­

.

.

Kucing Hitam, Lelaki Asing dan Hujan Setempat


Hujan tidak berhenti sejak kucing hitam itu datang. Butir-butirnya meninggalkan jejak muram di jendela-jendela toko yang berbingkai putih. Dia berbisik lirih seperti nyanyian patah hati dari sebuah piringan hitam tua, mengalun memenuhi setiap sudut ruangan dan menghapus keceriaan.

Aku duduk melamun di balik meja bar. Kucing hitam itu tidur melingkar di sebelahku. Dengkurannya keras menghangatkan dada. Matanya setengah terbuka melirik keluar jendela. Di luar sana, tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Sudah hampir satu minggu dan toko es krim milik kami bertambah sepi setiap harinya.

”Payah kalau begini terus. Orang-orang tidak makan es krim saat hujan.” Untuk kesekian kalinya, Jo mengeluh. “Kau perhatikan? Ini hujan setempat, An. Cuaca terang benderang selama satu minggu penuh di rumah Walter, dua blok dari sini.”

“Ini fenomena alam, Jo.”

“Ini tidak normal.”

Jo berpendapat bahwa kucing yang tidur di sebelahku inilah yang membawa hujan datang. Beberapa kali dia mengatakan keinginannya untuk mengusir kucing itu tapi kularang. Dia pikir, hujan akan berhenti begitu kucing itu pergi. Aku tidak pernah mempercayai tahayul. Kucing itu memang sudah ditakdirkan datang maka dia datang. Begitu juga dengan hujan, dia tidak akan berhenti turun jika belum waktunya untuk berhenti.

Bel pintu toko bernyanyi riang, mengalihkan perhatianku, mengalihkan perhatian Jo, membangunkan si kucing hitam. Pintu terbuka lalu seorang tamu melangkah memasuki ruangan sambil mengibas-ngibaskan butir hujan di jas dan topinya. Jo menyambut tamu itu, membantunya menyimpan topi dan jas hujan, lalu mengantarkannya duduk di sebuah meja di dekat jendela.

“Seperti biasa, Pak?” tanya Jo.

“Ya. Seperti biasa,” jawab tamu itu.

Tamu itu lelaki asing berwajah sedih yang kesepian. Setiap sore, dia duduk sendiri di meja di dekat jendela, memesan setangkup es krim rasa mint, lalu melamun berjam-jam sambil menatap butir-butir hujan di permukaan jendela.

Setiap kali lelaki asing itu datang, kucing hitam akan beranjak dari sebelahku. Dia berlari kecil menghampiri meja di dekat jendela, melompat lalu duduk mengisi kursi kosong di depan lelaki itu. Lelaki itu akan menepuk kepala kucing hitam dan hujan di luar toko akan bertambah deras nyaris seperti badai selama mereka duduk bersama.

“Ini tidak normal, An!” begitu Jo berbisik padaku, penuh penekanan dalam nada bicaranya.

Aku diam saja tapi fenomena alam ini memang aneh sekali. Aku ingat hari pertama lelaki asing itu mengunjungi toko kami. Dia berkunjung di sore hari seperti hari ini. Kucing hitam datang di pagi harinya. Dan hujan mulai turun saat senja. Jo berkata, itu bukan kebetulan. Ada korelasi aneh di antara lelaki asing itu, kucing hitam dan hujan yang turun tanpa henti.

Seperti yang kukatakan, Jo berpendapat bahwa kucing hitam itu yang membawa hujan datang. Aku sulit mempercayai itu, tetapi jika memang di dunia ini benar-benar ada keanehan-keanehan seperti yang sedang kami saksikan, maka aku mempunyai pemikiran yang sedikit berbeda dengan milik Jo.

Seperti ini yang kupikirkan.

Kucing hitam itu datang membawa hujan. Hujan tidak akan berhenti mengguyur toko kami selama kucing itu tidak pergi. Tapi sesungguhnya, lelaki asing itu yang memanggil kucing hitam datang ke toko kami. Dan kucing hitam tidak akan pergi selama lelaki asing tidak berhenti memanggilnya.

“Kucing kalian lucu sekali,” kata lelaki asing itu.

Aku menjawab, “Dia datang beberapa hari yang lalu, entah dari mana.”

“Oh ya?” Lelaki asing itu kembali menepuk kepala kucing hitam. Dia tersenyum sedih. Tanyanya, “Dari mana kamu datang, Pus?”

Kucing hitam menjawab dengan dengkuran manja. Sepasang mata jingganya menatap lelaki itu.

“Apakah kamu kesepian juga?” lelaki itu bertanya lagi.

Aku memperhatikan mereka yang saling menemani di dekat jendela. Keduanya berbincang dengan caranya masing-masing dan pemandangan itu membuatku tersenyum, antara lucu dan sedih. Apakah lelaki asing itu sadar bahwa dirinya yang memanggil kucing hitam itu?

Dia memanggil dengan rasa sepinya.

“Lelaki tinggi yang tinggal di dekat bukit? Maksudmu Steve?”

Aku bertanya keesokan harinya pada Walter. Dia tahu banyak tentang penduduk di kota kecil kami. “Ya. Entahlah. Dia datang setiap sore ke toko kami, memesan es krim rasa mint dan duduk sendiri di sebelah jendela.”

