lamanya kami memelototi buku menu untuk memilih dan hasilnya tetap saja sama. Coklat, mocca, stroberi dan ...
“Mirna, kamu kan seharusnya memesan rasa lain. Mint, misalnya. Dan kamu, Ge, kamu bisa pilih karamel atau capucino,” gerutu Nai seperti merajuk.
“Next time, deh,” tanggap Mo.
“Ya, Nai. Lain kali.”
Nai memanyunkan mulutnya dengan kesal. Wajahnya yang bulat tampak lucu. “Lalu aku pesan apa, dong?”
Kami bertiga tertawa. “Vanila!”
Ah ...
Tadinya saya mengira, memori-memori itu sudah habis digerogoti oleh waktu. Saya sempat yakin tawa kami yang dulu kerap memenuhi ruang cafe tidak akan pernah saya dengar lagi. Imaji saya, Mo, Mirna dan Nai berkumpul di salah satu sudut dengan es krim di tangan sulit untuk kembali dibayangkan. Tapi rupanya saya keliru.
“Sepuluh tahun.”
Ya. Sepuluh tahun berlalu dan saya masih belum bisa percaya, saat ini kami duduk bertiga seperti dulu di meja yang sama. Tidak ada tawa. Tidak ada obrolan hangat seputar masa lalu. Yang ada hanya rasa canggung yang setiap detik terasa semakin kuat.
“Cool, Mirna. I like your hair,” Mo mencoba mencairkan suasana.
“Thanks.”
Rambut Mirna dicat warna oranye. Matanya hijau memakai lensa kontak, alisnya dikerik dan behel di giginya sudah tidak dia kenakan lagi. Hampir tidak bisa saya kenali. Lalu Mo? Mo masih seperti dulu, berpenampilan kelelaki-lelakian. Sedikit lebih stylist dan kini hidungnya ditindik. Sementara saya sendiri tetap setia dengan one piece dan nuansa merah muda.
“Dalam rangka apa ke Aussie?” giliran saya yang bertanya.
“My boyfriend lives there,” jawab Mirna singkat.
Saya bertanya lagi, “Berarti kamu akan pindah kewarganegaraan?”
“Ya ... mungkin ... belum tahu juga.”
“Bulan depan aku juga going abroad,” Mo menimpali, “Jepang.”
“Kerja?”
“Studi. Aku mendapat beasiswa.”
“Oh, wow!”
“Ya.”
Lalu kami bertiga kembali dikuasai oleh hening, seolah kehabisan bahan pembicaraan. Kami tidak bisa membicarakan tentang masa lalu. Tentang Nai, misalnya, atau masa-masa menyenangkan sebelum peristiwa naas itu terjadi. Kami tidak berani mengungkitnya. Terlalu menyakitkan. Dan saya belum bisa memaafkan Mo dan Mirna atas apa yang menimpa Nai.
“Aku tidak bisa lama-lama di sini,” kata Mirna. “Pesan sekarang saja?”
Mo mengangguk, kemudian memanggil pelayan. “Kalian pesan rasa apa?”
“Stro ...,” saya berhenti sesaat, “emm ... karamel.”
“Kamu, Mir?”
“Mint.”
“Satu es krim rasa karamel dan satu es krim rasa mint,” pelayan mengulangi pesanan kami. “Ada lagi?”
Kami menatap Mo. Mo mengerutkan alis seraya memandangi buku menu di tangannya. Cukup lama sebelum dia memutuskan, kemudian dia berkata mantap sambil menutup buku menu itu.
“Coklat.” As Usual.
Saya dan Mirna terhenyak. Giliran Mo yang menatap kami penuh arti dan tiba-tiba saja ada rasa rindu yang hadir menghangatkan dada. Saya lihat Mirna mengulas senyum. “Kalau begitu, saya pilih rasa mocca saja,” katanya pada pelayan.
Dan saya juga kembali memesan es krim stroberi.
