oleh Lisa Febriyanti
dari Perkosakata 2009
Saya menyebutnya cerpen satu ketika. Ini karena penulis merangkai kisah yang terjadi pada satu momen yang pendek, bukan rentetan peristiwa panjang dengan awal dan akhir. Cerpen jenis ini kadang tak berawal, kadang membiarkan akhir lewat begitu saja tak terduga. Ia hanya punya momentum yang ingin dibagi kepada pembacanya. Sepanjang pengetahuan saya, Dewi ”Dee” Lestari piawai bermain dengan cerpen jenis ini.
Selain plot yang meliuk namun kokoh, kekuatan cerpen berdurasi pendek ini terletak pada settingnya. Deskripsi yang mengalir tentang kondisi saat itu, kelebatan yang menguar dari kepala si tokoh serta renik-renik lainnya yang melatari momentum, menjadi kekuatan agar pembaca terpaku dan tak cepat berpindah ke karya lainnya. Kekuatan visualisasi lewat kata harus mampu mencengkeram pikiran pembaca. Gaya bercerita monolog memang sangat pas untuk cerpen jenis ini.
Saya mulai melihat kekuatan itu di cerpen berjudul Kurasa, Tidak Ada Cinta yang Lebih Besar dari Milikku. Ide ceritanya sederhana, berlandaskan kekuatan cinta yang sangat posesif. Sang tokoh adalah laki-laki yang dengan cintanya, memberikan kehidupan baru bagi seorang gadis kecil. Di tangannya, gadis itu disulap menjadi perempuan berkilap bintang. Di tangannya, perempuan itu menjadi seorang selebritis (biduanita, demikian penulis menyebutnya). Lelaki itu, dengan rasanya mengantar pembaca pada batas tipis benci dan cinta, hingga terpikir berbagai opsi untuk membunuh sang perempuan. Penulis kelihatannya sengaja membiarkan tokohnya anonim, demi memusatkan perhatian pembaca pada kisah, bukan pada nama.
Sederhana, dan banyak menjadi latar belakang kisah yang lain, namun cara bertutur penulis membuat karya ini menjadi renyah dan memiliki kesan mendalam. Salah satu hal yang membuat narasi menjadi kuat adalah keberanian penulis menggunakan perbandingan-perbandingan peristiwa, seperti di bawah ini:
”Jika kau tidak bunuh diri di kamar mandi hotel murahan, maka akan kusewa pembunuh bayaran untuk menembak mati dirimu. Seperti kematian John Lennon, kematianmu akan kureka sempurna. Akan kusiapkan konser besar untukmu di Sarbini atau Senayan. Disiarkan langsung oleh stasiun-stasiun televisi dan dihadiri ribuan penggemarmu. Di puncak acara, kau akan menyanyikan lagu hit-mu yang terkenal dan saat itu lah penembakan itu terjadi.”
Beberapa kali penulis menggunakan metode perbandingan dalam karya ini. Menurut saya, ini dibutuhkan cukup keberanian dan kejelian, karena harus mencari dan memilih perbandingan yang sejenis untuk menguatkan peristiwa. Perbandingan yang kurang tepat bisa menjerumuskan pembaca pada gambaran yang berbeda.
Di akhir cerita, penulis berhasil menghenyak pembaca dengan penutup yang tak terduga. Dengan deskripsi yang penuh atas keinginan sang tokoh lelaki untuk menghabisi nyawa sang perempuan, namun ternyata dengan senyum dan racunnya, justru sang perempuan yang berhasil membunuh sang tokoh laki-laki. Bum! Begitu saja, tanpa diduga. Manis sekali menggiring pembaca terpusat pada sang lelaki, tetapi lakon utama justru muncul di akhir, sang perempuan.
Menurut saya, karya ini akan makin kental mengeram di benak pembaca apabila setting tempat dan gambaran tokoh digambarkan dengan lebih detail. Demi untuk mengiring pembaca memiliki imaji niat pembunuhan dalam kepala laki-laki. Meski satu ketika, namun pembaca harus tetap didudukkan, seakan ada dan melihat kisah yang dituturkan.
Saya pribadi menyukai cerpen jenis satu ketika ini. Ringan dan tak perlu berpanjang-panjang dalam peristiwa. Kekuatan narasi dan permainan kata-kata menjadi penyedot utama saat menikmati cerpen jenis ini.