“Oh, ya. Itu Steve. Sebelum rajin mengunjungi toko kalian, dia selalu minum es krim di toko Ny. Rodd.”

“Kau mengenalnya?”

“Tidak tapi aku juga salah satu pengunjung setia toko Ny. Rodd,” jawab Walter. “Dia mengunjungi toko itu bersama kekasihnya. Gadis cantik dari Eropa.”

“Apa yang terjadi?”

“Entahlah. Gadis itu pergi dan Steve berhenti membeli es krim rainbow. Dia juga berhenti mengunjungi toko milik Ny. Rodd.”

Aku berlari pulang secepatnya ke toko kami. Kukatakan pada Jo untuk membuat menu es krim rasa baru. Jo bertanya, "Untuk apa?" tetapi tidak kujelaskan. Tidak bisa kujelaskan karena aku sendiri bingung dengan jalan pikiranku.

Apa yang sebenarnya ingin kulakukan dengan setangkup es krim rasa baru? Teoriku tentang kucing hitam, lelaki asing dan hujan yang turun tanpa henti adalah hal tergila yang pernah kupikirkan. Aku tidak mempercayai tahayul. Tidak pernah sebelumnya, tetapi kini aku justru berharap bisa membantu seorang lelaki asing melepaskan diri dari rasa sepinya dengan setangkup es krim.

Ini tidak normal.

“Seperti biasa, Pak?” tanya Jo sore itu ketika lelaki asing kembali datang. Hujan masih turun tanpa henti di luar toko.

Lelaki itu menjawab, “Ya. Seperti biasa,” lalu dia mengambil tempat duduk di meja biasa, dekat jendela. Kucing hitam melompat dari meja bar, menghampiri lelaki asing dan duduk di hadapannya. Di luar sana, hujan bertambah deras nyaris seperti badai.

“Apa kabar, Pus? Kamu masih kesepian?”

Aku menyerahkan setangkup es krim rasa baru kepada Jo. Kuminta dia untuk mengantarkan es krim itu pada tamu kami sebagai pengganti es krim mint yang lelaki asing itu pesan. Dengan perasaan berdebar, aku memperhatikan Jo menghampiri meja di dekat jendela. Dia meletakkan es krim itu di hadapan tamu lelaki asing.

“Apa ini?” tanya lelaki itu pada Jo dengan bingung. “Bukankah saya memesan es krim mint?”

“Itu menu spesial kami hari ini.” Aku menjawab menggantikan Jo. Lelaki asing di dekat jendela mengalihkan perhatian padaku. Wajahnya mulai menunjukkan rasa tidak nyaman. Aku berkata lagi dengan sedikit tergagap, “Es krim itu bisa mengobati rasa sepi.

Rainbow.”

Gemuruh hujan di luar toko terdengar begitu jelas untuk beberapa menit berikutnya. Tidak ada yang bicara di antara kami. Tidak aku, Jo, atau lelaki asing itu. Jo menatapku penuh tanda tanya, meminta penjelasan atas apa yang kulakukan. Aku hanya bisa balas menatapnya sambil menaikkan bahu. Aku sendiri mulai merasa telah melakukan kesalahan.

Tapi lalu lelaki asing itu mengambil sendok dan mulai memakan es krim di hadapannya. Dia menghabiskan es krim itu tanpa berkata apa pun, hanya sesekali menangis diam-diam sambil menitikkan air mata dan menatap sedih keluar jendela.

Keesokan paginya, hujan berhenti. Kucing hitam itu tidak kutemukan di mana pun di dalam toko kami. Orang-orang mulai berdatangan kembali untuk membeli es krim dan sore harinya, seperti biasa, lelaki asing datang berkunjung.

“Seperti biasa, Pak?”

“Tidak. Aku ingin memakan es krim Rainbow,” kata lelaki itu.

Aku tersenyum. Jo menatapku sambil tersenyum.

“Silakan duduk di tempat biasa, Pak,” kata Jo pada tamu kami itu.

Lelaki asing itu mengiyakan dan duduk seperti biasa di meja di dekat jendela, tetapi kali ini tidak ada jejak hujan di permukaan jendela itu. Hari ini cuaca terang benderang di luar toko kami. Dan aku bertanya-tanya,

ke arah mana kucing hitam itu pergi dipanggil sepi?

“Hujan?

Bukankah hujan berhenti sejak beberapa hari yang lalu?”

Aku bertanya pada Jo di suatu pagi yang lain, beberapa hari kemudian. Jo tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil memperlihatkan seekor kucing hitam yang dia gendong. Kucing itu tidur melingkar dalam pelukan Jo. Sepasang matanya terbuka setengah, melirik keluar ruangan lewat jendela.

Bel pintu toko bernyanyi riang, mengalihkan perhatianku, mengalihkan perhatian Jo, membangunkan si kucing hitam. Pintu terbuka lalu seorang tamu melangkah memasuki ruangan sambil mengibas-ngibaskan butir hujan di payung merah dan sepatu bootnya.


Jakarta, 19 Februari 2008
untuk Ayu Prameswary

3 comments:

  1. hujan, kucing hitam, payung merah, dan boots. Hyaaa.. terima kasih, Wind :D

    ReplyDelete
  2. sama sama, Yu ^^
    semoga bisa dinikmati

    ReplyDelete
  3. Cerita yang sangat bagus dan menarik.. Lanjutkan karyanya mba.

    ReplyDelete