
AKU sedang berpikir, dengan cara bagaimana aku akan membunuhmu.
Aku memiliki banyak opsi di kepala yang berderet seperti buku di perpustakaan dan aku tinggal memilih. Aku bisa meracunimu diam-diam dengan sianida seperti dalam Saksi Bisu. Orang akan mengira kau menderita penyakit kuning dan menganggap kematianmu wajar. Atau aku bisa juga memasukkan merica ke dalam makananmu agar kau tersedak sampai tidak bisa bernafas. Aku tahu kau alergi akut terhadap merica seperti Pierce Brosnan dalam Mrs. Doubtfire. Merica dalam jumlah besar bisa membunuhmu. Atau yang paling sederhana, aku bisa membekapmu dengan bantal di tengah malam saat kau sedang tertidur lelap.
Tapi kau seorang biduanita.
Jika bisa memilih, aku yakin kau akan memilih cara mati yang fenomenal, yang memancing perhatian wartawan dan khalayak ramai. Kau mungkin suka mati dalam sebuah kecelakaan di perjalanan menuju tempat konsermu. Beritanya akan cepat menyebar di kalangan pers. Infotainment akan membicarakan kematianmu selama seminggu penuh, tabloid sibuk memuat perjalanan karir keartisanmu, perusahaan rekaman merilis ulang semua albummu dan para penggemar memenuhi rumahmu dengan kiriman bunga.
Atau kau ingin kematianmu didahului oleh sebuah isu kontroversial?
“Aku suka kontroversi.” Kau berkata di sela kepulan asap rokok dari mulutmu. Gincumu semerah darah. Wajahmu berpoles tebal. Tubuhmu terbalut gaun tidur tipis dari satin.
Aku bisa mengungkap hubungan kita, serentak menjadi headline di banyak media. Popularitasmu akan meningkat tajam berbanding terbalik dengan reputasimu. Wartawan semakin memburu dan masyarakat mungkin mulai mencap dirimu perempuan nakal. Tapi kau memang perempuan nakal. Karena itu kau harus mati dengan cara yang sesuai. Akan kubuat kau menjadi gila. Kuhancurkan karir dan hidupmu, perlahan-lahan tapi pasti, sampai kau tidak tahan lagi dan memutuskan bunuh diri di kamar mandi hotel murahan.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” bisikmu pelan di telingaku.
Aku balas berbisik, “Kurasa, tidak ada cinta yang lebih besar dari milikku.”
Tawamu renyah mengisi kamar hotel yang temaram. Sepasang lenganmu yang ramping merangkul leherku, menghapus jarak di antara kita, membagi hangat tubuh dan harum aroma amber.
Jika kau tidak bunuh diri di kamar mandi hotel murahan, maka akan kusewa pembunuh bayaran untuk menembak mati dirimu. Seperti kematian John Lennon, kematianmu akan kureka sempurna. Akan kusiapkan konser besar untukmu di Sarbini atau Senayan. Disiarkan langsung oleh stasiun-stasiun televisi dan dihadiri ribuan penggemarmu. Di puncak acara, kau akan menyanyikan lagu hit-mu yang terkenal dan saat itu lah penembakan itu terjadi.
Indah. Sempurna. Kusiapkan khusus untukmu, karena tidak ada cinta yang lebih besar dari milikku.
“Siapa namamu, gadis kecil?”
Sudah berapa lama sejak pertemuan pertama kita? Kau yang baru menginjak remaja datang kepadaku, mengenakan gaun merah yang belum pantas kau kenakan. Sepasang matamu menatap tajam. Keras kepala. Tidak kulihat kelemahan sedikit pun di sorotnya.
“Saya ingin membuang masa lalu. Anda boleh memberiku nama.”
Aku bukan hanya memberimu nama. Aku memberimu hidup. Kurangkul dirimu bertahun-tahun seperti menjaga boneka porselen Cina, penuh kasih sayang dan kehati-hatian. Kubesarkan dan kutaburi dengan perhiasan. Kubukakan jalan menuju dunia yang kau impikan dan kupastikan dirimu selalu berada di puncak.
