.

.

Sekali Lagi: Pak Tua yang Membaca Cerita Cinta

Yang saya sukai dari sebuah buku luar (yang dialihbahasakan dengan baik) adalah taburan kalimat-kalimat bertingkat super panjang yang kaya akan detil menggelitik, yang miskin dimiliki oleh tulisan-tulisan dalam negeri.

Saya ingat obrolan ringan Yusi dan Sulak pada satu sore seusai kelas, bahwa sesungguhnya kalimat bertingkat sanggup menyulap tulisan menjadi jauh lebih menarik, namun struktur bahasa kita tidak cukup fleksibel untuk mengembangkan varian konsep tersebut, sehingga yang terjadi adalah keterbatasan bentuk kalimat atau malah kerancuan arti.

Karena itu, sering terjadi kesulitan dalam penerjemahan kalimat-kalimat asing ke dalam bahasa kita, seperti yang terjadi dalam buku terjemahan Catcher in The Rye (Banana Publisher), di mana kalimat-kalimat bertingkat dipecah menjadi beberapa kalimat tunggal. Karena itu juga, mendadak saya Memuja Ronny Agustinus, yang mempertahankan bentuk kalimat-kalimat Sepulveda dalam Pak Tua yang Membaca Cerita Cinta dan membuat batin saya terpuaskan (tentu saja, ini hiperbolis), kendati saya mempertanyakan sejumlah peletakan tanda baca yang dia lakukan.

Sepulveda sendiri, menurut saya, jenius. dia tidak perlu menulis setebal Twilight untuk membuat novel yang lebih kaya, lagi-lagi menurut saya. Novel buatannya tidak sampai 100 halaman; luar biasa padat. Setiap kata yang dia tulis, barangkali, tidak bisa dipangkas lagi. Jika bisa memberi dia gelar, akan saya panggil dia dengan sebutan samurai (tapi bukan Kenshin Himura karena batosai tidak bisa memotong dengan pedang terbaliknya).

Kisah dalam Pak Tua yang Membaca Cerita Cinta (terkesan) sederhana, tentang Antonio Jose Bolivar yang menyepi di desa kecil di tengah rimba raya Equador dan gemar membaca novel cinta picisan, dipadu dengan polemik lingkungan yang diusik oleh peradaban, dan menampilkan karakter-karakter unik yang bercokol kuat di kepala pembaca. Selain Antonio Jose Bolivar yang suka cerita cengeng, ada dokter gigi yang membenci pemerintah, serta pak walikota yang kerjanya keringatan dan mengatur jatah bir di El Idilio.

Gaya tutur Sepulveda penuh ironi, sinis sekaligus lucu, sesuatu yang tampaknya ingin diajarkan oleh Yusi dan Sulak kepada murid-murid mereka (karena itu kami dikompori membaca buku ini). Dia meledek siapa saja. Dia menjadikan tokoh-tokohnya guyonan tanpa terkecuali. Dan itu menyenangkan untuk dibaca.


*note: this post is part of 30 Days of MEME.

No comments:

Post a Comment