Aku tidak ingin membangunkanmu.
Terima kasih untuk malam yang luar biasa.
Untuk kesekian kalinya, Samuel membaca pesan singkat itu. Dia tidak tahu persis perasaan apa yang sedang menyesaki dadanya. Terkejut, kecewa, atau marah? Yang jelas, bukan senang karena dia tidak senang sama sekali.
Saat ini, dia duduk di tepi tempat tidur, dalam kamarnya yang terang dan hangat, hanya mengenakan celana piama sementara tubuh bagian atasnya terekspos. Dia diam lama. Punggungnya melengkung ke depan. Kedua sikunya bertumpu di lutut. Satu tangannya menjulur lemas ke lantai, satu yang lain menggenggam secarik kertas kecil yang ditemukannya pada kepala lampu bacanya beberapa menit yang lalu.
Beberapa menit yang lalu, dia terbangun oleh serbuan sinar matahari pagi yang menerobos masuk lewat jendela. Dia mengerang pelan dan menutupi matanya dengan tangan. Setelah dia tidak lagi tersilau, tangannya turun perlahan-lahan. Pandangannya yang semula buram berubah jelas. Dan, dia melihat sisi kanan tempat tidurnya kosong.
Lana.
Dia bergumam memanggil perempuan itu.
Semalam, perempuan itu meringkuk di sisi kanan tempat tidurnya, memeluk lengannya dan merebahkan kepala ke dadanya dengan manja. Dia sempat mengira perempuan itu sedang berada di dapur untuk membuatkannya secangkir latte panas. Tetapi, lalu dia menyadari barang-barang perempuan itu sudah tidak ada. Pada kepala lampu bacanya, ada secarik kertas.
Lagi, Samuel membaca pesan singkat yang ditinggalkan oleh Lana untuknya. “Luar biasa,” kata perempuan itu. Samuel tersenyum sinis. Dia mengangkat kepala, lalu memutar pandangan.
Kamarnya berantakan. Botol-botol minuman dan gelas-gelas kristal terguling di atas kabinet hitam di salah satu sisi ruangan. Ada yang terjatuh ke lantai kayu dan membentuk genangan wiski. Kemejanya tergeletak tidak jauh dari genangan itu, bersama ikat pinggang dan sepasang pantofel. Di dinding, pigura-pigura miring ke berbagai arah. Sementara itu, di sisi ruangan yang lain, selembar tirai tercerabut dari langit-langit dan karpet kasmir kusut kehilangan bentuk.
Hem, ya. “Luar biasa” adalah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dia alami bersama Lana semalam.
Hampir satu tahun mereka tidak bertemu. Sepuluh bulan, barangkali. Atau, sebelas. Bayangkan, sebesar apa kerinduan dan hasrat yang terpendam selama itu. Kecupan dan ciuman, seintim apa pun, tidak terasa cukup. Begitu pula dengan sentuhan dan pelukan. Ada semacam dahaga yang baru bisa hilang setelah mereka melalui percintaan yang hebat, yang menyebabkan botol-botol minuman terguling, wiski tumpah, pigura-pigura miring, tirai tercerabut, dan karpet kusut.
Begitulah. Dia memberikan Lana malam yang luar biasa dan perempuan itu pergi secara diam-diam. Bagus benar.
Samuel meremas kertas di tangannya, lalu membuang sampah itu. Sambil memberengut, dia meninggalkan kamar. Langkahnya memburu. Dia menyusuri lorong serbaputih yang di ujungnya terdapat pintu. Ruangan di balik pintu tersebut adalah perpustakaan, tempat dia berkutat dengan film dan pekerjaan. Jendela tinggi-besar membentang di kanan. Di depan dan di kiri, dinding dipenuhi rak, lemari, dan televisi berlayar lebar. Ada sofa panjang di tengah-tengah juga meja kerja di sudut.
Dia menghampiri laptop yang hampir selalu menyala di atas meja kerja. Jari-jarinya bergerak cepat menekan huruf-huruf. Untuk Lana, dia menulis sebuah pesan balasan. Surel. Dan, tentu saja, isi surel itu mewakili suasana hatinya saat ini secara terang-terangan.
Surel itu terkirim tanpa banyak pertimbangan. Samuel pun tersenyum puas, sedikit culas. Tidak ada perempuan yang boleh pergi secara diam-diam dari sisinya dan merasa hal tersebut sah-sah saja dilakukan.