Pada akhirnya, justru tiga tangkup es krim dingin yang mencairkan kebekuan di antara kami bertiga. Sepanjang malam di Boncafe, kami berbicara tentang Nai, betapa kami merindukan gadis itu dan betapa kami menyesal tidak berbuat banyak untuk melindunginya. Kami berbicara tentang diri kami masing-masing. Kami berbicara tentang kuliah kami, pekerjaan, dan pacar.
Kami berbicara banyak hal seolah ingin membayar sepuluh tahun yang hilang.
“Keep in touch, ok?”
Boncafe harus mengusir kami bertiga agar bisa tutup malam itu lalu kami berpisah di depan pintu cafe. Mirna terbang ke Australia keesokan harinya, Mo pergi kuliah ke Jepang satu bulan kemudian dan malam itu saya menulis:
Setelah sepuluh tahun,
ada yang tidak berubah:
berkumpul di kedai es
bersama pilihan rasa
coklat,
mocca,
dan stroberi.
ada yang berubah:
satu tangkup vanila
hilang.
Saya kirimkan lewat email pada Mo, Mirna dan Nai. Mo menjawab, 'Emotional as usual,' sementara Mirna menjawab, 'Aku juga rindu Nai,' dan email untuk Nai seperti biasa tidak terkirim.
Jakarta, 12 Februari 2008
untuk Mirna, Momoy dan Ernie
Setelah tidak pernah ada sapa di antara kami selama sepuluh tahun, pesan itu masuk ke dalam inbox telpon selular saya. Mo yang mengirimnya, seseorang yang sudah sejak lama saya hapus eksistensinya dari memori saya. Semula saya tidak mengenali nomor yang Mo gunakan, lalu saya berinisiatif menelpon balik dan saya menyesal.
“Ini nomorku. Simpan-lah,” begitu cara Mo memaksa masuk kembali ke dalam kehidupan saya. Saya menggerutu tapi tidak kuasa menolak. Mo selalu menjadi Mo. So persistent.
Maka di sini lah saya sekarang, duduk menunggu di dalam Boncafe yang mulai ramai selepas jam kerja. Membiarkan memori-memori menyebalkan kembali melintas tidak beraturan. Memori tentang Mo, tentang Nai, tentang Mirna, tentang kami.
Memori empat tangkup es krim yang berbeda rasa.
“Coklat.” Mo menutup buku menu di tangannya. Dia membuat keputusan dengan cepat, seperti biasa.
Nai menatap Mo seraya berbisik, “Kamu tidak ingin mencoba rasa lain? Coklat di cafe ini pahit sekali, Mo.”
“I’m not complain.” That’s Mo. Semakin pahit rasa coklat, semakin dia suka dan Mo memang tidak mengenal kata ‘manis’ dalam kamus hidupnya. Mungkin karena sifatnya yang seperti laki-laki atau mungkin karena dia berasal dari keluarga yang keras.
“Kalau begitu, aku pilih mocca.” Mirna berkata sambil tersenyum lebar dan saya segera menimpali, “Aku juga yang biasa.”
“Lho kok?”
Mocca selalu menjadi pilihan Mirna setiap kami berkunjung ke Boncafe dan saya tidak pernah bosan dengan stroberi. Pernah sekali Nai membujuk kami untuk memesan rasa yang berbeda dari apa yang biasa kami pesan. Dua puluh menit lamanya kami memelototi buku menu untuk memilih dan hasilnya tetap saja sama. Coklat, mocca, stroberi dan ...
“Mirna, kamu kan seharusnya memesan rasa lain. Mint, misalnya. Dan kamu, Ge, kamu bisa pilih karamel atau capucino,” gerutu Nai seperti merajuk.
“Next time, deh,” tanggap Mo.
“Ya, Nai. Lain kali.”
Nai memanyunkan mulutnya dengan kesal. Wajahnya yang bulat tampak lucu. “Lalu aku pesan apa, dong?”
Kami bertiga tertawa. “Vanila!”
Ah ...
Tadinya saya mengira, memori-memori itu sudah habis digerogoti oleh waktu. Saya sempat yakin tawa kami yang dulu kerap memenuhi ruang cafe tidak akan pernah saya dengar lagi. Imaji saya, Mo, Mirna dan Nai berkumpul di salah satu sudut dengan es krim di tangan sulit untuk kembali dibayangkan. Tapi rupanya saya keliru.
