­

.

.

Walking After You: Excerpt

Aku masih ingat kala Arlet memberi tahu aku rahasia kecil miliknya.

Hari itu Kamis. La Spezia libur. Aku sedang asyik menonton The Naked Chef sementara Arlet tadinya sedang membaca sebuah novel cengeng. Tepat ketika Jamie Oliver akan mengiris steiknya yang setengah matang, Arlet lompat menubruk tubuhku, lalu merangkul lenganku erat-erat. Kepalanya dia lesakkan ke pinggangku.

‘Apa-apaan, sih, Arlet?’

Arlet tidak langsung menjawab. Cengkeraman jemarinya menyakiti permukaan kulitku. Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, lalu berkata lirih, ‘Aku menyukainya, An.’

‘Siapa?’ Aku menoleh kepadanya.

Dia menengadah sehingga pandangan kami bertemu. Kedua pipinya luar biasa merah. Matanya berkaca-kaca. ‘Jinendra,’ bisiknya. Lalu, dia kembali menunduk, bersembunyi dari tatapanku. Kini, tangannya gemetar.

Aku tertegun.

Kala itu, aku dan Arlet telah beberapa bulan bekerja di restoran kepunyaan Jinendra dan hampir dua tahun kami mengenal koki peranakan Eropa itu. Jinendra lelaki yang menarik, segala hal tentang dirinya memikat, jadi aku tidak heran jika Arlet menyukainya.

Namun, aneh, pengakuan Arlet itu menyisipkan sejumput kegelisahan ke dadaku. Cukup lama aku bergeming, berusaha memahami alasan di balik perasaanku tersebut, hingga pada akhirnya Arlet mengakhiri kebisuan kami.

‘An, aku harus bagaimana?’

‘Ha?’

Arlet menegakkan tubuhnya. Dia menggigit bibir dan mengerutkan alis. Tangannya belum melepaskan lenganku. Wajahnya masih semerah apel Swiss yang namanya dia pinjam. ‘Sekarang, aku tidak berani bertemu dengan Jinendra,’ katanya.

Aku tertawa geli. Arlet tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya. Dia seperti buku yang terbuka. Apa yang ada dalam hati dan pikiran Arlet selalu tersirat jelas lewat ekspresi dan gerak-geriknya. ‘Memang sebaiknya kau tidak menemui Jinendra dengan tampang begitu,’ balasku. ‘Sudah mengaca?’

Dia memberengut. ‘An! Kok, malah meledek, sih?’

Tawaku bertambah keras. Lekas kupeluk Arlet dan kuusap-usap kepalanya. Suaraku berubah lembut sekaligus gemas. ‘Arlet sayang, wajar kan kalau kau tersipu-sipu di depan dia.’

‘Tapi, nanti dia tahu aku menyukainya, An.’

‘Kalau dia tidak tahu, bagaimana dia akan membalas perasaanmu?’

Arlet menatapku. Matanya terbuka lebar, memperlihatkan binar terang. Bibirnya kini membentuk senyuman. Dia seperti baru mendapatkan pencerahan. ‘Menurutmu, ada peluang dia akan membalas perasaanku?’

‘Tergantung.’

‘Tergantung apa?’

Aku mendesah, semakin gemas menghadapi sikap Arlet yang kelewat naif. Berbeda dengan aku yang beberapa kali berpacaran sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, dia sama sekali awam mengenai hubungan lelaki dan perempuan. Dia tidak cukup berani, tidak seperti aku yang bahkan pernah mendekati lawan jenis terlebih dahulu.

‘Tergantung kau sendiri, tentu saja. Kalau kau terus malu-malu kucing begini, Arlet, perempuan lain akan merebutnya. Kau mau itu terjadi?’

Dia menggeleng keras-keras.

‘Sekarang dengar baik-baik. Jinendra paling senang kalau diajak bicara tentang kota kelahiran neneknya, Bologna. Tanyakan kepadanya, makanan apa saja yang bisa ditemukan di sana, maka dia tidak bisa disetop, dia akan mengoceh sampai kau bosan.’

‘Aku tidak akan bosan.’ Arlet menimpali.

‘Ya, ya, kita lihat saja nanti.’ Aku mencibir. ‘Lalu, ingat ini. Dia tidak suka makanan manis. Kalau kau ingin memberi dia kue, pilih soufflé keju atau pai apel yang agak asam. Dia juga tidak suka film. Jangan ajak dia menonton. Dia lebih suka jalan-jalan, cari tempat makan yang asyik.’

‘An, kau tahu banyak hal mengenai dia.’

