
Aku ingin mengejar gadis kecil itu. Akan kubawa dia pulang begitu kudapatkan. Akan kubersihkan dan kupakaikan daster merah muda. Akan kuberi hadiah boneka lalu kupeluk erat-erat di tempat tidur sambil kubacakan dongeng anak-anak.
Dia duduk sendiri di sudut bis tua. Tidak memakai alas kaki. Pakaiannya hijau tosca yang sudah kusam dan penuh noda tanah. Kulitnya menghitam, mungkin karena terbakar matahari atau justru karena daki. Kuku-kuku jarinya panjang dan kotor, tidak terawat, seperti rambut ikalnya yang memerah.
Gadis kecil itu membuang pandangannya keluar jendela, mencoba mengasingkan diri dari penumpang-penumpang lain yang memperhatikannya. Dia menaikkan kedua kakinya ke atas kursi, menekuk kedua lututnya, dan memeluknya dengan kedua tangan. Dia tidak membayar. Kondektur juga tidak menagihnya.
Aku pernah melihatnya di perempatan jalan besar, di kolong fly over bersama beberapa temannya dan pedagang-pedagang asongan. Dia mengejar seorang anak lelaki yang sebaya. Mereka berlarian di tepi jalan raya yang ramai, berebut beberapa lembar uang kecil. Mulut mereka mengeluarkan kata-kata kasar. Mereka saling memaki lewat teriakan seperti bukan anak kecil. Tangan saling terjulur, menjambak rambut dan memukuli kepala lawan.
“Duit gue! Balikin, sialan!”
“Gue yang nyanyi, lo cuma ngecrek duit. Bagian gue lebih besar.”
“Asem nih anak!”
Gadis kecil itu mengambil sebongkah batu besar, entah dari mana. Diancamnya anak laki-laki itu sambil mengacung-acungkan senjata. “Gue bunuh, lo! Gue pecahin kepala lo!”
“Sini! Gue ngga takut.”
Kembali mereka berlarian melintasi jalan. Mobil-mobil mengerem mendadak. Klakson-klakson dibunyikan. Kaca jendela-kaca jendela dibuka dan pengendara-pengendara menyumpahi mereka karena kesal. Polisi pengatur lalu lintas di perempatan jalan melihat itu tapi hanya diam. Dia tidak melakukan apa-apa. Mungkin tubuhnya terlalu berat untuk digerakkan atau itu sudah terlampau biasa.
Aku ingin membawa gadis kecil itu pulang. Akan kuberikan dia susu hangat dan semangkuk sereal. Akan kududukkan dia di ruang keluarga dan kutemani menonton televisi, lalu kuajak dia bermain jenga sampai tengah malam, sampai kami tertidur karena capai bersenang-senang.
Segerombolan anak sekolah memasuki bis. Anak-anak itu berebut tempat duduk sambil ramai tertawa dan mengobrol. Yang perempuan memakai pita rambut. Yang laki-laki memakai topi. Mereka bersepatu dan memanggul tas bergambar hewan-hewan lucu atau pahlawan pembela kebenaran.
Gadis kecil memperhatikan anak-anak itu dengan kesal. Dia menurunkan kakinya, bangkit berdiri lalu melompat keluar bis yang sedang berhenti di halte. Lewat jendela kuperhatikan, dia berjongkok di tepi jalan. Mengeluarkan lembaran ribuan dari saku bajunya lalu mulai menghitung.
“Ngapain lo turun, Nyuk? Ngga jadi numpang bis gue?”
“Ah, bis lo berisik. Gue naik yang belakang aja.”
“Banyak bener duit lo.”
“Masih kurang nih. Kalau dipotong si abang, ngga cukup buat bertiga.”
“Makanya, suruh adek lo cari duit juga.”
"Adek gue masih orok, Kunyuk!”
Kondektur tertawa. Dia berdiri di pintu belakang bis. Berteriak memanggil penumpang sambil membunyikan koin lima ratusan di kaca jendela. Beberapa orang naik lalu bis kembali berjalan, meninggalkan gadis kecil di halte.
Kulihat gadis kecil itu di lain hari, di dalam bis berjurusan sama dengan sebelumnya. Dia berdua dengan seorang anak laki-laki. Temannya memetik okulele dan dia bernyanyi sumbang. Pakaian yang dikenakannya masih hijau tosca. Rambutnya yang kusut dikuncir kuda. Telinganya ditindik dan dia memakai anting kecil dari besi buatan sendiri.