=======================================
Lisa Febriyanti, lebih suka disebut road warrior. Mengukir jalanan sebagai penulis independen dan Communication Specialist & Brand Activation di Otak Indonesia, sebuah lembaga yang disemai bersama rekan-rekannya. Kilas katanya bisa dilihat di http://ladangkata.com
Selain plot yang meliuk namun kokoh, kekuatan cerpen berdurasi pendek ini terletak pada settingnya. Deskripsi yang mengalir tentang kondisi saat itu, kelebatan yang menguar dari kepala si tokoh serta renik-renik lainnya yang melatari momentum, menjadi kekuatan agar pembaca terpaku dan tak cepat berpindah ke karya lainnya. Kekuatan visualisasi lewat kata harus mampu mencengkeram pikiran pembaca. Gaya bercerita monolog memang sangat pas untuk cerpen jenis ini.
Saya mulai melihat kekuatan itu di cerpen berjudul Kurasa, Tidak Ada Cinta yang Lebih Besar dari Milikku. Ide ceritanya sederhana, berlandaskan kekuatan cinta yang sangat posesif. Sang tokoh adalah laki-laki yang dengan cintanya, memberikan kehidupan baru bagi seorang gadis kecil. Di tangannya, gadis itu disulap menjadi perempuan berkilap bintang. Di tangannya, perempuan itu menjadi seorang selebritis (biduanita, demikian penulis menyebutnya). Lelaki itu, dengan rasanya mengantar pembaca pada batas tipis benci dan cinta, hingga terpikir berbagai opsi untuk membunuh sang perempuan. Penulis kelihatannya sengaja membiarkan tokohnya anonim, demi memusatkan perhatian pembaca pada kisah, bukan pada nama.
Sederhana, dan banyak menjadi latar belakang kisah yang lain, namun cara bertutur penulis membuat karya ini menjadi renyah dan memiliki kesan mendalam. Salah satu hal yang membuat narasi menjadi kuat adalah keberanian penulis menggunakan perbandingan-perbandingan peristiwa, seperti di bawah ini:
”Jika kau tidak bunuh diri di kamar mandi hotel murahan, maka akan kusewa pembunuh bayaran untuk menembak mati dirimu. Seperti kematian John Lennon, kematianmu akan kureka sempurna. Akan kusiapkan konser besar untukmu di Sarbini atau Senayan. Disiarkan langsung oleh stasiun-stasiun televisi dan dihadiri ribuan penggemarmu. Di puncak acara, kau akan menyanyikan lagu hit-mu yang terkenal dan saat itu lah penembakan itu terjadi.”
Beberapa kali penulis menggunakan metode perbandingan dalam karya ini. Menurut saya, ini dibutuhkan cukup keberanian dan kejelian, karena harus mencari dan memilih perbandingan yang sejenis untuk menguatkan peristiwa. Perbandingan yang kurang tepat bisa menjerumuskan pembaca pada gambaran yang berbeda.
Di akhir cerita, penulis berhasil menghenyak pembaca dengan penutup yang tak terduga. Dengan deskripsi yang penuh atas keinginan sang tokoh lelaki untuk menghabisi nyawa sang perempuan, namun ternyata dengan senyum dan racunnya, justru sang perempuan yang berhasil membunuh sang tokoh laki-laki. Bum! Begitu saja, tanpa diduga. Manis sekali menggiring pembaca terpusat pada sang lelaki, tetapi lakon utama justru muncul di akhir, sang perempuan.
Menurut saya, karya ini akan makin kental mengeram di benak pembaca apabila setting tempat dan gambaran tokoh digambarkan dengan lebih detail. Demi untuk mengiring pembaca memiliki imaji niat pembunuhan dalam kepala laki-laki. Meski satu ketika, namun pembaca harus tetap didudukkan, seakan ada dan melihat kisah yang dituturkan.
Saya pribadi menyukai cerpen jenis satu ketika ini. Ringan dan tak perlu berpanjang-panjang dalam peristiwa. Kekuatan narasi dan permainan kata-kata menjadi penyedot utama saat menikmati cerpen jenis ini.
=======================================
Lisa Febriyanti, lebih suka disebut road warrior. Mengukir jalanan sebagai penulis independen dan Communication Specialist & Brand Activation di Otak Indonesia, sebuah lembaga yang disemai bersama rekan-rekannya. Kilas katanya bisa dilihat di http://ladangkata.com
No comments:
Post a Comment