Pembicaraan kami terputus sejenak. Aku mengerutkan dahi, mencerna pertanyaan Arlet, dan memikirkan jawaban untuk itu. ‘Ya. Setiap hari aku bekerja dengannya di dapur yang sama, ingat?’ kataku. Lawan bicaraku mengangguk-angguk.

Namun, aku tidak sepenuhnya jujur. Aku mengetahui banyak hal mengenai Jinendra karena kami kerap mengobrol di luar waktu kerja. Dan, aku punya perhatian terhadap lelaki itu. Perempuan mana yang tidak? Jadi, banyak hal mengenai lelaki itu terekam baik dalam pikiranku.

Atau, barangkali juga dalam hatiku.

Karena, di akhir pembicaraanku dengan Arlet, seperti sebelumnya, aku merasa gelisah untuk alasan yang tidak kupahami.

Begitulah.

Sejak itu, aku sering melihat mereka berdua. Pada pagi hari sebelum La Spezia dibuka, atau pada jam istirahat siang yang singkat, atau pada malamnya setelah servis restoran berakhir, Arlet akan menemui Jinendra. Dia tidak menyembunyikan perasaannya dan lawannya adalah lelaki yang tahu benar gerak-gerik perempuan.

Lagi-lagi, setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama, kegelisahan di dadaku kembali hadir, membuatku sesak. Setelah beberapa lama, aku menginsafi bahwa sesungguhnya kegelisahan itu adalah kecemburuan. Kepada siapa perasaan itu diperuntukkan, apakah Arlet ataukah Jinendra, awalnya aku tidak tahu.

Hingga suatu ketika aku memperhatikan Arlet dan Jinendra yang sedang membahas entah apa di teras belakang La Spezia. Arlet duduk memunggungiku di sebuah kursi bundar yang terbuat dari besi. Jinendra berdiri di hadapannya. Sementara itu, aku sedang memeriksa satu peti sayuran yang baru diturunkan dari truk.

Di antara kesibukanku, aku mengerling ke arah mereka. Pada saat yang bersamaan, Jinendra melayangkan pandangannya kepadaku.  Lelaki itu tersenyum untukku. Lembut. Sangat lembut. Dan, sepasang matanya sarat emosi.

Aku ingat benar kalau saat itu jantungku berdebar kencang.

Seketika, aku sadar. Sama seperti Arlet, aku pun menyukai Jinendra.

Dan, itu kali pertama kami tertarik kepada lelaki yang sama.

*

15 comments:

  1. Suka! Gaya bahasa mbak Windry bikin orang'' macam aku lumer.. kayak coklat batang yang digenggam selama beberapa menit.

    ReplyDelete
  2. Aduh kayak didongengiiin. Jadi bacanya sambil melongo kayak anak kecil. Sukaaaak <3

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe terima kasih. aku memang senang mendongeng :p

      Delete
  3. ahhh egk sabar baca bukunya, semoga cepat sampai dirumah :)
    oiya mb, novel memori bisa dipesan dimana? sudah ga ad stocknya ya :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. bisa pesan di aku. e-mail ke windry.ramadhina@yahoo.com saja :)

      Delete
  4. Replies
    1. mba lapor, saya udah baca danbikin saya mewek sekaligus jatuh cinta dengan Julian :)

      Delete
    2. waaah terima kasih sudah baca. iya, aku pun mewek saat menulis hihihi. Julian memang cute :p

      Delete
  5. kak, saya jatuh cinta dengan Julian :') dia mengingatkan saya akan Mamura Daiki--tokoh manga Hirunaka no Ryuusei. Mirip sekali kak, dari deskripsi kakak mengenai wajahnya (setidaknya begitu menurut saya) sampai sikapnya :') apa mungkin tokoh kakak yang amat-terlalu-kelewat-serius memang terinspirasi dari Mamura Daiki? xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih sudah membaca Walking After You. Julian memang adorable :). kurasa, kebetulan saja mereka mirip. aku belum pernah membaca manga tersebut ^^'. Terima kasih sudah mampir ^^.

      Delete
  6. Congrats Windry buat buku baru nya.. aku udah baca n suka banget seperti biasanya dengan semua buku2 windry...Tetapi aku masih lebih suka Simon sih dibanding Julian hehehehe....

    ReplyDelete
  7. terima kasih sudah membaca Walking After You. Simon dan Julian memang beda jauh :)

    ReplyDelete
  8. sama sama kak
    aku tunggu novel kakak yang selanjutnya

    ReplyDelete