Hampir seketika, laptopnya berbunyi. Ada pesan baru yang masuk ke kotak suratnya. Bukan dari Lana, melainkan dari asistennya di studio.
Maaf. Aku tidak bermaksud mengganggu kalian. Cuma mau mengingatkanmu. Siang ini kita rapat dengan para kru. Pukul satu.
“Kalian” yang dimaksud oleh asistennya adalah dia dan Lana, itu jelas. Samuel mendengus. Jari-jarinya bergerak cepat menekan huruf-huruf sekali lagi.
Majukan jadwal rapat. Aku tiba di studio pukul sepuluh.
Begitu dia membalas asistennya.
Dia kembali ke kamar. Dicucinya muka. Digantinya pakaian dengan kaus dan celana olahraga. Dikenakannya sepatu lari. Disumbatnya telinga dengan musik. Setelah itu, dia turun ke lantai dasar rumahnya.
Rumahnya luas, bergaya modern, dan nyaris monokrom. Dia tinggal sendiri. Karena itu, setiap jengkal isi rumahnya mewakili kepribadiannya. Ruangan-ruangan didominasi kaca, dinding beton yang kelabu, logam, dan perabot hitam. Satu-satunya warna adalah cokelat yang hadir berkat lantai kayu dan sofa-sofa berlapis kulit.
Semua perabot dan sofa itu dibuat khusus hingga tampak senada dan ditata sedemikian rupa hingga terlihat apik. Di antaranya, diletakkan beberapa benda seni yang juga monokrom, kamera-kamera tua yang dahulu menemaninya pada masa awal karier, dan sebaris trofi yang didapatkan dari berbagai festival film internasional.
Samuel melintasi ruang duduk. Dia berhenti di foyer untuk melakukan sedikit pemanasan; melemaskan pundak, lengan, dan kaki. Udara sejuk menyambutnya begitu pintu depan rumahnya terbuka. Dia menghela napas panjang, lalu memulai aktivitasnya sehari-hari seperti biasa. Dia selalu memulai dengan berlari.
Hari ini, dia berlari sambil menggerutu. Gara-gara siapa lagi kalau bukan Lana.
*
Gara-gara Lana pula, muka para kru studio Hardi tertekuk pada saat rapat. Mereka sutradara, penulis naskah, kamerawan, dan penyunting film. Keempatnya duduk pasrah mengelilingi meja. Masing-masing tidak berkutik ketika dimaki oleh Samuel satu per satu karena pekerjaan mereka dianggap berantakan.
Sebenarnya, mereka cukup terbiasa dengan makian. Makian adalah makanan mereka sehari-hari. Bertahun-tahun mereka bekerja di Hardi. Itu bukan studio film kecil–meskipun lokasinya di selatan Jakarta. Hardi punya kontrak jutaan dolar dengan National Geographic. Film-film dokumenter yang mereka produksi ditayangkan di banyak negara. Pemilik dan pendiri studio itu sendiri, Samuel, sering mendapat penghargaan internasional sejak masih belajar di University of Florida. Tidak hanya itu, dia gila kesempurnaan. Wajar apabila standar yang ditetapkan di Hardi sangat tinggi. Dan, makian hanyalah cara Samuel menyampaikan kepada para kru bahwa standar itu tidak terpenuhi.
Tetapi, hari ini, standar itu tidak masuk akal. Samuel bersikap tidak masuk akal. Dia mempermasalahkan hal-hal yang biasanya tidak dipermasalahkan. Sudut pengambilan gambar yang sedikit kurang pas. Jarak kamera yang terlalu dekat satu-dua langkah dengan objek. Jari kelingking narasumber yang terpotong dan tidak masuk frame. Atau, bahkan, langit latar yang keruh.
Mendadak, dia kehilangan kemampuan bertoleransi, kemampuan memahami keterbatasan orang lain. Seakan-akan, dia berharap para kru Hardi sama genius dengannya, sama gilanya dalam hal kesempurnaan. Tetapi, tentu saja tidak semua orang memenangi IDFA–International Documentary Film Festival Amsterdam–pada usia sembilan belas tahun. Tidak semua orang menghitung berapa detik jeda antarnarasi.
