"The season told me calmly about the end.
I gather colorful memories and I say goodbye to them.
That person who gave me love, was shaking in these eyes."
(Hyde)
I gather colorful memories and I say goodbye to them.
That person who gave me love, was shaking in these eyes."
(Hyde)
Saya selalu senang ketika diberi kesempatan melantur tentang lagu kesukaan saya. Seorang Cieler tidak selalu bisa melakukan itu. Jumlah kami sedikit -kecuali di Jepang- dan kami terbiasa menikmati lagu-lagu L'Arc-en-Ciel (baca: Laruku) seorang diri menggunakan earphone atau dalam kamar tertutup karena tidak banyak orang yang mengerti jika kami bicara.
Ada ratusan lagu Laruku dalam i-Tunes saya. Yang menjadi kesukaan saya sering silih berganti tapi biasanya selalu kembali kepada The Fourth Avenue Cafe. Saya tidak punya alasan khusus mengapa begitu menyukai lagu ini, dan tidak ingin bersusah payah mencari-cari alasan, tapi pasti bukan karena liriknya karena saya sama sekali buta bahasa Jepang.
Ini lagu lama keluaran tahun 1996 yang hanya beredar sebentar di toko musik sebelum kemudian diboikot karena drummer Laruku ketahuan memakai obat terlarang. Single ini lantas menjadi salah satu CD Laruku yang langka. Saya memiliki satu kopi, tapi bukan edisi asli, melainkan reissue buatan 2006.
Dalam The Fourth Avenue Cafe muncul instrumen-instrumen asing yang jarang ada dalam musik rock, seperti piano dan terompet, yang -herannya- dimainkan secara riang meskipun sebenarnya lagu ini bercerita tentang akhir hidup. Tapi, piano dan terompet tidak seberapa aneh jika dibandingkan dengan tamborin dan harpa dalam What is Love. Lagi pula, para Cieler menyukai apa pun yang Laruku lakukan terhadap musik mereka karena kami cinta buta.
Saya ingat dulu kerap menyanyikan lagu ini (baca: berkaraoke) bersama kakak saya. Kami duduk bersebelahan di depan komputer, menyalakan i-Tunes, dan mengiringi Hyde dengan suara pas-pasan yang sering gagal mencapai nada tinggi pun rendah. Itu lebih dari lima tahun yang lalu. Ketika kemarin MEME menanyakan lagu kesukaan saya, ternyata lirik The Fourth Avenue Cafe belum lepas dari ingatan.
*note: this post is part of 30 Days of MEME.
Ada ratusan lagu Laruku dalam i-Tunes saya. Yang menjadi kesukaan saya sering silih berganti tapi biasanya selalu kembali kepada The Fourth Avenue Cafe. Saya tidak punya alasan khusus mengapa begitu menyukai lagu ini, dan tidak ingin bersusah payah mencari-cari alasan, tapi pasti bukan karena liriknya karena saya sama sekali buta bahasa Jepang.
Ini lagu lama keluaran tahun 1996 yang hanya beredar sebentar di toko musik sebelum kemudian diboikot karena drummer Laruku ketahuan memakai obat terlarang. Single ini lantas menjadi salah satu CD Laruku yang langka. Saya memiliki satu kopi, tapi bukan edisi asli, melainkan reissue buatan 2006.
Dalam The Fourth Avenue Cafe muncul instrumen-instrumen asing yang jarang ada dalam musik rock, seperti piano dan terompet, yang -herannya- dimainkan secara riang meskipun sebenarnya lagu ini bercerita tentang akhir hidup. Tapi, piano dan terompet tidak seberapa aneh jika dibandingkan dengan tamborin dan harpa dalam What is Love. Lagi pula, para Cieler menyukai apa pun yang Laruku lakukan terhadap musik mereka karena kami cinta buta.
Saya ingat dulu kerap menyanyikan lagu ini (baca: berkaraoke) bersama kakak saya. Kami duduk bersebelahan di depan komputer, menyalakan i-Tunes, dan mengiringi Hyde dengan suara pas-pasan yang sering gagal mencapai nada tinggi pun rendah. Itu lebih dari lima tahun yang lalu. Ketika kemarin MEME menanyakan lagu kesukaan saya, ternyata lirik The Fourth Avenue Cafe belum lepas dari ingatan.
*note: this post is part of 30 Days of MEME.
oh itu dibacanya laruku ya?
ReplyDeletekalo 'cieler' jadinya dibacanya apa dong?