
KUCING milik An sanggup menelan batu sebesar bola bekel dan tidak mati. Batu itu ditelan bulat-bulat, lalu dimuntahkan kembali beberapa hari kemudian menjadi sebuah intan. An mengira kucing miliknya pasti seekor siluman. An tidak pernah memiliki kucing siluman sebelumnya. Karena itu dia girang sekali dan menceritakan hal ini kepada teman-temannya di sekolah.
“Si Baba pernah menelan bola bekel sungguhan dan besoknya muntah darah.” Seorang temannya menanggapi.
Temannya yang lain berkata, “Cipus tidak mau menelan apa pun selain keripik ikan.”
Lalu, An membalas, “Karena Baba dan Cipus cuma kucing biasa.”
“Baba dan Cipus bukan siluman?”
“Ya, jelas bukan. Baba dan Cipus tidak menelan batu dan muntah intan, kan?” tanya An.
Kedua temannya menggeleng.
“Nah!”
An mengajak kedua temannya bermain ke rumah. Dia ingin menunjukkan kucing miliknya yang sanggup menelan batu sebesar bola bekel dan tidak mati. Kata mamanya, kucing itu mungkin sudah berusia lebih dari empat tahun. Beratnya lima kilo dan rambutnya putih susu. An mendapatkan kucing itu dari sepupunya yang tinggal di luar kota.
“Cipus! Sini, Cipus!”
“Hush! Namanya bukan Cipus. Mikael.”
“Seperti nama malaikat?”
“Seperti nama malaikat.”
Mereka bertiga berkumpul di dalam kamar An, berjongkok di atas lantai parket yang berlapis karpet. Mikael di tengah-tengah mereka.
An mengeluarkan sebuah batu yang dia temukan di taman dekat rumah dari saku kemeja sekolahnya. Batu itu bulat licin dan hampir sebesar bola bekel, disodorkan ke hadapan Mikael. Mikael mengendus-endus batu tersebut. Sementara itu kedua teman An memerhatikan dengan tegang. Saat Mikael membuka mulut, kemudian menelan batu pemberian An bulat-bulat, mereka menahan napas.
Suasana di dalam kamar An berubah sepi, nyaris tanpa suara. Yang tertangkap oleh pendengaran hanyalah dengkuran halus milik Mikael. Kucing itu menjilati taringnya, lalu perlahan-lahan merebahkan badan di atas karpet dan tidur melingkar seperti cangkang siput.
“Mikael makan batu, An!” seru kedua teman An kemudian dengan panik, memecah kebisuan, “Nanti Cipus mati!”
An menjawab dengan tenang, “Mikael tidak akan mati. Dia siluman. Tunggu saja beberapa hari. Nanti dia akan memuntahkan intan.”
Maka, mereka menunggu. Mereka berkumpul lagi di rumah An keesokan harinya, keesokannya lagi, dan keesokannya lagi. Mereka menunggu hampir selama seminggu dan kesabaran mereka pun terbayarkan. Mikael bersendawa di hari keenam dan, seperti yang telah dijanjikan oleh An, kucing itu memuntahkan intan sebesar biji jagung.
“Cipus An muntah intan!”
“Tidak mati!”
“Cipus siluman!”
An semakin girang. Dia berhasil menunjukkan kepada kedua temannya bahwa kucing miliknya adalah seekor siluman. Rahasia ini mereka simpan bertiga. Cukup mereka yang tahu dan anak-anak itu kini memiliki kebiasaan baru: berkumpul di rumah An sepulang sekolah.
“Apakah Mikael pernah menelan karet penghapus, An?” Suatu hari, muncul pertanyaan itu.
“Belum.”
“Kalau Mikael menelan karet penghapus, apa dia juga akan memuntahkan intan?”
Pertanyaan itu terus berputar di dalam kepala An sepanjang malam. An tidak bisa tidur. Dia menjadi penasaran. Apakah kucing miliknya juga sanggup menelan karet penghapus? Maka, keesokan harinya dia membeli karet penghapus. Disodorkannya benda itu kepada Mikael. Mikael mengendus-endus. Kucing itu membuka mulut, kemudian menelan karet penghapus di hadapannya bulat-bulat.
“Mikael menelan karet penghapus semalam,” An melapor kepada kedua temannya, “dan tidak mati.”
“Lalu, Cipus muntah apa?”
“Belum tahu. Dia belum muntah.”
“Kita tunggu saja lagi.”
“Tapi, Mikael jadi aneh.”
“Aneh?”
An mengangguk.
Sejak menelan karet penghapus, mulut Mikael tidak mau mengatup. Mulut kucing itu menganga. Selebar-lebarnya. Perutnya menggembung seperti perut kucing hamil, tetapi Mikael tidak mungkin hamil karena dia adalah kucing jantan.
An mengajak kedua temannya berkumpul lagi di rumahnya sepulang sekolah hari itu. Mereka kembali berjongkok melingkari Mikael, memerhatikan setiap gerak-gerik kucing itu sambil berharap Mikael segera memuntahkan sesuatu. Mereka melihat perut Mikael semakin membesar seiring bertambahnya waktu. Setelah kira-kira perut Mikael mencapai diameter tiga puluh centi, kucing itu mulai terangkat ke udara.
“Oh! Dia terbang!” seru mereka.
Mikael melayang begitu tinggi hingga punggungnya menyentuh langit-langit kamar. Perut kucing itu masih terus membesar dan mulutnya semakin lebar menganga. Saat mulut itu tidak bisa membuka lebih besar lagi, Mikael mulai memuntahkan balon-balon karet berbentuk bulat berwarna dadu muda transparan yang sebesar genggaman tangan orang dewasa.
“Balon! Cipus muntah balon!”
Satu balon. Dua balon. Tiga balon. Empat balon. Begitu banyak balon. Di dalam kamar An seperti terjadi hujan balon.
“Siluman balon!”
An dan kedua temannya berjingkrak-jingkrak kegirangan. Mereka berlarian berputar-putar di dalam kamar sambil tertawa-tawa dan saling melempar balon.
Semakin banyak balon dimuntahkan, semakin mengecil pula perut Mikael. Lalu, perlahan-lahan kucing itu kembali turun ke lantai. Saat perutnya sudah kembali pada ukuran normal dan tidak ada lagi balon yang dimuntahkan, Mikael kembali menginjak lantai.
Kini mereka tahu Mikael juga sanggup menelan karet penghapus dan tidak mati. Alih-alih memuntahkan intan, setelah menelan benda itu Mikael memuntahkan balon.
“An. An. Apakah menurutmu Mikael juga bisa menelan gulungan benang wol?”
“Benang wol?”
“Ayo kita coba, An!”
Diam-diam An mengambil satu gulung benang wol dari laci mesin jahit milik mamanya. Dia meletakkan benang wol itu di hadapan Mikael. Kucingnya itu mengendus-endus, membuka mulut, lalu menelan benang wol yang An berikan bulat-bulat.
“Ha!”
Kucing milik An juga sanggup menelan benang wol dan tidak mati. Beberapa hari kemudian Mikael memuntahkan gumpalan-gumpalan kapas tidak berbentuk. Banyak sekali kapas yang Mikael keluarkan sampai-sampai seluruh permukaan lantai kamar An tidak terlihat karena tertutup oleh serat berbulu yang berwarna-warni pastel dan sangat lembut.
“Seperti di awan. Kamarku seperti surga,” kata An kepada teman-temannya keesokan harinya.
“Hebat! Hebat!”
“Ayo kita coba benda yang lain!”
Mikael menjadi mainan baru yang mengasyikkan bagi An dan kedua temannya. Satu hari mereka memberi kucing itu buku tulis kecil dan Mikael memuntahkan kayu berbentuk dadu. Mereka memberi bongkahan batu es, Mikael memuntahkan salju. Mereka memberi baso kantin sekolah, Mikael memuntahkan seekor tikus hidup.
Pada kali yang terakhir itu ketiga anak tersebut menahan napas.
Mereka memerhatikan tikus yang dimuntahkan Mikael dengan tatapan ngeri. Tikus itu mencicit, mengendus-endus dengan hidungnya yang mancung dan besar, lalu berlari cepat ke sudut kamar An dan bersembunyi di balik lemari baju. An dan kedua temannya saling memandang. Mereka berteriak histeris.
“Siluman!”
***
Catatan:
Cerpen ini ditulis pertama kali di Jakarta pada 16 Maret 2008 untuk melengkapi tugas Bengkel Novel DKJ asuhan Yusi Avianto Pareanom dan AS. Laksana dan telah mengalami beberapa kali penyuntingan.
Windry Ramadhina adalah penulis senior di kemudian.com, aktif di http://miss-worm.blogspot.com/ dan twitter @windryramadhina.
wuiiihh ... keyeen
ReplyDeleteWahh... memang crita yang keren dan imajinatif! Lho, apa itu artinya baso yang dijual di depan sekolah An adalah baso tikus?!
ReplyDelete