Kini kau begitu bersinar, begitu menyilaukan. Ke mana pun kau pergi, ribuan serangga malam mengerubungimu, memancing cemburu. Sesungguhnya ingin kusimpan dirimu untuk diriku sendiri selamanya. Akan kuabadikan dalam kristal bening tanpa warna yang bisa kubawa-bawa ke mana pun aku pergi, menemaniku setiap saat di tengah kemacetan lalu lintas atau riuh suasana dalam gedung perkantoran, menjadi teman berbincang setia saat makan siang atau minum kopi sore di pelataran mall.
Tapi kupikir lagi, jika aku menyewa pembunuh bayaran untuk menembak mati dirimu, pada akhirnya tubuhmu akan dibawa oleh polisi untuk diautopsi. Dadamu akan dibelah, organ-organ dalammu dikeluarkan untuk ditimbang, dilihat isinya, lalu bekas jahitan yang buruk akan melintang di tubuh indahmu nanti. Tuhan tahu kau tidak akan menyukai bekas jahitan itu, tidak juga aku, maka rasanya aku harus mempertimbangkan lagi opsi tadi.
“Minum dulu.”
Perhatianku teralih pada segelas minuman beralkohol yang kausodorkan. Kau mengulas senyum sambil menatapku. Di balik tebal polesan wajahmu, entah kapan, akan mulai muncul kerutan-kerutan yang menggerogoti kecantikanmu. Kulitmu berubah kusam dan rambutmu akan memutih.
Aku tidak ingin melihat kilau dirimu hilang. Semakin cepat aku membunuhmu, semakin cepat aku mencegah itu terjadi.
Pikiran itu kadang membuatku merasa seperti sudah kehilangan akal sehat. Tapi kemudian kusadari, itu hanya pikiran lelaki yang penuh cinta, seperti pecinta alam mengabadikan pemandangan indah kesayangannya dalam jepretan kamera. Aku lelaki yang penuh cinta dan kuputuskan sudah, aku akan membunuhmu dengan sederhana: membekapmu dengan bantal di tengah malam saat kau sedang tertidur lelap.
Malam ini.
Atau mungkin besok malam karena entah mengapa, tiba-tiba, aku merasa sangat mengantuk.
“Ada apa?” kau bertanya dengan nada datar.
Kurasa bukan hanya aku mengantuk, tetapi juga mengalami serangan sakit kepala yang kuat. Pandanganku mulai buram. Pendengaranku juga mulai kabur. Samar-samar kulihat bibirmu bergerak mengatakan sesuatu tapi aku tidak dapat mendengar ucapanmu dengan jelas.
Kuulurkan tangan, mencoba meraih dirimu tapi tubuhku berat sekali, tidak bisa kugerakkan sesuai keinginan. Jatuh rebah aku ke lantai kamar saat kakiku tidak lagi mampu menopang tubuh. Mengapa kerongkonganku seperti tercekat? Aku tidak bisa bernafas.
Dalam sisa-sisa kesadaran yang kumiliki, kulihat dirimu mendekat. Kau berjongkok di sisiku, membawa gelas kosong yang tadi kuminum habis alkohol di dalamnya. Tanganmu membelai wajahku dengan lembut dan bibirmu berbisik di telingaku,
“Kurasa, tidak ada cinta yang lebih besar dari milikku.”
Jakarta, 10 Februari 2008
Aku memiliki banyak opsi di kepala yang berderet seperti buku di perpustakaan dan aku tinggal memilih. Aku bisa meracunimu diam-diam dengan sianida seperti dalam Saksi Bisu. Orang akan mengira kau menderita penyakit kuning dan menganggap kematianmu wajar. Atau aku bisa juga memasukkan merica ke dalam makananmu agar kau tersedak sampai tidak bisa bernafas. Aku tahu kau alergi akut terhadap merica seperti Pierce Brosnan dalam Mrs. Doubtfire. Merica dalam jumlah besar bisa membunuhmu. Atau yang paling sederhana, aku bisa membekapmu dengan bantal di tengah malam saat kau sedang tertidur lelap.
