.

.

(Tips) A Conversation with Miaa

Hari ini saya iseng membuka folder lama dalam komputer dan melihat-lihat sejumlah file. Saya menemukan catatan menarik tentang obrolan singkat yang terjadi antara saya dan Miaa--salah satu tokoh 'Metropolis'. Obrolan itu imajiner, saya ciptakan ketika pada satu titik penulisan saya merasa tidak mengenal Miaa dengan baik--apa motivasinya dan di mana posisinya dalam konflik.

Saya rasa teknik ini berkaitan dengan pengembangan karakter yang diposting sebelum ini, jadi saya ingin membagikannya kepada teman-teman. Oh, omong-omong, ini mengandung spoiler. Bagi yang belum membaca 'Metropolis', kalian sudah diperingatkan.



2008-10-20

Bukan hanya satu-dua hari saya menunggu kemunculan Miaa di depan sebuah rumah kos yang berada di daerah Rawamangun. Dia baru terlihat menjelang hari kesepuluh. Waktu itu malam hampir berakhir, orang-orang yang tinggal di sekitar rumah itu masih dihantui mimpi buruk. Dalam keadaan mengantuk saya mendapati Miaa melangkah menghampiri rumah kosnya dengan berhati-hati sekali seolah-olah dia tidak ingin kehadirannya disadari–dan memang dia tidak ingin.

Bayangan mimpi hilang seketika. “Mi-miaa! Miaa Saada!” Saya buru-buru memanggilnya sambil melompat keluar dari tempat persembunyian. Suara saya cukup lantang untuk terdengar oleh mereka yang tinggal dalam dua-tiga rumah di sekitar kami.

Miaa menoleh ke arah saya. Dia tampak tidak suka dengan kehadiran saya, kedua alisnya berkerut, lalu dia mempercepat gerakannya membuka kunci pintu.

“Tunggu!” Saya mencegah pintu tertutup memisahkan kami. Tangan saya hampir terjepit. “Saya ingin menanyakan beberapa hal.”

Miaa menatap saya dengan penuh selidik. “Siapa kau?” tanyanya.

“Nama saya Windry. Saya penulis yang–”

“Windry?” tukas Miaa, “Kau penulis amatir yang mencoba menulis tentang aku?”

“Ya. Ya.” saya membenarkan dengan antusias walaupun, menurut saya, amatir adalah hal yang relatif. “Saya mengalami kesulitan untuk mengembangkan karaktermu. Jadi, saya memutuskan untuk menemuimu dan mungkin kita bisa mengobrol sebentar.”

Miaa tidak menjawab. Dia menatap saya dengan malas, lalu menutup pintu di antara kami.

Sudah saya duga perempuan itu tidak akan menanggapi permintaan saya dengan positif. Dia salah satu tokoh yang paling misterius dalam cerita saya dan tentu saja dia tidak akan dengan senang hati membiarkan orang mewawancarainya. Akan tetapi, saya sudah menunggu lama dan saya tidak akan menyerah dengan mudah.

Saya gedor pintu rumah kos Miaa, sekeras mungkin supaya menimbulkan kegaduhan. Miaa tidak akan suka jika keributan itu membangunkan orang-orang. Dia tidak boleh membiarkan dirinya menjadi pusat perhatian karena itu terlalu berbahaya baginya, maka dia pasti akan keluar untuk menghentikan saya. Benar saja.

Tidak lama kemudian, sebelum mimpi orang-orang buyar, pintu rumah kos Miaa kembali terbuka. Dari baliknya, tatapan Miaa sanggup menebas kepala saya kalau saja itu berwujud benda keras.

“Aku lelah dan tidak punya banyak waktu. Lakukan dengan cepat!” katanya.

“Oke. Oke. Saya tidak akan lama. Hem. Pertama, saya perlu tahu detil hubunganmu dengan Burhan D. Saputra.”

“Dia bekas atasanku di Tipiter.”

“Ya. Ya.” Saya membuka catatan saya. Saya sempat lihat Miaa mendelik ke arah saya. Saya tahu tidak seharusnya mewawancarai orang sambil melihat catatan, itu bertentangan dengan metode interogasi kepolisian, tapi Metropolis adalah novel yang rumit dan saya kerap lupa dengan setiap detailnya. “Burhan D. Saputra mengeluarkanmu dari kepolisian karena kau seorang Saada. Saya tahu itu. Yang ingin saya ketahui sebenarnya, bagaimana kau bisa berhubungan lagi dengannya setelah itu? Maksud saya, dia adalah tantowi_yahya13, kan? Orang yang kau kontak lewat internet.”

“Dia yang menghubungiku. Tidak lama setelah aku dikeluarkan.”

“Dia menghubungimu, lalu?” Saya bersiap mencatat.

Miaa mendesah kesal. “Burhan menunjukkan beberapa berkas kasus pembunuhan. Dia ingin aku menyelidiki kasus itu.”

“Apakah yang kau maksud adalah kasus Sindikat 12?”

“Ya, kasus itu. Waktu Burhan menemuiku, Leo Saada dan Gilli masih hidup.”

“Hem.” Saya menggaruk-garuk kepala saya. “Saya tidak mengerti. Mengapa Burhan memintamu ikut dalam penyelidikan? Apakah Polda kekurangan orang?”

“Bukan. Kadang Polda butuh orang luar yang bisa bergerak lebih bebas dalam penyelidikan mereka.”

“Dan kau mau melakukan itu karena...?”

“Aku bukan pekerja sosial. Tentu saja ada yang akan kudapatkan.”

“Uang?”

Pertanyaan saya tersebut tampaknya menyinggung Miaa. Ekspresinya berubah dan nada bicaranya jadi sengit. “Kuharap kau tidak menciptakanku serendah itu, Windry. Aku mungkin tidak idealis tapi aku tidak mudah tergiur uang.”

Saya buru-buru menundukkan kepala saya berulang-ulang, seperti orang-orang jepang di televisi yang sedang meminta maaf. “Tidak. Tentu saja tidak. Saya tidak mungkin menjadikanmu karakter semacam itu. Maaf, saya tidak bermaksud menyinggung.”

Saya berdeham, lalu mengulangi pertanyaan saya, “Jadi, apa alasanmu terlibat dalam kasus ini?”

Ekspresi Miaa melunak setelah saya meminta maaf. Dia menarik nafas pendek sebelum menjawab. Katanya, “Burhan berjanji mengembalikan lencanaku.”


Oke. Dalam catatan saya, obrolan kami berhenti di situ. Saya lupa kenapa, tetapi sepertinya pada waktu Miaa menyebutkan alasannya terlibat dalam kasus sindikat 12, sosoknya dalam benak saya telah utuh--mari kita anggap saja begitu.

Meski tidak lazim, teknik ini sangat bermanfaat untuk mendalami karakter. Saat teman-teman sedang mengembangkan tokoh atau menulis novel dan merasa tokoh kalian sulit dipahami, coba lakukan obrolan semacam ini. Wawancarai dia, anggap dia nyata. Lagi pula, ini asyik. Seperti punya teman khayalan :D.

3 comments:

  1. Ka windry.. Mau tanya.. Kalo novel yang Orange.. Yg novel pertama kaka masih ada ga dijual? Hehehe... Bales ya kak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi, aku punya stok Orange. Kalau mau pesan bisa via e-mail windry.ramadhina@yahoo.com

      Delete
  2. wow... seru ya kalo dicoba mbak :) thanks udah sharing ^^

    ReplyDelete