­

.

.

Perempuan-perempuan Terjual

Hari ini aku melihat lelaki itu di pasar. Dia berdiri di tengah-tengah keramaian, menyebarkan selebaran kepada orang-orang yang berlalu lalang sepanjang tanah becek. Tujuh tahun berlalu membuat sosoknya hampir tidak bisa kukenali. Rambutnya kini putih tipis, tubuhnya berubah gemuk, dan pakaiannya necis: kemeja licin motif garis serta sepatu kulit mengkilat.

Ju, nama lelaki itu. Dia berdarah Jawa tapi lama tinggal di Kalimantan.


“Ada apa tadi pagi di pasar, Mbok?”

Aku bertanya selepas merokok. Pada wanita seumuran ibuku yang tengah sibuk mencuci beras di sudut dapur. Aku duduk di sudut yang lain, di hadapan meja makan, di samping jendela yang terbuka lebar. Pandanganku tidak lepas menatap keluar ruangan sementara si Mbok menjawab panjang lebar.

“Biasa, Den. Orang kota bagi-bagi lowongan kerjaan. Katanya, ada produser dari Malaysia sedang cari banyak artis muda. Tidak perlu berpengalaman karena nanti akan dilatih. Syaratnya hanya jenis kelamin dan usia. Perempuan, lima belas sampai delapan belas tahun. Jumlah tidak dibatasi, asal benar-benar niat kerja. Dengar-dengar, akan dibayar lumayan.”

Ujung bibirku menarik senyum sinis. Benar dugaanku. Lelaki itu masih melakukan bisnis yang sama. Aku berkata pada si Mbok, “Saya pernah mengenal lelaki itu, Mbok.”

“Oh ya, Den? Di mana?”

“Di desa ini juga.”

“Wah, si Mbok baru kali ini lihat tapi ya maklum saja, si Mbok kan jarang keluar rumah.”

“Dia memang bukan orang desa ini, Mbok.”

Aku menyulut batang rokok baru, tidak peduli rokok itu adalah jatah nanti malam. Apa boleh buat, kehadiran Ju membuatku gelisah. Dadaku disesaki amarah dan kepalaku panas. Kalau saja aku membawa golok dan cukup gila, pasti sudah kubacok lelaki itu tadi di pasar. Kubacok tanpa ampun sampai tanah tergenang oleh darahnya dan tidak akan kubiarkan dia hidup.

Sayang. Aku tidak membawa golok dan aku masih waras.

“Dia pengusaha dari Kalimantan.” Kuhisap rokokku lalu kulepaskan asapnya ke udara. “Bisnis perempuan.”

“Macam pencari bakat?”

Bukan. Macam makelar budak seks.

Memang itu lah yang sebenarnya dilakukan oleh Ju. Aku pernah menjadi salah satu perempuan dagangannya. Ditipu mentah-mentah dengan iming-iming yang sama: pekerjaan bergaji tinggi di luar negeri. Siapa yang tidak tergiur? Desa kami kecil dan terpelosok, tanah kami tidak banyak memberi hasil, dan kerajinan tangan kami tidak dihargai tinggi.

Sepuluh tahun yang lalu, tidak hanya aku yang pergi meninggalkan desa. Ju berhasil membohongi tujuh orang perempuan. Satu mati di Kalimantan saat tahu apa yang sebenarnya terjadi, dibunuh karena mencoba lari. Satu ditinggal di perbatasan, dijadikan penghibur para tentara yang bersekongkol. Sisanya diselundupkan ke Malaysia, dijual lalu dipaksa melacur di negeri asing itu.

Aku tidak tahu berapa harga jualku tapi kurasa cukup tinggi karena saat itu aku masih perawan. Pembeliku wanita Tionghoa pemilik rumah bordil. Mantan pelacur yang sudah terlalu tua untuk menjual diri. Mereka sepertinya sudah kenal lama, wanita itu dan Ju. Tidak terjadi nego harga saat Ju menyerahkan kami. Ju hanya berkata, “Lima satu sesuai pesanan. Barang bagus,” lalu dia menerima amplop tebal yang kuduga pasti berisi uang.

