.

.

KISS

London, Tate Modern

“Do you know that this building won a pritzker?”

Di tengah kunjungan pertamaku ke galeri di pinggiran Thames itu, kau memberitahu.

“Oh ya? Bagaimana kau tahu?” tanyaku sambil menatapmu penuh kekaguman.

Kau yang berjalan di depanku menoleh sekilas, memamerkan deretan gigi putih lewat senyum lebar. Tanganmu menunjukkan sebuah booklet kecil yang kita dapatkan saat memasuki galeri sementara tawa renyahmu lepas dengan spontan. “Baca dong bookletmu,” kau mengejek.

Aku ikut tertawa, sedikit malu dan bisa kurasakan wajahku memanas. “Oh, shut up,” hardikku pelan.

Sekali lagi kau melayangkan senyum lalu kembali memanduku menyusuri lantai ramp sepanjang ratusan meter yang seperti tidak berujung. Sejumlah sclupture berukuran sangat besar diletakkan di beberapa tempat, terlihat kecil dalam rangkulan gigantik bangunan. Aku mendongak, menemukan skylight puluhan meter di atas kepalaku yang memamerkan langit biru London yang cerah.

Tate Modern. Bangunan yang menyimpan ratusan karya seni modern internasional itu memang luar biasa besar. Tertera di booklet, keseluruhan luas bangunan itu mencapai 3400 meter persegi.

“It was a power station,” kau kembali memberitahu, langkahmu terhenti dan sepasang mata coklatmu menyapu pandangan ke seluruh penjuru ruang, “ruangan tempat kita berada kini, dulu digunakan untuk menyimpan turbin.”

Aku menatapmu, penuh minat. Bukan pada cerita yang tengah kau sampaikan. Betapa kau telah menjelma menjadi seorang gadis dewasa yang memikat di hadapanku. Dengan tubuh ramping yang berbentuk indah, leher jenjang, wajah cantik sempurna dan rambut ikal sebahu kecoklatan.

Tiga tahun kita tidak bertemu, hanya satu yang tidak berubah. Wangi cedar aroma tubuhmu.

“Amazing how a little known Swiss architect transformed this old power station into a beautiful gallery.” Matamu berbinar saat mengucapkan kalimat itu sambil tidak lepas mengamati setiap sisi ruang. Kau menghela nafas panjang.

“Tate Modern,” ucapmu lirih, “suatu saat, karyaku akan berada di tempat ini.”

Bibirku menarik seulas senyum, luluh untuk kesekian kalinya oleh pesona yang memancar begitu alami dari dirimu. Hampir lima tahun aku menyimpan perasaan tanpa berani diungkapkan. Perasaan yang kuanggap bertepuk sebelah tangan. Cinta yang membawaku sampai ke London.

”I’m going to London,” dulu sekali kau berkata tanpa keraguan, ”University of the Arts. Aku akan belajar di tempat itu dan menjadi the next Lucian Freud.”

Tidak ada yang sanggup mencegahmu. Tidak aku, keluargamu atau siapapun. Keinginanmu begitu kuat dan aku terpaksa melepas dirimu tanpa sempat menyelesaikan apapun di antara kita.

“Let’s go to see Picasso on the third floor.”

“Di sini ada Picasso?”

Sekali lagi, kau melepaskan tawa renyah. “Bercanda, ya? It’s Tate anyway. Minimalis, abstrak, ekspresionis, kubis. Tate has them all!”

Kau tidak memberiku kesempatan untuk menanggapi. Tanganmu meraih tanganku, menarikku untuk melangkah mengikutimu setengah berlari. Kita melintasi turbine hall yang panjang, menaiki eskalator untuk mencapai lantai tiga lalu kau membawaku masuk ke salah satu ruang galeri.

Room of Distinguished Voices, begitu disebut pada denah dalam booklet. Ada lima buah lukisan dan satu sclupture yang dipamerkan dalam ruangan itu. Dilengkapi nama-nama artis yang tidak familiar bagiku selain Pablo Picasso.

Kita berhenti di hadapan sebuah lukisan monokrom milik Picasso. Aku tidak tahu kau sebut apa gaya lukisan yang saat itu kita hadapi. Aku hanya ingat, cukup lama kita terhanyut dalam hening ruang pameran. Tidak ada siapapun selain kita di dalam ruangan itu dan bisa kurasakan jantungku mulai berdebar kencang.

Sepi membuat wangi cedar aroma tubuhmu menjadi begitu kuat tercium, memancing emosi yang tersimpan begitu lama meluap tanpa bisa dicegah.

“Kau,” aku memecah keheningan, “tidak bertanya mengapa aku datang ke London?’

Kau tidak menjawab. Pandanganmu masih tertuju pada lukisan monokrom di hadapan kita. Sebenarnya tanpa perlu diungkapkan melalui kata-kata, kita berdua saling tahu apa yang sedang terjadi di antara kita. Tapi aku ingin membuatnya jelas, maka kutarik nafas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan semua.

“Aku mencintaimu.”