Jadi, diam-diam, para kru Hardi menyadari bahwa suasana hati atasan mereka sedang buruk. Sialnya, mereka yang kena getah.
“Kacau,” kata Samuel, “sebenarnya, apa yang kalian pelajari di sekolah film?” Dia berdiri di ujung meja rapat sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Raut mukanya datar, tetapi caranya menatap membuat nyali lawan-lawannya ciut. Suaranya pun terdengar mengintimidasi. Nada bicaranya meremehkan.
Dia berkata lagi, “Ini sampah. Kita tidak bisa menyerahkan ini kepada Nat Geo. Kalian harus ambil gambar ulang.”
Para kru langsung ribut. Mereka sedang membicarakan film dokumenter tentang upacara pemakaman suku Toraja. Itu bukan ritual yang bisa direkam ulang kapan pun mereka mau.
Beruntung, di ruangan itu ada Nora, asisten Samuel yang sudah terbiasa menghadapi berbagai sikap tidak masuk akal atasannya. Dia buru-buru angkat bicara. “Sebaiknya kita lanjutkan pembahasan ini nanti, Samuel. Ada hal lain yang harus mereka kerjakan dan itu lebih mendesak.” Sosoknya yang kurus dan tinggi menghampiri Samuel, memberi tepukan pelan di bahu lelaki itu. Lalu, kepada para kru, dia memberi isyarat agar mereka keluar.
Tiga di antaranya menurut. Beramai-ramai, mereka menyelamatkan diri. Seorang lagi tetap di ruangan untuk merapikan laptop, proyektor, dan materi-materi rapat yang berserakan di atas meja.
Dia si sutradara. Namanya Rayyi. Usianya paling muda, bahkan tampangnya masih mirip mahasiswa. Penampilannya cuek. Sikapnya pun demikian. Dia baru diangkat menjadi kru tetap di Hardi. Sebelumnya, dia sebatas pegawai magang dan sering diperlakukan seperti pesuruh. Dia cukup berbakat, sebenarnya. Beberapa tahun yang lalu, dia juga memenangi IDFA. Hari ini, dia hanya sedang sial.
Sambil menggulung kabel, dia memperhatikan atasannya. Lelaki dalam setelan necis itu menuding Nora dengan sinis. “Kau membela mereka.”
Nora mengedikkan bahu. “Itu cuma jari kelingking. Masa gara-gara itu kau menyuruh mereka ambil gambar ulang. Lagian, Samuel, tidak setiap hari ada orang suku Toraja yang meninggal.”
“Aku tidak peduli. Sampah ya sampah.” Samuel mengangkat dagunya dan mendengus. Dia menarik kursi, lalu duduk. Kini, alisnya berkerut. Pikirannya tidak lagi tertuju pada hasil rapat.
“Pasti Lana sudah pergi, ya?” Dengan mudah, Nora menebak apa yang menyebabkan Samuel gelisah.
“Lebih tepatnya, dia pergi diam-diam,” kata Samuel, ketus.
Nora tertawa. “Seperti itulah dia, kan? Kenapa kau marah?”
“Tunggu.” Rayyi menyeletuk tiba-tiba. “Lana?” tanyanya. Dia mendelik ke arah Samuel. Sepasang matanya yang membesar agak tertutup oleh helai-helai rambut ikal yang berantakan. “Jadi, aku dan tim produksiku dimaki-maki selama dua jam tadi karena dia? Serius?”
Samuel diam saja, berlagak tidak mendengar.
Siapa pun yang bekerja cukup lama di Hardi mengenal Lana. Perempuan itu berkali-kali datang mencari Samuel ke studio, setiap setengah atau satu tahun sekali. Dia selalu membawa koper kecil dan tas kamera; memakai blus tanpa lengan, celana safari pendek, dan bot semata kaki. Perempuan itu tidak pernah menunggu di lobi. Dia akan melenggang naik ke lantai kedua, lalu menyelinap masuk ke ruang kerja Samuel tanpa perlu mengatur janji terlebih dahulu. Dan, kalau sudah begitu, tidak ada yang berani mengganggu mereka.
“Lana datang ke studio kemarin.” Nora memberi tahu Rayyi. Perempuan itu ikut mengenyakkan diri di kursi. Dia mengetuk-ngetukkan jemarinya yang lentik ke permukaan meja. Kuku-kukunya fuchsia dan turquois. Dia berkata kepada Samuel, “Menurutku, kau marah bukan karena dia pergi diam-diam, tapi karena dia pergi terlalu cepat.”
“Tidak.” Lagi-lagi, Rayyi menyeletuk. “Dia marah karena selama ini dialah yang pergi meninggalkan perempuan diam-diam.”
Giliran Samuel yang mendelik ke arah Rayyi. Pemuda itu kerap membuatnya jengkel. Di antara semua kru Hardi, hanya pemuda itu yang berani–kalau bukan nekat–berbicara seperti barusan kepadanya. “Heh, Anak Kecil, kau pikir itu lucu?”
Pemuda itu menaikkan alis. “Ya, lucu. Kalian berhubungan tapi tinggal berjauhan. Kau di sini. Lana di Washington. Kenapa kalian tidak menikah saja? Jadi, kau dan perempuan itu tidak perlu berpisah. Jadi, aku dan tim produksiku tidak perlu dimaki-maki tanpa alasan yang jelas setiap kali dia pergi.”
Samuel mencibir. “Aku tidak menikah, oke? Itu tidak ada dalam kamusku.” Itu benar. Dia tidak berhubungan serius dengan perempuan. Dengan perempuan, dia sebatas berkencan, bercumbu, dan bercinta. Tidak lebih. Itu pun tidak untuk waktu yang lama. “Komitmen adalah penyakit,” dalihnya, “itu sesuatu yang menggerogoti hubungan lelaki dan perempuan sampai habis, sampai keduanya tidak tahu lagi apa yang dulu membuat mereka bergairah. Mereka jadi terikat.”
Lawan bicaranya mengernyit. “Tentu saja lelaki dan perempuan jadi terikat. Itu tujuan mereka menikah. Mereka saling memiliki.”
Samuel mendesah, lalu malas-malasan mendebat, “Yang benar: mereka saling bergantung, saling membebani. Percayalah, menikah cuma akan menghilangkan keasyikan. Begitu terikat, lelaki dan perempuan berubah membosankan. Segala hal, bahkan seks, mereka lakukan semata-mata karena rutinitas dan kewajiban. Lalu, salah satu atau keduanya mulai menginginkan pasangan baru. Ujung-ujungnya, mereka berpisah. Kalau pun tidak, mereka saling membenci sampai mati. Nah. Katakan, kenapa aku harus membuang kebebasanku untuk itu?”
“Gonta-ganti perempuan, itu yang kau maksud dengan ‘kebebasan’? Memangnya, kau tidak bisa ya memilih satu saja untuk dimiliki? Kau tidak muda lagi, Kakek.”
“Aku tiga puluh tiga tahun, Sialan. Lagian, perempuan tidak untuk dimiliki. Hubungan yang ideal adalah hubungan yang tanpa ikatan. Dengan begitu, lelaki dan perempuan bisa bersama sekaligus tetap sendiri.”
Hening sejenak. Rayyi diam menatap Samuel. Kedua alisnya masih berkerut. Lalu, katanya, “Aku tidak mengerti omong kosong apa yang kau bicarakan.”
“Aku juga.” Nora menggeleng.
Samuel justru tertawa sinis. “Aku tidak mengerti kenapa kita membicarakan omong kosong ini.” Dia beranjak dari tempat duduknya. Di ambang pintu, sebelum dia keluar dari ruangan, Samuel berbalik. “Tapi ada satu hal yang lebih mengerikan dari menikah,” katanya.
Rayyi dan Nora bertanya serentak, “Apa?”
“Memiliki anak,” jawab Samuel, “itu yang lebih mengerikan dari menikah. Itu akhir dari kehidupan lelaki.” Lalu, dia melangkah pergi.
*
Asistennya benar. Dia marah bukan karena Lana pergi diam-diam, tetapi karena perempuan itu pergi terlalu cepat. Karena, sesungguhnya, dia masih merindukan perempuan itu.
Sesungguhnya, dia berharap menghirup aroma vanili dan musk dari leher perempuan itu pagi ini. Helai-helai rambut cokelat ikal menggelitik hidungnya. Bibirnya menyematkan ciuman di pundak perempuan itu. Lengannya memeluk erat-erat tubuh indah yang berbagi kehangatan bersamanya semalam. Jemarinya menelusuri lekuk-lekuk. Lalu, dia mengawali hari tidak dengan berlari, melainkan dengan bercinta. Begitulah. Dia belum rela berpisah lagi dengan perempuan itu.
Dan, kini dia memandangi layar laptopnya seperti lelaki tolol, menunggu pesan balasan masuk ke kotak suratnya. Tetapi, tentu saja tidak akan ada pesan balasan, tidak hingga dua puluh jam ke depan karena saat ini perempuan itu masih di penerbangan menuju Washington. Justru dia yang kembali mengirimkan pesan. Berbeda dengan sebelumnya, surelnya yang ini bernada rindu.
“Sial.” Samuel bergumam lesu. Dia mematikan perangkat elektronik tersebut, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Tangannya mengusap wajah. Matanya terpejam. Mulutnya melepaskan napas dengan berat. Dia di ruang kerjanya di Hardi. Belasan storyboard menumpuk di hadapannya, tetapi kepalanya tidak bisa diajak memikirkan film.
Lana. Untuk sementara, hanya perempuan itu yang diterima oleh kepalanya.
Lana Hart, nama lengkap perempuan itu. Dia separuh Amerika, separuh Indonesia. Oleh ibunya, dia diberi nama tengah Lituhayu yang berasal dari Jawa dan berarti “cantik”.
Perempuan itu memang cantik. Dia memiliki wajah unik perpaduan barat dan timur. Matanya cokelat keemas-emasan. Kulitnya tidak pucat, cenderung gelap, tetapi eksotis. Alisnya tebal dan meliuk sempurna. Bibirnya penuh. Tulang pipinya tegas, begitu pula garis hidungnya. Selain itu, dia tinggi dan tubuhnya membentuk profil kesukaan lelaki–atau lebih tepatnya: profil kesukaan Samuel.
Tetapi, bukan wajah cantik dan tubuh indah yang membuat Lana sangat menarik–meskipun, sejujurnya, itu dua hal pertama yang dilihat oleh Samuel dalam diri seorang perempuan. Lana pintar dan berbakat, dua kualitas yang entah mengapa jarang berdampingan dengan wajah cantik dan tubuh indah.
Sama seperti Samuel, Lana bergelut di dunia perfilman dokumenter. Dia satu dari sedikit perempuan yang berhasil menjadi produser tetap di National Geographic Channel. Sehari-hari, dia bepergian ke tempat-tempat menarik di Asia dan Eropa; menyusuri jalan berliku di antara tebing-tebing yang belum tersentuh peradaban modern, mengintip kota kecil yang terlupakan, mencari budaya usang yang nyaris hilang; dan merekam semua itu.
Film-filmnya kaya. Lana punya sudut pandang yang tidak biasa. Apa yang dia tangkap lewat lensa kameranya pasti menjelma cerita yang menarik untuk disimak. Sebagai sineas, perempuan itu hebat. Bahkan, Samuel mengakui hal tersebut.
Jadi, dengan perempuan lain, Samuel sebatas berkencan, bercumbu, dan bercinta. Dengan Lana, dia bisa melakukan semua itu sambil membicarakan film dan budaya. Dan, itu menyenangkan.
Samuel menyukai salah satu momen ini, kala dia dan Lana baru selesai bercinta. Mereka berbaring bersisian, berangkulan. Perempuan itu menceritakan goa sakral di Gharapuri atau jalan kuno bernama Nakasendo di Jepang. Dia menyimak perempuan itu, sesekali mengomentari, sesekali menyela dengan ciuman, lalu balas bercerita tentang air terjun di Sulawesi Tenggara yang juga sakral atau apalah–mereka tidak pernah kehabisan topik.
Itu sebabnya Samuel selalu menunggu-nunggu pertemuan dengan Lana.
Sayangnya, pertemuan mereka tidak pernah lama, hanya satu-dua minggu atau bahkan beberapa hari. Setelah itu, dia dan Lana kembali berpisah untuk jeda panjang yang tidak tentu.
Dan, karena hubungan mereka tanpa ikatan, dalam jeda panjang yang tidak tentu itu, ada perempuan-perempuan lain. Tetapi, perempuan-perempuan lain tersebut–cepat atau lambat–akan membuat Samuel bosan.
Lana berbeda. Perempuan itu tidak pernah membuatnya bosan.
* * *
Menarik sejak di prolog.
ReplyDelete