Dia menyodorkan plastik bekas permen ke hadapanku. Sejumlah uang receh berdenting di dalamnya. Aku merogoh saku tasku dan memasukkan beberapa permen mint ke dalam plastik itu. Gadis kecil itu tertawa mengejek tapi tidak berkata apa-apa lalu dia turun dari bis bersama temannya setelah urusannya selesai.
“Dapat berapa kita?”
“Dapat permen.”
Masih sempat kudengar tawa mereka sebelum bis kembali berlalu. Aku punya banyak persediaan permen untuk anak-anak seperti gadis kecil itu di dalam tasku. Selalu kupastikan persediaanku cukup, setiap pagi sebelum berangkat bekerja. Dan keesokan-keesokan harinya saat kami bertemu lagi, gadis kecil itu belajar terbiasa menerima beberapa bungkus permen mint.
“Bu. Ibu pelit atau ngga punya uang?”
Pernah di satu sore kami menunggu bis di halte yang sama. Gadis kecil itu sendiri tanpa teman laki-lakinya. Pakaiannya masih hijau tosca. Kakinya masih telanjang. Aku menatap padanya sambil tersenyum.
“Kok bertanya begitu?”
“Soalnya Ibu selalu ngasih permen, bukan uang.”
“Kamu tidak suka?”
“Permen ngga bisa disetor, Bu. Adek saya juga belum bisa makan permen.”
“Permen itu buat kamu. Kamu saja yang makan.”
Dia terdiam setelah mendengus. Pembicaraan kami berhenti. Aku tidak ingin menanyakan hal basa-basi yang sudah kuketahui jawabannya seperti, apakah dia sekolah? atau kenapa dia tidak sekolah? atau apakah pekerjaan ibu dan bapaknya? atau yang semacam itu. Aku tidak ingin bertanya.
Aku ingin memeluknya erat-erat di tempat tidur sambil membacakannya dongeng anak-anak. Akan kuajak dia bersepeda di pagi hari. Akan kupakaikan dia seragam dan kuantar ke sekolah. Akan kutemani dia ke toko buku lalu kubelikan alat gambar dan buku mewarnai.
Hujan turun deras beberapa hari. Aku keluar dari rumah membawa plastik hitam berisi satu set pakaian kering dan sebuah payung. Kucari gadis kecil itu di perempatan jalan yang biasa. Kutanyakan keberadaannya pada anak laki-laki pemain okulele yang selalu bersamanya. Kutunggu dia di bawah jembatan. Sampai sore habis dan malam hampir keluar.
Sebuah bis berhenti di seberang jalan raya. Gadis kecil itu turun sambil memaki-maki. Tangannya mengacung-acungkan jari. Suaranya tertelan bisikan hujan. Bis itu berlalu dan dia berdiri kehujanan di tepi jalan. Pakaian hijau tosca-nya basah. Hujan melunturkan noda-noda tanah.
Lampu lalu lintas berganti merah. Kendaraan-kendaraan berhenti hampir serempak di belakang garis penyeberangan jalan. Aku berlari menghampiri gadis kecil itu. Kupayungi tubuhnya agar tidak semakin basah. Kuberikan plastik hitam berisi pakaian kering yang kubawa dari rumah padanya.
“Ganti bajumu, ya. Bawa payung ini.”
Aku tidak berkata banyak. Payung satu-satunya yang kubawa sudah kuberikan. Kuhentikan taksi yang lewat. Kubuka pintu dan aku masuk cepat-cepat. Kuberitahu arah tujuanku pada supir lalu taksi itu kembali melaju.
Lewat kaca spion, kulihat gadis kecil itu berlari mengejar. Tangannya melambai-lambai memanggilku, tetapi jalanan terlalu padat dan dia berhenti saat taksi semakin menjauh. Aku menengok ke belakang, sempat kulihat dia menghapus tangis di wajahnya sambil menggenggam erat payung di tangan.
Aku ingin memiliki gadis kecil itu. Akan kunamakan dia Putri. Akan kupanjangkan rambutnya agar bisa dikepang. Akan kuberikan kamar penuh warna pastel di sebelah kamarku. Akan kurawat dia baik-baik dan kulimpahkan cinta.
Akan kujadikan dia pengganti gadis kecilku.
Jakarta, 22 Februari 2008
dari musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono dengan judul sama, dinyanyikan oleh Dua Ibu.
