.

.

Close Reading


Berawal dari membaca tulisan Wawan Eko Yulianto di Multiply-nya, saya ingin mengobrol sesuatu tentang close reading. Dalam tulisan itu, mas Wawan (begitu saya biasa memanggil beliau) membahas mengenai minimnya kritikus sastra yang ada saat ini (dalam tulisan beliau, khususnya di Jawa Timur) sementara penulis-penulis muda berbakat justru sedang meningkat pesat, terlihat dari terpampangnya karya-karya sejumlah penulis tersebut dalam banyak media masa setiap minggunya. Lalu apa korelasinya dengan close reading?

Jelas, saya sih berpendapat itu adalah indikasi minimnya pembaca teliti dalam dunia sastra. Saat seseorang sedang menyenangi sesuatu (menulis-red), memang seringkali terpukau dengan keasyikan tersebut. Saya sendiri pernah mengalaminya. Asyik menulis dan lupa membaca. Saya bukan mengatakan kebanyakan penulis tidak senang membaca atau lupa berapresiasi. Hanya, mungkin tidak semua membiasakan close reading.

Ada satu kecenderungan lain yang paralel (dan terbalik) di mana kritikus sastra tidak banyak menghasilkan karya tulis fiksi bukan esai (tidak semua, tentu). Tapi karena saya seorang penulis (wannabe), marilah membahas fenomena pertama lebih detil.

Pertama kali saya melakukan close reading adalah saat saya sedang mencoba membaca karya Joni Ariadinata dan seorang teman saya mengajak saya mereview karya tersebut. Diputuskan, saya akan menulis esai mengenai karya Joni dalam Air Kaldera. Maka, mau tidak mau, terjadilah close reading tersebut dan bertebaranlah note-note kecil di setiap halaman buku Joni.

"Membaca esai-mu, saya yakin bahwasanya kamu benar-benar membaca tulisan Joni," statement tersebut membuat saya menyadari kehadiran aktivitas bernama 'close reading'.

Benar-benar membaca memang berbeda dengan membaca sekadar. Di saat biasanya saya hanya menjadi pembaca pasif, pertama kalinya saya menelaah sebuah karya tulis dan di situ dunia sebuah karya tiba-tiba saja menjadi begitu luas, tidak hanya sekedar kata yang bercerita tapi sangat kompleks dengan semua unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsiknya. Dan tentunya yang paling penting adalah, saya membuat celah untuk saya sendiri masuk ke dalam sebuah karya tulis lalu mengambil segenggam ilmu. Ya, masakan capai-capai close reading lalu saya tidak mendapatkan apa-apa.

Akhir-akhir ini saya sedang mencoba membiasakan close reading ini. Saat menemukan karya yang memikat, saya ingin mencoba menilik lebih dalam, melucuti setiap lapis demi lapis sampai saya bisa melihat karya itu seperti menatap foto hasil roentgen.

Saya percaya kualitas penulis itu salah satunya terlihat dari kemampuan mereka mendalami sebuah karya. Semacam Budi Dharma, beliau mahir di kedua fiksi dan esai. Atau Joko Pinurbo, mahir menulis puisi dan selalu mempunyai sudut pandang menarik saat melihat sebuah karya.

5 comments:

  1. iyak iyak dicoba ... nyemilin ilmu orang emang enak hehehe :D

    ReplyDelete
  2. Hmm... seperti juga ahli kecantikan yang harus tau berapa jumlah pori-pori di wajah. Thanks for sharing, Wind :)

    ReplyDelete
  3. nice info... makasih kak windry :D

    ReplyDelete