
2nd
Prada Aoyama, Tokyo
“Baka da na?”
Ringan saja Ren melontarkan kalimat itu. Sedikit mengintimidasi, ia menatap sepasang mata bulat milik gadis di hadapannya. Pramuniaga bodoh yang sudah tiga kali salah membawakan sepatu pesanannya.
Prada Aoyama Boutique. Ia tidak salah masuk kan? Sudah gila apa manajemen butik upclass itu mempekerjakan gadis bodoh ini.
“Apa kau bilang?” gadis itu membalas dengan nada tinggi. Mata gadis itu membelalak.
Ren menghela nafas pelan. Gadis itu, sudah bodoh berani menjawab pula. “Kau pramuniaga baru, ya?” tanyanya dengan ketus. Kali ini ucapannya mengena. Wajah gadis itu berubah merah padam, seperti tadi pagi saat mereka bertemu pertama kali di pinggiran jalan Omotesando.
Hari ini Ren bolos sekolah. Bukan untuk yang pertama kalinya. Ia adalah pelajar tahun kedua di sekolah menengah Kaisei Academy. Keluarganya salah satu pemegang aset besar di Tokyo, sehingga ia bisa memasuki sekolah privat yang butuh biaya sangat besar itu. Ia juga pintar, tentunya, walau enam bulan belakangan ini ia tidak lagi punya minat melanjutkan sekolah.
Bicara mengenai bolos sekolah, sebenarnya ia biasa menghabiskan waktu di Akihabara atau Ikebukuro. Di sana ia akan berkeliling seharian, melihat-lihat barang elektronik terbaru atau mencari CD musik band-band new wave dan membeli yang ia suka. Entah mengapa hari ini ia justru mendatangi Omotesando. Sesekali memang ia nongkrong di Yoyogi Park atau Stasiun Harajuku. Tapi tidak ke Omotesando. Terlalu dekat dengan rumahnya dan ia tidak mau mengambil resiko dipergoki oleh orang tuanya.
Prada Aoyama Boutique yang sedang ia kunjungi saat ini pun, baru kali ini ia masuki. Bentuk bangunan butik itu yang tidak biasa memang sudah sejak lama membuatnya penasaran. Selama ini ia tidak pernah belanja pakaian sendiri. Semua sudah diurus, entah oleh siapa – ia tidak pernah ambil pusing. Karena itu, ia belum pernah memasuki toko pakaian manapun, termasuk Prada Aoyama Boutique. Tapi yah, sekali dalam hidup, ia merasa perlu memasuki butik ini. Hitung-hitung sambil menghambur-hamburkan uang ayahnya.
Tanpa berharap dilayani oleh pramuniaga sebodoh ini, tentu saja.
“Ah! Sumimasen!” supervisor butik itu datang menghampiri dirinya begitu mendengar keributan yang ia buat. “Sumimasen, apakah ada yang bisa saya bantu?” tanya supervisor itu dengan sopan.
Mengalihkan perhatian pada supervisor yang baru datang itu, Ren tetap memasang raut datarnya. “Iie, daijobu. Semua baik-baik saja,” jawabnya dingin. Pramuniaga yang sedang melayaninya memang bodoh tapi juga sekaligus menarik.
Tidak cantik, tetapi menarik. Perlu ia tegaskan.
“Tidak apa-apa. Anda bisa meninggalkan kami,” ucapnya lagi, meminta supervisor itu untuk pergi dan permintaannya tersebut dituruti segera.
Lalu Ren mengembalikan perhatiannya pada gadis tadi. “Sana, cari lagi sepatu yang kuinginkan,” perintahnya, “jangan sampai salah lagi. Warna oranye, ukuran sembilan.”
Gadis itu mendelik padanya tapi menahan diri untuk tidak membalas, lalu berlalu untuk mengambil sepatu yang Ren inginkan di gudang. Ren mengulas senyum geli. Entah apa yang menarik dari gadis itu. Reaksi spontan yang kerap dikeluarkan gadis itu, mungkin. Ia perhatikan, emosi gadis itu mudah sekali terbaca seperti plastik transparan. Yah, gadis itu juga cukup manis. Sedikit. Tidak terlalu. Gadis yang ia kenal banyak yang jauh lebih manis. Mereka juga lebih cantik. Tapi tidak menarik seperti gadis yang satu ini.
Beberapa menit Ren menunggu. Gadis itu muncul membawa satu kotak sepatu. Belum sampai kotak itu di tangan Ren, langkah gadis itu berhenti di depan sebuah stand asesoris untuk mengagumi sebuah topi musim dingin berwarna merah muda.
Kami! Sudah gila dirinya barusan menganggap gadis sebodoh itu menarik.
Ren tidak tahan lagi. Cepat, dihampirinya gadis itu untuk merebut kotak sepatu yang seharusnya diantarkan secepatnya padanya. Biar ia urus sendiri saja sepatu itu. Matanya sempat menatap tajam pada gadis yang ia anggap paling bodoh se-Aoyama, lalu direbutnya sekalian topi yang gadis itu kagumi dan melangkah ke arah kasir.
Biar tahu rasa!
(masih bersambung)
Author's Note : Well, it's been a while since I enjoy writing something as much as when I did this one. The words came out so smooth and I didn't stop until the last paragraph. Even though I still don't know where this story will went to, I like this story and its characters. Anyway, the name Ren, actually, it's for a while until I found another name which is more suit. Let me know if you have a mind.
aaarrrghhh..
ReplyDeletemana sambungannya?!?!
udah penasaran niyyy...
windry, kekuatan kamu memang di deskripsi tempat..
aku nggak pernah kepikiran bikin cerita bersetting toko prada.
T_T
(btw, cantik ya fasade prada itu..)
aku berlatih! berlatih!
:D
nyaaa ... makasih ghe ^^ makanya diriku buat tulisan 'writing kiss' biar bisa sharing caraku nulis yang cukup banyak memasukkan unsur tempat ^^
ReplyDelete