.

.

Meet Samuel & Lana: Prolog

Dia menyelinap turun dari tempat tidur.

Perlahan-lahan, ujung salah satu kakinya menyentuh permukaan lantai kayu yang bersalur halus. Lantai kayu itu berderik. Dia pun berhenti, lalu cepat-cepat berpaling kepada lelaki yang berbaring di sebelahnya.

Tidak ada reaksi. Mata lelaki itu masih terpejam. Napasnya tetap teratur, satu irama dengan gerak dadanya yang naik-turun. Wajahnya sangat tenang, sebagian terkena sinar lemah kekuning-kuningan dari lampu baca yang merunduk di atasnya, sebagian tertutup bayang-bayang.

Dan, karena dia sedang menatap wajah tersebut, dia mengambil waktu sejenak untuk memperhatikan setiap detail baik-baik. Perempuan mana yang tidak? Setiap detail itu memikat, menggoda, membuatnya enggan pergi dan malah ingin kembali ke dalam selimut, ke sepasang lengan yang kokoh dan tubuh yang hangat.

Tetapi, dia harus pergi.

Sekarang.

Maka, dia menjejakkan kakinya yang satu lagi ke lantai kayu. Kali ini, derik terlalu samar untuk bisa didengar. Dia merapikan pakaiannya, mengenakan sepatu, dan mengucir rambutnya. Lalu, dia mengumpulkan barang-barang bawaannya: koper kecil dari kulit yang penuh stiker perjalanan, tas kamera tua, jaket, dan ponsel.

Ponsel itu bergetar saat dia sedang sibuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Nama rekan kerjanya di Washington terpampang di layar.

Dia menyapa rekannya dengan suara yang sengaja dipelankan. “Hei, bisa telepon aku lagi nanti?”

Rekannya membalas, dalam bahasa Inggris yang logatnya sedikit aneh, dengan suara bariton yang sengau, “Kenapa aku harus meneleponmu lagi nanti? Di mana kau? Kulihat semua kru–kecuali kau–sudah kembali dari Kyoto.”

“Aku memisahkan diri di Narita.”

“Kenapa kau bicara sambil berbisik begitu?”

“Karena saat ini pukul tiga pagi di Jakarta dan aku tidak ingin membangunkan orang lain.” Dia melirik orang lain itu. Untungnya, lelaki di tempat tidur tidak terusik sama sekali.

“Ah, Jakarta.” Rekannya mendesah, antara jengkel dan malas memberi tanggapan. “Seharusnya aku tahu kau mampir ke sana.”

“Ya. Cuma satu hari. Aku menemui ibuku.”

“Ibumu. Kau berharap aku percaya, Bos?”

“Ibuku. Percaya atau tidak. Dengar, aku harus mengejar penerbangan. Kita bicara lagi besok di kantor, oke?” Tanpa menunggu jawaban, dia mematikan ponselnya. Lalu, dia kembali ke kesibukannya semula.

Sepertinya, tidak ada barang yang tertinggal. Dia memastikan itu. Sambil menulis sesuatu di secarik kertas kecil, dia menghampiri lelaki di tempat tidur. Kertas itu dilekatkannya pada kepala lampu baca yang merunduk.

Dia tidak segera pergi setelah selesai. Sekali lagi, dia memperhatikan wajah yang hingga kini masih membuatnya enggan pergi. Dia tersenyum masam, merendahkan tubuh, lalu mendekatkan diri ke wajah itu untuk memberi ciuman perpisahan.

Ciuman perpisahan yang lembut dan seolah-olah tidak akan terputus.

Ah. Betapa dia membenci perpisahan dengan lelaki yang satu ini. Selalu. Lihat saja, belum apa-apa, dia sudah merasa rindu. Sayang, seperti yang dikatakannya kepada rekannya tadi, dia harus mengejar penerbangan. Dan, dia tidak pernah membatalkan penerbangan demi lelaki.

Jadi, dia terpaksa menyudahi ciuman perpisahan yang lembut dan seolah-olah tidak akan terputus itu.

Dia menggiring kopernya ke arah pintu. Tas kamera tua miliknya tersampir di bahu. Jaketnya didekap di dada. Ponselnya di saku. Sebelum keluar dari ruangan, dia tidak menoleh lagi. Dia menutup pintu dengan berhati-hati sekali dan, sesuai keinginannya, kepergiannya tidak diketahui hingga pagi datang lewat jendela yang tirainya tersingkap.

* * *

5 comments: