.

.

Meet Gilang & Ayu: Pertemuan di Tengah Hujan

Sayang, apakah kalian percaya pada keajaiban?

Kemari. Akan kubisikkan satu rahasia.

Aku datang dan pergi bersama hujan. Kalian tidak tahu. Atau, barangkali kalian tahu, tetapi tidak percaya. Kala langit menitikkan butir-butir bening yang dingin, aku ada di antara kalian. Menyusup. Diam-diam membaur dalam kerumunan. Dengan sebuah payung merah yang menyimpan ribuan harapan di tanganku. Selalu.

Terkadang, kalian bisa melihatku. Seringnya, kalian tidak bisa. Itu karena, seringnya, kalian tidak memperhatikan secara saksama.

Nama? Oh, aku punya banyak nama. Berbeda-beda di setiap tempat. Berbeda-beda pada setiap masa. Di antara banyak nama yang diberikan kepadaku, ada yang sangat kusukai. Goldilocks. Aku mendapatkannya dari seorang pemuda.

Pemuda lucu. Dia takut ketinggian, tetapi rela terbang ribuan mil demi cinta. Lalu, ketika cinta itu sudah di tangan, dia melepaskannya.

Nah, sekarang, dengar baik-baik. Akan kubisikkan satu kisah.

Tetapi, ini bukan kisah tentang aku. Sama sekali bukan. Ini kisah tentang dua orang yang dipertemukan oleh hujan. Pemuda lucu itu dan gadis gila buku yang tidak percaya pada keajaiban.
Semua berawal dari—

Tunggu. Dari mana aku akan mengawali kisah ini?

Ah, baiklah, aku tahu.

Semua berawal dari Charlotte Street di London, pada suatu sore di pertengahan September, di awal musim gugur yang dingin, kala hujan.


*


Di salah satu sisi Charlotte Street yang basah, dia berdiri memanggul tas besar. Dia si gadis gila buku yang tidak percaya pada keajaiban. Ayu, namanya. Kulitnya cokelat keemas-emasan. Rambutnya ikal sebahu, bergerak-gerak pelan terkena angin.

Hujan memerangkap gadis itu di teras penginapan, di bawah kanopi kain yang melendut dan menampung air. Dia mengawasi langit kelabu sambil menggigiti bibir. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk kaki. Alisnya berkerut. Di kedua pipinya, hujan meninggalkan jejak. Butir-butir kecil yang hampir tidak tampak.

Dia tidak punya waktu. Dua jam lagi, pesawatnya akan meninggalkan London. Dia harus segera ke Heathrow dan pulang ke kota asalnya.

“Hujan sial,” gerutu gadis itu. Dia berdecak. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk semakin cepat.

Gadis itu pasti akan berlari menerobos hujan andai dalam tas besar di punggungnya tidak ada buku-buku langka berusia puluhan tahun yang dia kumpulkan dari toko-toko kecil di sudut-sudut Fitzrovia. Kertas tua sangat rentan terhadap air, mudah rusak. Dia tidak bisa membiarkan buku-buku itu basah.

Tetapi, pertolongan segera datang. Lihat saja. Aku tahu karena aku yang mengatur hal tersebut. Seseorang akan menyelamatkan gadis itu. Ya. Si pemuda lucu. Tebakan yang bagus, Sayang. Gilang, namanya.

Saat ini, dia berada di Windmill Street, hanya berjarak satu blok dari Ayu. Dia keluar ke jalan sambil mengembangkan payung merah. Payung merah kepunyaanku. Bagaimana itu ada di tangannya? Panjang ceritanya. Akan kuberi tahu, tetapi tidak sekarang.

Sekarang, mari kita menyaksikan mereka bertemu.

Ini bukan kali pertama. Ini kali ketiga, bahkan. Sebelum ini, mereka bertemu beberapa kali di London. Di sejumlah toko. Sewaktu mereka sedang mencari buku. Jadi, mereka telah saling mengenal meskipun hanya sekilas.

Seperti Ayu, Gilang memanggul tas besar. Pemuda itu pun ingin pulang ke kota asalnya. Dia berbelok memasuki Charlotte Street. Raut wajahnya muram. Pandangannya sulit lepas dari bangunan-bangunan Eropa abad kesembilan belas yang dia lewati. Dia sedang berpamitan.

Lalu, langkahnya berhenti tepat di tempat yang kuinginkan. Di hadapan Ayu.

Mata mereka berserobok dan keduanya terkejut. Ada jeda sesaat sebelum si pemuda lucu menyapa, “Hei, mau ke mana?”

“Oh, hei. Heathrow.” Ayu menjawab kikuk.

“Kita satu tujuan. Mau jalan bareng?” Gilang melirik payung yang mengembang di atas kepalanya, memberi isyarat kepada Ayu bahwa dia rela berbagi naungan.

Si gadis gila buku tampak ragu-ragu, tetapi kemudian dia mengangguk dan menghampiri Gilang dengan setengah berlari. Dia tidak punya pilihan. Berdua, mereka bersisian rapat menuju halte bus terdekat.

Aku mengikuti dan memperhatikan mereka. Keduanya sangat berbeda. Mereka berasal dari kota yang sama. Hutan gedung tinggi di sebuah pulau di negeri tropis yang jauh dari London. Tetapi, selain itu, hampir tidak ada kesamaan lain.