Aku dan keempat perempuan yang lain ditinggalkan di sana oleh Ju dalam keadaan terbelit utang. Atas dasar itu, wanita Tionghoa yang membeli kami mendapat kebebasan penuh untuk memperlakukan kami sesuai kehendaknya. Mam, begitu kami memanggilnya, membuat kami mengerti perlahan-lahan posisi kami di tempat itu sebagai barang dagangan. Mam mengajari kami cara bertahan hidup dan juga cara memuaskan lelaki. Aku melayani ribuan lelaki di sana. Selama tiga tahun. Lelaki-lelaki yang bosan pada istri mereka atau justru tidak punya istri untuk melampiaskan dorongan berahi.

“An sedang apa, Mbok?”

Deretan rumah-rumah kayu di seberang jendelaku berubah kekuningan diterpa pendar senja. Kuperhatikan, orang-orang yang bekerja di ladang sudah kembali. Kuyu dan basah oleh peluh. Aku mematikan rokok di tanganku. Kusisakan setengah batang untuk nanti malam. Lalu aku menutup jendela dan beranjak dari sudut dapur untuk menyalakan lampu minyak. Beras yang tadi dibersihkan si Mbok kini tanak di dalam dandang. Uap panas mengepul menghangatkan ruangan, disertai suara letupan air mendidih yang mengundang lapar.

“Masih tidur anak itu?”

Si Mbok menjawab, “Mungkin masih, Den. Tadi pulang sekolah agak sore. Makan, bikin PR, lalu langsung tidur.”

Aku tidak memberi tanggapan. Tanyaku lagi, “Masalah di sekolahnya bagaimana?”

“Ya begitu-begitu saja, Den. Selama masih menunggak, sikap guru-guru tidak akan berubah.”

Ucapan si Mbok membuatku berdesis. Baru beberapa bulan saja uang sekolah An tertunggak, para guru mulai bersikap tidak masuk di akal dengan mengintimidasi anak kecil yang tidak tahu apa-apa. An disudutkan di sekolah, dipandang sebelah mata seperti pengemis kotor yang tidak berhak berkumpul dengan anak-anak lain. Padahal guru-guru itu sama miskinnya dengan kami. Utang mereka juga banyak menumpuk di setiap warung di desa. Kalau mereka menganggap kami pengemis, mereka sendiri pasti tikus comberan.

Kuminta si Mbok memanaskan sayur untuk makan kami. Kutinggalkan wanita tua itu bekerja sendiri di dapur, sementara aku berpindah ke ruangan lain untuk mencari An. Kudapati An berada di dalam kamar. Tidur meringkuk di atas kasur yang terbentang tanpa dipan. Sepasang tangannya memeluk guling yang kempis. Wajahnya tersembunyi di balik guling tersebut.

An tidak mengenal ayahnya. Begitu pula diriku. Aku mulai mengandung saat masih bekerja pada Mam. Sulit untuk memastikan siapa lelaki yang bertanggung jawab. Ada terlalu banyak kemungkinan karena setiap harinya, pada masa-masa itu, aku tidur dengan tiga sampai enam lelaki.

Kala itu bukan untuk pertama kalinya aku mengandung dan seperti biasa, Mam menyuruhku menggugurkan kandungan. Aku menolak. Sudah terlalu sering dan aku tidak ingin membunuh bayiku lagi. Tentu saja perempuan yang hamil tidak bisa bekerja di rumah bordil, maka setelah bekerja lebih dari dua tahun, aku diberhentikan oleh Mam lalu dikembalikan pada Ju.

Ju sendiri yang mengantarku kembali ke desa. Dia memberiku pesangon dan sebuah tugas kecil: berpura-pura pada semua orang di desa bahwa selama aku pergi, aku bekerja sebagai buruh di Malaysia dengan gaji yang tinggi. Kedok ini akan mempermudah Ju saat dia ingin melakukan rekrutmen baru di desa. Kedok ini juga menyelamatkan mukaku setelah aku pulang dengan perut buncit. Aku memiliki suami di Malaysia, begitu yang orang-orang desa ketahui sampai saat ini.