“Sepuluh tahun.”
Ya. Sepuluh tahun berlalu dan saya masih belum bisa percaya, saat ini kami duduk bertiga seperti dulu di meja yang sama. Tidak ada tawa. Tidak ada obrolan hangat seputar masa lalu. Yang ada hanya rasa canggung yang setiap detik terasa semakin kuat.
“Cool, Mirna. I like your hair,” Mo mencoba mencairkan suasana.
“Thanks.”
Rambut Mirna dicat warna oranye. Matanya hijau memakai lensa kontak, alisnya dikerik dan behel di giginya sudah tidak dia kenakan lagi. Hampir tidak bisa saya kenali. Lalu Mo? Mo masih seperti dulu, berpenampilan kelelaki-lelakian. Sedikit lebih stylist dan kini hidungnya ditindik. Sementara saya sendiri tetap setia dengan one piece dan nuansa merah muda.
“Dalam rangka apa ke Aussie?” giliran saya yang bertanya.
“My boyfriend lives there,” jawab Mirna singkat.
Saya bertanya lagi, “Berarti kamu akan pindah kewarganegaraan?”
“Ya ... mungkin ... belum tahu juga.”
“Bulan depan aku juga going abroad,” Mo menimpali, “Jepang.”
“Kerja?”
“Studi. Aku mendapat beasiswa.”
“Oh, wow!”
“Ya.”
Lalu kami bertiga kembali dikuasai oleh hening, seolah kehabisan bahan pembicaraan. Kami tidak bisa membicarakan tentang masa lalu. Tentang Nai, misalnya, atau masa-masa menyenangkan sebelum peristiwa naas itu terjadi. Kami tidak berani mengungkitnya. Terlalu menyakitkan. Dan saya belum bisa memaafkan Mo dan Mirna atas apa yang menimpa Nai.
“Aku tidak bisa lama-lama di sini,” kata Mirna. “Pesan sekarang saja?”
Mo mengangguk, kemudian memanggil pelayan. “Kalian pesan rasa apa?”
“Stro ...,” saya berhenti sesaat, “emm ... karamel.”
“Kamu, Mir?”
“Mint.”
“Satu es krim rasa karamel dan satu es krim rasa mint,” pelayan mengulangi pesanan kami. “Ada lagi?”
Kami menatap Mo. Mo mengerutkan alis seraya memandangi buku menu di tangannya. Cukup lama sebelum dia memutuskan, kemudian dia berkata mantap sambil menutup buku menu itu.
“Coklat.” As Usual.
Saya dan Mirna terhenyak. Giliran Mo yang menatap kami penuh arti dan tiba-tiba saja ada rasa rindu yang hadir menghangatkan dada. Saya lihat Mirna mengulas senyum. “Kalau begitu, saya pilih rasa mocca saja,” katanya pada pelayan.
Dan saya juga kembali memesan es krim stroberi.
Pada akhirnya, justru tiga tangkup es krim dingin yang mencairkan kebekuan di antara kami bertiga. Sepanjang malam di Boncafe, kami berbicara tentang Nai, betapa kami merindukan gadis itu dan betapa kami menyesal tidak berbuat banyak untuk melindunginya. Kami berbicara tentang diri kami masing-masing. Kami berbicara tentang kuliah kami, pekerjaan, dan pacar.
Kami berbicara banyak hal seolah ingin membayar sepuluh tahun yang hilang.
“Keep in touch, ok?”
Boncafe harus mengusir kami bertiga agar bisa tutup malam itu lalu kami berpisah di depan pintu cafe. Mirna terbang ke Australia keesokan harinya, Mo pergi kuliah ke Jepang satu bulan kemudian dan malam itu saya menulis:
Setelah sepuluh tahun,
ada yang tidak berubah:
berkumpul di kedai es
bersama pilihan rasa
coklat,
mocca,
dan stroberi.
ada yang berubah:
satu tangkup vanila
hilang.