Kembali hening sesaat lalu kau berkata pelan, “Goat’s Skull, Bottle and Candle. Picasso melukis ini setelah perang dunia kedua.”

Seolah tidak mendengar apa-apa, kau tidak menanggapi pengakuanku.

“Warna abu-abu itu adalah muram lalu lilin dan tulang kepala melambangkan kematian,” katamu, “somber but recently, it’s my favorite piece in this gallery.”

Lalu matamu menatapku. Ada suatu emosi terpancar di sana yang tidak bisa kuterjemahkan. Bibirmu mengulas senyum tipis. “Let’s see Monet.”

Kau mengajakku melintasi ruangan untuk memasuki ruangan yang lain. Masih di lantai yang sama. Kali itu ruangan tersebut lebih kecil dengan empat lukisan di dalamnya. Satu-satunya karya Claude Monet yang dimiliki oleh Tate digantung di salah satu dinding.

Water Lilies.

“Monet melukis ini tahun 1916,” kau memulai lagi penjelasanmu, “saat itu, ekspresionis abstrak belum dikenal. Lukisan ini lahir empat puluh tahun terlalu awal. Monet meninggal dan Water Lilies baru dihargai dua puluh tahun kemudian.”

Aku mendesah. Perasaanku mulai gusar karena sikap dinginmu. Aku tidak terbang belasan jam hanya untuk mendengar racauanmu seputar Picasso dan Monet. Aku tidak sedang melancong di London. Aku datang untuk memilikimu.

Maka, penuh emosi, kutarik lenganmu. Memaksamu agar menatap padaku dan aku berkata memperjelas semuanya sekali lagi, “apa kau tidak dengar? Aku mencintaimu!”

Di luar dugaan, kau menepis tanganku. Senyuman di wajahmu menghilang dan ekspresimu berubah frustasi. “Aku tidak punya apapun lagi!” teriakmu memenuhi ruang pameran yang kosong, membuatku terkejut.

“Lukisanku,” bibirmu mengeluarkan suara dengan gemetar, “seperti Water Lilies milik Monet, hadir puluhan tahun terlalu awal.”

Aku diam, terhenyak begitu memahami maksud ucapanmu dan dadaku ikut merasa sesak. Kulihat kedua matamu mulai basah. Sosokmu yang selama ini selalu tampil kuat dan bersinar di hadapanku kini terlihat begitu lemah. Begitu rapuh sampai aku takut kau akan hancur.

Perlahan sekali, lenganku terulur untuk menarikmu ke dalam pelukan. Tubuh rampingmu terguncang saat kau mulai terisak, menangis sebisamu di bahuku. Di sela tangisan kau berkata lirih, “tidak ada yang mengakui lukisanku, juga Tate. Aku yang seperti ini, kau masih menginginkannya?”

Dan aku tidak tahan untuk tidak menghapus kepedihanmu. Maka kulepaskan rangkulan, tanganku beralih meraih wajahmu lalu aku mengecup bibirmu yang basah karena air mata. Lembut dan lama. Tidak kulepaskan dirimu sampai kita kehabisan nafas.

Saat aku menarik diri, tangisanmu sudah hilang. “Aku mencintaimu. Kau yang seperti apapun,” bisikku pelan di telingamu, “dan suatu saat, walau terlambat, Tate pasti akan mencari karyamu. Pasti.”

Kau kembali membenamkan diri dalam pelukanku. Wajahmu tertunduk. Aku tidak bisa melihat ekspresimu saat itu. Hanya kata-katamu yang kuingat, “tapi aku bukan Monet.”

Ya. Kau bukan Monet dan lukisanmu bukan Water Lilies.

Kau tidak butuh puluhan tahun untuk membuat dunia mengakui karyamu. Hanya tujuh tahun berlalu setelah malam terakhir yang kita lalui bersama di apartemenmu.

Dan kini aku berdiri sekali lagi di dalam Tate Modern. Sendiri menatap sebuah lukisan yang akhir-akhir ini disebut sebagai karya jenius. Revolusi baru di dunia seni modern. Peninggalan dirimu yang tidak sempat kausaksikan tergantung di salah satu ruang milik Tate.

Pagi itu, tujuh tahun yang lalu, aku terbangun dengan dirimu di sisiku. Kau memejamkan mata. Wajah cantikmu begitu putih. Sebuah senyum terulas dan tanganmu menggenggam sebuah botol obat yang sudah kosong.

Kukejar ke London pun, kau tetap tidak bisa kumiliki.

Kenangan pahit itu memaksaku menghela nafas panjang yang berat. Sekali lagi, sebelum beranjak pergi, aku menatap lukisanmu. Hadir sendiri dalam ruangan khusus Tate Modern.

Kau bukan Monet.

Tapi aku tidak akan pernah lupa kecupan itu. Lembut seperti Water Lilies.


Jakarta, 3 September 2007
untuk menyambut album ke-11 L’Arc-en-Ciel : KISS
miss worm

No comments:

Post a Comment