Tapi kau seorang biduanita.
Jika bisa memilih, aku yakin kau akan memilih cara mati yang fenomenal, yang memancing perhatian wartawan dan khalayak ramai. Kau mungkin suka mati dalam sebuah kecelakaan di perjalanan menuju tempat konsermu. Beritanya akan cepat menyebar di kalangan pers. Infotainment akan membicarakan kematianmu selama seminggu penuh, tabloid sibuk memuat perjalanan karir keartisanmu, perusahaan rekaman merilis ulang semua albummu dan para penggemar memenuhi rumahmu dengan kiriman bunga.
Atau kau ingin kematianmu didahului oleh sebuah isu kontroversial?
“Aku suka kontroversi.” Kau berkata di sela kepulan asap rokok dari mulutmu. Gincumu semerah darah. Wajahmu berpoles tebal. Tubuhmu terbalut gaun tidur tipis dari satin.
Aku bisa mengungkap hubungan kita, serentak menjadi headline di banyak media. Popularitasmu akan meningkat tajam berbanding terbalik dengan reputasimu. Wartawan semakin memburu dan masyarakat mungkin mulai mencap dirimu perempuan nakal. Tapi kau memang perempuan nakal. Karena itu kau harus mati dengan cara yang sesuai. Akan kubuat kau menjadi gila. Kuhancurkan karir dan hidupmu, perlahan-lahan tapi pasti, sampai kau tidak tahan lagi dan memutuskan bunuh diri di kamar mandi hotel murahan.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” bisikmu pelan di telingaku.
Aku balas berbisik, “Kurasa, tidak ada cinta yang lebih besar dari milikku.”
Tawamu renyah mengisi kamar hotel yang temaram. Sepasang lenganmu yang ramping merangkul leherku, menghapus jarak di antara kita, membagi hangat tubuh dan harum aroma amber.
Jika kau tidak bunuh diri di kamar mandi hotel murahan, maka akan kusewa pembunuh bayaran untuk menembak mati dirimu. Seperti kematian John Lennon, kematianmu akan kureka sempurna. Akan kusiapkan konser besar untukmu di Sarbini atau Senayan. Disiarkan langsung oleh stasiun-stasiun televisi dan dihadiri ribuan penggemarmu. Di puncak acara, kau akan menyanyikan lagu hit-mu yang terkenal dan saat itu lah penembakan itu terjadi.
Indah. Sempurna. Kusiapkan khusus untukmu, karena tidak ada cinta yang lebih besar dari milikku.
“Siapa namamu, gadis kecil?”
Sudah berapa lama sejak pertemuan pertama kita? Kau yang baru menginjak remaja datang kepadaku, mengenakan gaun merah yang belum pantas kau kenakan. Sepasang matamu menatap tajam. Keras kepala. Tidak kulihat kelemahan sedikit pun di sorotnya.
“Saya ingin membuang masa lalu. Anda boleh memberiku nama.”
Aku bukan hanya memberimu nama. Aku memberimu hidup. Kurangkul dirimu bertahun-tahun seperti menjaga boneka porselen Cina, penuh kasih sayang dan kehati-hatian. Kubesarkan dan kutaburi dengan perhiasan. Kubukakan jalan menuju dunia yang kau impikan dan kupastikan dirimu selalu berada di puncak.