“Mbok!”

Aku mengganti pakaianku. Kubalut tubuh dengan baju hangat, bersiap diri menghadapi udara dingin di luar rumah. Si Mbok sudah berdiri di ambang pintu. Padanya aku berkata, “Nanti kalau An bangun, suruh mandi lalu makan. Saya pergi dulu. Ada urusan sebentar. Bilang pada An, jangan menunggu saya. Mungkin saya baru pulang menjelang tengah malam.”

Si Mbok mengangguk mengerti lalu kutinggalkan rumah untuk mendatangi losmen kecil di tengah kota, satu-satunya rumah penginapan yang ada di desa kami. Di losmen itulah pasti kini Ju berada. Aku tidak membawa golok. Aku pergi menemui Ju bukan untuk membacok lelaki itu. Bagaimana pun, aku masih waras.

Sepanjang perjalanan ditemani remang lampu-lampu desa, yang bisa terpikirkan olehku hanyalah uang. Dingin membuat laparku semakin terasa, mengingatkan diriku pada setumpuk masalah keuangan yang kini sedang menggerogoti pelan-pelan. Saat kembali dari Malaysia, aku sempat kaya mendadak. Aku mendapati kedua orang tuaku sudah lama pergi dan meninggalkan sejumlah warisan. Uang pesangon yang diberikan oleh Ju juga tidak sedikit, tetapi tujuh tahun berlalu dan kini yang masih tersisa hanyalah uang tip yang kukumpulkan selama bekerja pada Mam.

Saat ini aku butuh uang dan mungkin Ju bisa memberikannya padaku.

“An? An siapa?” Di ambang pintu aku berdiri menghadapi lelaki itu. Mata Ju memperhatikanku dengan cermat sambil dirinya berusaha mengingat-ingat.

Kukatakan padanya, “An yang hamil saat kerja di rumah Mam lalu kau bawa kembali ke desa ini.”

Ekspresi Ju berubah setelah aku mengatakan itu. Dia berseru, “An! Ya ya ya. An yang itu! Oh, sudah lama sekali.”

“Memang,” tanggapku. “Boleh saya masuk?”

“Tentu. Masuklah ke dalam!”

Aku melangkah memasuki kamar Ju yang cukup terang. Kamar itu adalah kamar terbaik yang dimiliki losmen tersebut. Selain tempat tidur yang lebar dan berdipan, ada dua kursi kayu berbantal empuk di salah satu sisi. Di antara dua kursi itu, sebuah jendela terbuka memasukkan udara dingin dan suara jangkrik. Ju menutup pintu di belakang kami lalu mempersilakanku duduk pada salah satu kursi sementara dia duduk di kursi satunya.

Kataku tanpa basa-basi, “Saya butuh uang.”

Ju tidak langsung menjawab. Dia tersenyum lalu mengulur waktu dengan menyulut sebatang rokok. Diberikannya rokok itu padaku. “Ayo, merokok dulu.”

Kuterima rokok pemberian Ju. Kuhisap aromanya dalam-dalam lalu kukatakan lagi, ”Uang pesangon darimu memang cukup besar dan saya punya simpanan selama di Malaysia, tetapi saya beranak satu. Semua habis begitu cepat.”

Ju tertawa. Dia menanggapi, “Seharusnya kau dulu mendengarkan Mam. Kaugugurkan kandunganmu dan kau bisa terus bekerja di Malaysia. Gampang, tidak perlu repot mikirin anak. Tapi dasar kau keras kepala. Pakai sok bawa-bawa dosa segala. Memangnya kau kira melacur bukan dosa? Berapa kali kau melacur dalam sehari? Dosa sudah menumpuk, untuk apa pikir dosa lagi?”

Aku balas tertawa. “Ah, kalaupun saya turuti keinginan Mam waktu itu, paling-paling saya hanya bertahan satu atau dua tahun lagi, sampai Mam ganti stok dengan perempuan-perempuan baru yang lebih muda. Pekerjaan apa yang bisa dilakukan oleh pelacur yang tidak melacur lagi?”