Saya kirimkan lewat email pada Mo, Mirna dan Nai. Mo menjawab, 'Emotional as usual,' sementara Mirna menjawab, 'Aku juga rindu Nai,' dan email untuk Nai seperti biasa tidak terkirim.
Jakarta, 12 Februari 2008
untuk Mirna, Momoy dan Ernie
Dear Windry,
ReplyDeleteGak tau mau memulai komen dari mana. Gak sengaja liat profile Windry di web nya Gagas Media. Nama yang sangat familiar di masa kecil gue. And then, here i am, reading ur post on ur blog at 4 o' clock in the morning, with undescribed feeling. Ngebaca post ini serasa kelempar ke masa lalu. 20 tahun lebih sepertinya... Gw mengenal loe ber4 sebagai teman masa kecil gw. Even, di pertengahan everythings change. Gw memang menghilang dari persahabatan terbaik di masa kecil gw. To be honest, gw gak pernah menyesal sedikitpun mengenal loe ber4. Remember Versailles? You are Oscar. Cuma itu yang gw inget. Bahkan gw lupa, gw jadi siapa kala itu. Maybe Aramis? Or Porthos? Maybe Athos? i dont know. Lupa.
Tapi, gw gak lupa dengan semua kenangan masa kecil itu. Kalau disuruh tukar dengan apapun juga, gw gak akan mau :) semua masa itu terlalu priceless. 6 years of those funny but also exciting adventurous of us was priceless.
Gw gak tau apa yang terjadi dengan Ernie, is she okay? Terakhir gw kontak sama dia sekitar tahun 2008 met on Friendster, she looks nice :) Well, im not gonna make you feel more overwhelming with my (maybe) ridiculous and well done annoying comment, but i'm glad nyasar ke sini, pagi ini, dan ninggalin komen di sini. Hope its okay with you too.
Take Care,
Dewi
(If you forget,i was with that odd boring long hair )
dear Dewi, I never forget about you, dear. setiap kali aku lewat bendi, aku menoleh ke arah kiri, ke jalan yang dahulu dipagari pohon rambutan, sambil bertanya-tanya apa Dewi masih tinggal di sana, di rumah yang ada di jalan menurun itu? apa kabarnya sekarang? is she married? has children? what's she doing now? dan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. dan sekarang aku berkaca-kaca membaca jejak kamu (I really am. and I think I'm about to start crying haha).
ReplyDeletegosh, this is amazing. mail me, okay? let's arrange an afternoon tea :D
windry.ramadhina@yahoo.com
Dear Windry,
ReplyDeleteThanks for remember me in that way :) Baru main lagi ke web ini, so sorry it took so long for me to reply. Aku udah nggak tinggal di Bendi, tahun 2009 pindah dari sana. Tapi, sekarang masih tinggal di daerah Bintaro2 juga :) Same to me, pagi itu pas aku nulis komen di website ini, i cried :D only tears :)Really i am, and i am totally speechless, benar2 seperti masuk ke gerbang SD Mexico pagi dan melihat kita ber5 lari-lari ataupun main karet (i am so stupid in this game# LOL )atau sekedar baca komik pas istirahat ... atau latihan drumband untuk pentas minggu depannya :) God, i wish i can have a dream about us when we were just a bocah, even only one in a lifetime :)
Anyway, aku udah kirim emailnya ya. Lots of story i was shared on that email :) I hope its okay, coz not all was a good story :)
And by the way, I am really proud of your achievement :)
I know u have talent in drawing and writing since we were a kid. Jadi, aku nggak terlalu heran kalau Windry akhirnya bisa punya novel sendiri :)
Aku belum baca novel2nya Windry, tapi nanti mau coba cari di Toko Buku :)
Take care ya Win :)
Dewi
Here, Palembang , bagian selatan Indonesia.
ReplyDeletea quarter past four.
I have read this short story.
Damn ! really Touching and full of emotional.
I never regret be your fan mba win !...
Never ever ^^ ..
thank you, dear. thanks for reading my works. thanks for loving them. it means a lot for me.
Delete