Kini kau begitu bersinar, begitu menyilaukan. Ke mana pun kau pergi, ribuan serangga malam mengerubungimu, memancing cemburu. Sesungguhnya ingin kusimpan dirimu untuk diriku sendiri selamanya. Akan kuabadikan dalam kristal bening tanpa warna yang bisa kubawa-bawa ke mana pun aku pergi, menemaniku setiap saat di tengah kemacetan lalu lintas atau riuh suasana dalam gedung perkantoran, menjadi teman berbincang setia saat makan siang atau minum kopi sore di pelataran mall.
Tapi kupikir lagi, jika aku menyewa pembunuh bayaran untuk menembak mati dirimu, pada akhirnya tubuhmu akan dibawa oleh polisi untuk diautopsi. Dadamu akan dibelah, organ-organ dalammu dikeluarkan untuk ditimbang, dilihat isinya, lalu bekas jahitan yang buruk akan melintang di tubuh indahmu nanti. Tuhan tahu kau tidak akan menyukai bekas jahitan itu, tidak juga aku, maka rasanya aku harus mempertimbangkan lagi opsi tadi.
“Minum dulu.”
Perhatianku teralih pada segelas minuman beralkohol yang kausodorkan. Kau mengulas senyum sambil menatapku. Di balik tebal polesan wajahmu, entah kapan, akan mulai muncul kerutan-kerutan yang menggerogoti kecantikanmu. Kulitmu berubah kusam dan rambutmu akan memutih.
Aku tidak ingin melihat kilau dirimu hilang. Semakin cepat aku membunuhmu, semakin cepat aku mencegah itu terjadi.
Pikiran itu kadang membuatku merasa seperti sudah kehilangan akal sehat. Tapi kemudian kusadari, itu hanya pikiran lelaki yang penuh cinta, seperti pecinta alam mengabadikan pemandangan indah kesayangannya dalam jepretan kamera. Aku lelaki yang penuh cinta dan kuputuskan sudah, aku akan membunuhmu dengan sederhana: membekapmu dengan bantal di tengah malam saat kau sedang tertidur lelap.
Malam ini.
Atau mungkin besok malam karena entah mengapa, tiba-tiba, aku merasa sangat mengantuk.
“Ada apa?” kau bertanya dengan nada datar.
Kurasa bukan hanya aku mengantuk, tetapi juga mengalami serangan sakit kepala yang kuat. Pandanganku mulai buram. Pendengaranku juga mulai kabur. Samar-samar kulihat bibirmu bergerak mengatakan sesuatu tapi aku tidak dapat mendengar ucapanmu dengan jelas.
Kuulurkan tangan, mencoba meraih dirimu tapi tubuhku berat sekali, tidak bisa kugerakkan sesuai keinginan. Jatuh rebah aku ke lantai kamar saat kakiku tidak lagi mampu menopang tubuh. Mengapa kerongkonganku seperti tercekat? Aku tidak bisa bernafas.
Dalam sisa-sisa kesadaran yang kumiliki, kulihat dirimu mendekat. Kau berjongkok di sisiku, membawa gelas kosong yang tadi kuminum habis alkohol di dalamnya. Tanganmu membelai wajahku dengan lembut dan bibirmu berbisik di telingaku,
“Kurasa, tidak ada cinta yang lebih besar dari milikku.”
Jakarta, 10 Februari 2008
windry.... $#%*(&(@!( *tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya dengan baik :P*
ReplyDeleteaku iri padamuuuu... aku mau nulissss :p
gayamu memang berubah... tapi aku suka ka ka... cinta ta ta ta sama yang ini *si pencinta bad ending*
ini kayak adegan komik topeng kaca win
ReplyDeleteoks thanks for the info kekekek, never heard before. kepala saya nyambung sama si penulis itu ... oh saya bangga :p
ReplyDeleteAh, betapa hebat dirimu bercerita.
ReplyDeleteCece Windry, aku sangat kagum padamu, :)
ReplyDeletesepertinya mirip2 dengan kisah seorang pria yang ditinggal geisha-nya.. kaya' lagunya agnes monica.. hihihi..
tapi.. aku cinta karya-karyamu, selalu.
^^