Sampai saat ini saya belum bisa memutuskan mana yang lebih saya sukai: Depp muda yang terampil memangkas tanaman dengan tangan guntingnya atau teru bozu yang digantung secara terbalik pada musim hujan, maka biarlah saya bahas keduanya.
Pertama, Edward Scissorhands.
Saya menjadi pecandu Tim Burton berkat menyaksikan film ini. Cara Burton menggambarkan Florida, masyarakat di dalamnya, kehidupan mereka, serta karakter yang ada –bagi saya– sangat menarik, unik. Idenya sendiri orisinal, aneh, sekaligus lucu, seperti ironi yang sengaja ditertawakan (atau sesekali ditangisi). Dan, saya begitu terkesan dengan setiap detil yang dihadirkan, seperti aneka rupa tanaman dan rambut hasil pangkasan Edward.
Faktor lain yang membuat film ini berkesan, tentu saja, adalah Depp. Selain Depp adalah aktor kesukaan saya, Edward yang dia mainkan tampil simpatik dan saya memang selalu jatuh cinta dengan karakter utama yang tidak sempurna serta jauh dari ideal.
Burton sendiri agak-agaknya juga menggemari Depp –dan barangkali begitu pula sebaliknya. Mereka berulang kali bekerja sama dalam satu film seolah itu menjadi kebiasaan. Sebut saja Sleepy Hollow, Charlie and The Chocolate Factory, Sweeny Todd, dan yang terakhir Alice in The Wonderland; daftar film yang mau tidak mau menjadi tontonan wajib karena saya selalu menyukai karya-karya mereka.
Tapi, di antara semua karya bersama Burton dan Depp, saya tetap paling suka dengan Edward Scissorhands. Rasanya tidak ada yang bisa mengalahkan ide manusia buatan setengah jadi ditinggal mati penemunya, ditemukan dan dibawa pulang oleh agen Avon yang tidak punya pelanggan, menjadi terkenal karena tangan guntingnya, masuk TV, lalu tersengat listrik karena tidak sengaja menyentuh kabel microphone ketika siaran.
Kedua, Ima Ai Ni Yukimasu (Now I Will Come to Your Place) atau dikenal dengan titel Inggris Be With You.
Film ini diangkat dari novel Ichikawa Takuji (yang kemudian juga menjadi kesukaan saya). Saya menemukannya tanpa sengaja dari sebuah CD data pemberian salah satu sahabat bernama Anjar.
Kisah yang diangkat sebenarnya sederhana, meski diperciki fantasi –satu hal yang sulit lepas dari fiksi Jepang: tentang pengalaman cinta pertama yang terjadi dua kali terhadap orang yang sama. Begitu pula dengan tokoh-tokoh yang diceritakan, mereka tidak ekstravaganza: keluarga kecil di suburban yang sepi. Lalu, apa yang membuatnya istimewa? Sama seperti Edward Scissorhands, film ini memiliki banyak detil unik yang orisinal.
Sebagai film Jepang, Be With You dikemas secara sunyi, lembut dan cantik, tanpa melodrama berlebihan tapi tetap mampu membombardir perasaan. Saya selalu hanyut ketika menyaksikan film ini. Saya tersenyum pada setiap adegan, lalu menangis pada akhirnya. Jika ada film yang memengaruhi tulisan-tulisan saya, maka itu Be With You. Sampai saat ini saya masih ingin (dan memang belum berhasil) membuat karya selembut milik Takuji dan, ya, itu telah menjadi semacam obsesi.
*note: this post is part of 30 Days of MEME.
Pertama, Edward Scissorhands.
Saya menjadi pecandu Tim Burton berkat menyaksikan film ini. Cara Burton menggambarkan Florida, masyarakat di dalamnya, kehidupan mereka, serta karakter yang ada –bagi saya– sangat menarik, unik. Idenya sendiri orisinal, aneh, sekaligus lucu, seperti ironi yang sengaja ditertawakan (atau sesekali ditangisi). Dan, saya begitu terkesan dengan setiap detil yang dihadirkan, seperti aneka rupa tanaman dan rambut hasil pangkasan Edward.
Faktor lain yang membuat film ini berkesan, tentu saja, adalah Depp. Selain Depp adalah aktor kesukaan saya, Edward yang dia mainkan tampil simpatik dan saya memang selalu jatuh cinta dengan karakter utama yang tidak sempurna serta jauh dari ideal.
Burton sendiri agak-agaknya juga menggemari Depp –dan barangkali begitu pula sebaliknya. Mereka berulang kali bekerja sama dalam satu film seolah itu menjadi kebiasaan. Sebut saja Sleepy Hollow, Charlie and The Chocolate Factory, Sweeny Todd, dan yang terakhir Alice in The Wonderland; daftar film yang mau tidak mau menjadi tontonan wajib karena saya selalu menyukai karya-karya mereka.
Tapi, di antara semua karya bersama Burton dan Depp, saya tetap paling suka dengan Edward Scissorhands. Rasanya tidak ada yang bisa mengalahkan ide manusia buatan setengah jadi ditinggal mati penemunya, ditemukan dan dibawa pulang oleh agen Avon yang tidak punya pelanggan, menjadi terkenal karena tangan guntingnya, masuk TV, lalu tersengat listrik karena tidak sengaja menyentuh kabel microphone ketika siaran.
Kedua, Ima Ai Ni Yukimasu (Now I Will Come to Your Place) atau dikenal dengan titel Inggris Be With You.
Film ini diangkat dari novel Ichikawa Takuji (yang kemudian juga menjadi kesukaan saya). Saya menemukannya tanpa sengaja dari sebuah CD data pemberian salah satu sahabat bernama Anjar.
Kisah yang diangkat sebenarnya sederhana, meski diperciki fantasi –satu hal yang sulit lepas dari fiksi Jepang: tentang pengalaman cinta pertama yang terjadi dua kali terhadap orang yang sama. Begitu pula dengan tokoh-tokoh yang diceritakan, mereka tidak ekstravaganza: keluarga kecil di suburban yang sepi. Lalu, apa yang membuatnya istimewa? Sama seperti Edward Scissorhands, film ini memiliki banyak detil unik yang orisinal.
Sebagai film Jepang, Be With You dikemas secara sunyi, lembut dan cantik, tanpa melodrama berlebihan tapi tetap mampu membombardir perasaan. Saya selalu hanyut ketika menyaksikan film ini. Saya tersenyum pada setiap adegan, lalu menangis pada akhirnya. Jika ada film yang memengaruhi tulisan-tulisan saya, maka itu Be With You. Sampai saat ini saya masih ingin (dan memang belum berhasil) membuat karya selembut milik Takuji dan, ya, itu telah menjadi semacam obsesi.
*note: this post is part of 30 Days of MEME.
No comments:
Post a Comment