Kulit Gilang lebih gelap dan rambutnya kaku serta berantakan, senada dengan jaketnya yang kusut dan jinsnya yang pudar. Tali sepatunya terurai. Dia tidak mengenakan kaus kaki. Ayu, sebaliknya, memberi cukup banyak perhatian pada semua yang melekat di tubuhnya. Sweter model terkini, celana wol yang licin, bot semata kaki, syal merah, dan kalung panjang dari batu-batuan yang berbunyi samar setiap kali dia melangkah. Dia melangkah dengan gemulai sementara gerak-gerik Gilang ceroboh.

“Naik pesawat pukul berapa?”

“Tujuh,” kata Ayu.

“Oh, ya? Sama. Tujuan Jakarta?”

“Ya.”

“Cathay?”

“Ya.”

Gilang menyeringai. “Sama.”

“Wow. Kebetulan sekali.” Ayu malas-malasan memberi tanggapan. Oh, ya, memang seperti itulah dia. Sikapnya tidak bersahabat, apalagi kepada lelaki. Bukan tanpa alasan. Kalian akan mengerti nanti.

Gilang tertawa. Suaranya bercampur dengan desis hujan. Lepas, tetapi menyimpan kesedihan yang sengaja disembunyikan. Bukan tanpa alasan pula.

“Kau benar-benar tipe pembaca Emily Bronte, ya? Omong-omong, buku itu ketemu? Wuthering Heights cetakan pertama,” tanyanya. Itu buku yang dicari oleh Ayu.

Ayu menggeleng. “Tapi aku menemukan Burmese Days cetakan pertama.” Dan, itu buku yang dicari oleh Gilang.

Burmese Days? Sungguh?”

“Ya. Di toko yang kudatangi tepat setelah kau menabrakku dan membuat buku-bukuku kotor.” Ada penekanan dalam nada bicara Ayu.

Gilang tertawa lagi. “Astaga. Selain sinis dan penuh prasangka, kau juga pendendam, rupanya. Padahal, seingatku, aku sudah minta maaf.”

“Kau memang sudah minta. Aku belum memberikannya.”

Tawa Gilang semakin keras.

Kini, mereka menyusuri Percy Street. Di langit, di balik awan kelabu, matahari mulai tergelincir. Udara bertambah dingin. Aroma daun kering tercium dari pohon-pohon meranggas di trotoar. Beberapa menit keduanya tidak berbicara. Beberapa menit keduanya dikuasai pikiran masing-masing dan suasana di antara mereka berubah sendu.

Lalu, tiba-tiba Ayu berkata, “Aku membeli buku itu.”

Burmese Days.” Dia memperjelas maksudnya. “Aku membelinya untukmu.”

Gilang menatap gadis itu, terbelalak. “Bronte, harus kuakui, aku terkejut. Terima kasih.”

Gadis itu melengos. “Bukan masalah besar. Tidak perlu bereaksi berlebihan begitu.”

“Boleh aku lihat buku itu sekarang?”

“Ada di dasar tasku. Aku malas mengambilnya. Nanti saja di Heathrow.”

“Kalau begitu, boleh aku tahu bagaimana kau akan memberikannya kepadaku andai kita tidak bertemu hari ini?”

“Aku memikirkan Facebook dan pos.” Ayu mengedikkan bahu. “Aku bisa mencari akunmu, lalu menanyakan alamat.”

Sepasang alis Gilang terangkat. “Ada banyak sekali nama Gilang di Facebook, kau tahu.”

“Ya, tapi pastinya cuma ada satu atau dua Gilang yang memasang foto George Orwell atau Ernest Hemingway di profilnya.”

Sekali lagi, Gilang tertawa. Tebakan Ayu benar. “Fitzgerald.” Pemuda itu memberi petunjuk kepada si gadis gila buku. “Cari Gilang dengan foto Scott Fitzgerald di profilnya.”

“Ah, Fitzgerald. Tentu saja. Pub. Bir. Pesta. Kau lelaki seperti itu.” Ayu tersenyum.

Hem, ya, aku lelaki seperti itu.” Gilang balas tersenyum.

Begitulah.

Mereka belum menyadarinya. Baik Ayu maupun Gilang datang ke London dengan alasan masing-masing. Mereka pun pulang membawa kisah masing-masing. Tetapi, sesungguhnya, mereka ditakdirkan bertemu hari itu.

Hujan tidak turun begitu saja, Sayang. Hari itu, langit menitikkan butir-butir bening yang dingin hanya untuk mereka.

Dan, payung merah yang mereka pakai berdua—ya, kepunyaaanku—bukan payung biasa. Sesuatu akan terjadi kepada siapa saja yang memakai payung merah kepunyaanku berdua.

Sesuatu yang... magis.


* * *

*taken from Pluviose

6 comments:

  1. aaakkk, deg deg an bacanya dan ini keren mba. *akan sabar menanti apa yang terjadi selanjutnya"

    ReplyDelete
  2. Astaga, dari awal baca London sampai WAY, sempat penasaran sama kisah Gilang dan Ayu seperti apa.
    Nggak sabar nunggu jawabannya :)

    ReplyDelete
  3. Mbak, boleh pinjem payung merahnya Goldilocks enggak? kali-kali aja ntar berjodoh samaa Jun #eh :)

    ReplyDelete
  4. Ini keren banget!! >.<
    Apalagi judulnya; "Pluviose"
    Sukaaa banget!!! Dari kata pluviophile (pecinta hujan) ya?
    Ditunggu bukunya :D

    ReplyDelete
  5. Sudah tak sabar menanti kisah mereka

    ReplyDelete
  6. Waaahhh ini sudut pandangnya uniikk, aku suka sekali Ka W. Gasabar nunggu PO nyaaa :D

    ReplyDelete