Dia duduk sendiri di sudut bis tua. Tidak memakai alas kaki. Pakaiannya hijau tosca yang sudah kusam dan penuh noda tanah. Kulitnya menghitam, mungkin karena terbakar matahari atau justru karena daki. Kuku-kuku jarinya panjang dan kotor, tidak terawat, seperti rambut ikalnya yang memerah.
Gadis kecil itu membuang pandangannya keluar jendela, mencoba mengasingkan diri dari penumpang-penumpang lain yang memperhatikannya. Dia menaikkan kedua kakinya ke atas kursi, menekuk kedua lututnya, dan memeluknya dengan kedua tangan. Dia tidak membayar. Kondektur juga tidak menagihnya.
Aku pernah melihatnya di perempatan jalan besar, di kolong fly over bersama beberapa temannya dan pedagang-pedagang asongan. Dia mengejar seorang anak lelaki yang sebaya. Mereka berlarian di tepi jalan raya yang ramai, berebut beberapa lembar uang kecil. Mulut mereka mengeluarkan kata-kata kasar. Mereka saling memaki lewat teriakan seperti bukan anak kecil. Tangan saling terjulur, menjambak rambut dan memukuli kepala lawan.
“Duit gue! Balikin, sialan!”
“Gue yang nyanyi, lo cuma ngecrek duit. Bagian gue lebih besar.”
“Asem nih anak!”
Gadis kecil itu mengambil sebongkah batu besar, entah dari mana. Diancamnya anak laki-laki itu sambil mengacung-acungkan senjata. “Gue bunuh, lo! Gue pecahin kepala lo!”
“Sini! Gue ngga takut.”
Kembali mereka berlarian melintasi jalan. Mobil-mobil mengerem mendadak. Klakson-klakson dibunyikan. Kaca jendela-kaca jendela dibuka dan pengendara-pengendara menyumpahi mereka karena kesal. Polisi pengatur lalu lintas di perempatan jalan melihat itu tapi hanya diam. Dia tidak melakukan apa-apa. Mungkin tubuhnya terlalu berat untuk digerakkan atau itu sudah terlampau biasa.
Aku ingin membawa gadis kecil itu pulang. Akan kuberikan dia susu hangat dan semangkuk sereal. Akan kududukkan dia di ruang keluarga dan kutemani menonton televisi, lalu kuajak dia bermain jenga sampai tengah malam, sampai kami tertidur karena capai bersenang-senang.
Segerombolan anak sekolah memasuki bis. Anak-anak itu berebut tempat duduk sambil ramai tertawa dan mengobrol. Yang perempuan memakai pita rambut. Yang laki-laki memakai topi. Mereka bersepatu dan memanggul tas bergambar hewan-hewan lucu atau pahlawan pembela kebenaran.
Gadis kecil memperhatikan anak-anak itu dengan kesal. Dia menurunkan kakinya, bangkit berdiri lalu melompat keluar bis yang sedang berhenti di halte. Lewat jendela kuperhatikan, dia berjongkok di tepi jalan. Mengeluarkan lembaran ribuan dari saku bajunya lalu mulai menghitung.
“Ngapain lo turun, Nyuk? Ngga jadi numpang bis gue?”
“Ah, bis lo berisik. Gue naik yang belakang aja.”
“Banyak bener duit lo.”
“Masih kurang nih. Kalau dipotong si abang, ngga cukup buat bertiga.”
“Makanya, suruh adek lo cari duit juga.”
"Adek gue masih orok, Kunyuk!”
Kondektur tertawa. Dia berdiri di pintu belakang bis. Berteriak memanggil penumpang sambil membunyikan koin lima ratusan di kaca jendela. Beberapa orang naik lalu bis kembali berjalan, meninggalkan gadis kecil di halte.
Kulihat gadis kecil itu di lain hari, di dalam bis berjurusan sama dengan sebelumnya. Dia berdua dengan seorang anak laki-laki. Temannya memetik okulele dan dia bernyanyi sumbang. Pakaian yang dikenakannya masih hijau tosca. Rambutnya yang kusut dikuncir kuda. Telinganya ditindik dan dia memakai anting kecil dari besi buatan sendiri.
Dia menyodorkan plastik bekas permen ke hadapanku. Sejumlah uang receh berdenting di dalamnya. Aku merogoh saku tasku dan memasukkan beberapa permen mint ke dalam plastik itu. Gadis kecil itu tertawa mengejek tapi tidak berkata apa-apa lalu dia turun dari bis bersama temannya setelah urusannya selesai.