“Tapi kau jadi tidak pusing karena urusan anak,” balas Ju.

Aku terdiam sejenak, kembali menghisap rokokku. “Benar,” ucapku pelan. Aku menyukai An. Ibu mana yang tidak menyukai darah dagingnya sendiri. Tetapi biaya membesarkan seorang anak sungguh tidak sedikit. Harus diakui, An membuatku bangkrut.

“Anakmu perempuan apa laki-laki?”

“Perempuan.”

“Berapa umurnya?”

“Tujuh tahun.”

Ju mengangguk-anggukkan kepala. Dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri tas pakaian yang dia letakkan di atas tempat tidur. Tangannya merogoh ke dalam tas itu lalu keluar menggenggam segepok uang. “Hitung dulu!” Dilemparnya uang itu padaku. Aku mulai menghitung, sementara Ju berkata, “Begitu umurnya dua belas, anakmu ikut saya.”

Ucapan itu sempat membuatku terkejut, tetapi tidak lama.

Kulanjutkan kesibukanku menghitung uang. Kupikir, aku masih lebih baik dari perempuan-perempuan frustasi dalam berita nasional yang membunuh bayi mereka karena masalah yang sama. Jika aku bisa melewati masa-masa mengerikan di Malaysia, maka anakku juga pasti bisa bertahan. Nanti akan kunasihati dia bagaimana agar lelaki mau memberi uang tip yang banyak dan akan kusuruh dia melahirkan beberapa anak perempuan.

Untuk tabungan masa tua.


Jakarta, 18 April 2008

14 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. windry, superb!!! perkembangan menulismu sangat luar biasa, ya :) aku merinding deh bacanya. karaktermu semakin kuat dibandingkan yang dulu-dulu, ya... dan alur ceritamu juga semakin berkonflik. KEREN, WIN!!! Oh ya, kabar-kabari aku kalo Orange sudah keluar di toko buku, ya :) I'll grab one (semoga covernya masih sama hehehe, i love that cover)

    ReplyDelete
  3. hau, terima kasih Hann ^^. Orange uhuhuuu diriku juga jadi menantikannya hahaha. semoga covernya sama. kalaupun beda, semoga ngga kalah oke. yang penting sih keknya semoga cepat terbit hahahaha

    ReplyDelete
  4. Spechless....
    Cerita ini "Luar Biasa"

    ReplyDelete
  5. cerita yang hebat..sangat bagus...keren..

    ReplyDelete
  6. fiuhhh, ini sih udah kelas kakap
    empat jempol buat neng,
    bagus bangettt
    ak dah bookmark nih blog, very recommended,
    jadi penulis papan atas indo tinggal nunggu waktu aja neh neng, keep up the good work

    ReplyDelete
  7. setuju..

    miss windry pasti bakalan jadi penulis papan atas Indonesia *wuuiih, merinding ngetiknya*

    ^^

    selamat.. selamat..

    (turut bahagia)

    ReplyDelete
  8. terima kasih. saya masih harus banyak belajar, sebenarnya.

    ReplyDelete
  9. Win,

    G suka tulisan lo yg ini. SO far g masih baca Orange, rada telat bacanya, maklum, taunya juga telat hehehe... Oia, balik ke tulisan ini. Tajem banget, g suka, ngebacanya ibarat anak panah. Meluncur menembus udara dan jeb berakhir di tujuan. Waaaah.. keren. G terusin ah bacanya.

    ReplyDelete
  10. duh, aku pembaca barumu mbak wid.
    aku jatuh cinta sama tulisanmu. :')
    tetap berkarya ya mbak.

    ReplyDelete
  11. terima kasih sudah membaca tulisanku :). salam kenal.

    ReplyDelete
  12. Bagus banget mbak. Merinding baca endingnya. Betul-betul bagus!

    ReplyDelete
  13. Keren parah... ini sudah macam cerpen-cerpen penuh sindiran di koran-koran Kompas zaman lampau. Langka dibaca dan langka ditemui.

    ReplyDelete