“Dapat berapa kita?”
“Dapat permen.”
Masih sempat kudengar tawa mereka sebelum bis kembali berlalu. Aku punya banyak persediaan permen untuk anak-anak seperti gadis kecil itu di dalam tasku. Selalu kupastikan persediaanku cukup, setiap pagi sebelum berangkat bekerja. Dan keesokan-keesokan harinya saat kami bertemu lagi, gadis kecil itu belajar terbiasa menerima beberapa bungkus permen mint.
“Bu. Ibu pelit atau ngga punya uang?”
Pernah di satu sore kami menunggu bis di halte yang sama. Gadis kecil itu sendiri tanpa teman laki-lakinya. Pakaiannya masih hijau tosca. Kakinya masih telanjang. Aku menatap padanya sambil tersenyum.
“Kok bertanya begitu?”
“Soalnya Ibu selalu ngasih permen, bukan uang.”
“Kamu tidak suka?”
“Permen ngga bisa disetor, Bu. Adek saya juga belum bisa makan permen.”
“Permen itu buat kamu. Kamu saja yang makan.”
Dia terdiam setelah mendengus. Pembicaraan kami berhenti. Aku tidak ingin menanyakan hal basa-basi yang sudah kuketahui jawabannya seperti, apakah dia sekolah? atau kenapa dia tidak sekolah? atau apakah pekerjaan ibu dan bapaknya? atau yang semacam itu. Aku tidak ingin bertanya.
Aku ingin memeluknya erat-erat di tempat tidur sambil membacakannya dongeng anak-anak. Akan kuajak dia bersepeda di pagi hari. Akan kupakaikan dia seragam dan kuantar ke sekolah. Akan kutemani dia ke toko buku lalu kubelikan alat gambar dan buku mewarnai.
Hujan turun deras beberapa hari. Aku keluar dari rumah membawa plastik hitam berisi satu set pakaian kering dan sebuah payung. Kucari gadis kecil itu di perempatan jalan yang biasa. Kutanyakan keberadaannya pada anak laki-laki pemain okulele yang selalu bersamanya. Kutunggu dia di bawah jembatan. Sampai sore habis dan malam hampir keluar.
Sebuah bis berhenti di seberang jalan raya. Gadis kecil itu turun sambil memaki-maki. Tangannya mengacung-acungkan jari. Suaranya tertelan bisikan hujan. Bis itu berlalu dan dia berdiri kehujanan di tepi jalan. Pakaian hijau tosca-nya basah. Hujan melunturkan noda-noda tanah.
Lampu lalu lintas berganti merah. Kendaraan-kendaraan berhenti hampir serempak di belakang garis penyeberangan jalan. Aku berlari menghampiri gadis kecil itu. Kupayungi tubuhnya agar tidak semakin basah. Kuberikan plastik hitam berisi pakaian kering yang kubawa dari rumah padanya.
“Ganti bajumu, ya. Bawa payung ini.”
Aku tidak berkata banyak. Payung satu-satunya yang kubawa sudah kuberikan. Kuhentikan taksi yang lewat. Kubuka pintu dan aku masuk cepat-cepat. Kuberitahu arah tujuanku pada supir lalu taksi itu kembali melaju.
Lewat kaca spion, kulihat gadis kecil itu berlari mengejar. Tangannya melambai-lambai memanggilku, tetapi jalanan terlalu padat dan dia berhenti saat taksi semakin menjauh. Aku menengok ke belakang, sempat kulihat dia menghapus tangis di wajahnya sambil menggenggam erat payung di tangan.
Aku ingin memiliki gadis kecil itu. Akan kunamakan dia Putri. Akan kupanjangkan rambutnya agar bisa dikepang. Akan kuberikan kamar penuh warna pastel di sebelah kamarku. Akan kurawat dia baik-baik dan kulimpahkan cinta.
Akan kujadikan dia pengganti gadis kecilku.
Jakarta, 22 Februari 2008
dari musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono dengan judul sama, dinyanyikan oleh Dua Ibu.
Gadis Kecil keren. Ending surprise. Pernah baca cerpen Agus Noor "Mata Mungil yang Menyimpan Dunia"? Temanya sama, anak jalanan.
ReplyDeletehuh ... mantap
ReplyDeletehooo belum, mas. ada di kumcer mana kah? akan kucari nanti
ReplyDeletewindry..
ReplyDeleteakh.. aku akan berguru padamu.