
Rambutnya helai-helai rumput kering menguning. Bersinar keemasan terkena lampu jalanan. Begitu juga kedua pasang tangan dan kakinya. Dia mengenakan topi lebar dari jerami. Di atasnya bertengger seekor gagak hitam dengan paruh kuning. Kemejanya bermotif kotak-kotak warna merah. Celananya dari jeans biru dengan tambalan di bagian lutut.
Malaikat kecilku yang manis tersenyum lebar. Matanya menatap dengan binar jenaka. Oh, betapa bersinarnya dia. Kucubit kedua pipinya. Kugenggamkan sebuah keranjang kecil dari rotan. Lalu kulepas dia berlari ke jalanan, menyusuri tanah berbatu, membaur bersama malaikat-malaikat kecil lain yang ramai tertawa gembira.
Dia pernah bertanya, “Mama, Pe ikut comparas, bisa?”
“Berapa umurmu?”
“Enam ... oh ... tujuh!”
“Baiklah, kurasa umur tujuh tahun sudah diperbolehkan ikut comparas.”
Dia adalah boneka ladang di comparas, pulang dengan keranjang penuh coklat dan permen. Kami hitung satu-satu di kamar tidurnya, kami simpan di dalam kaleng kotak kesayangannya, lalu kupeluk dia sepanjang malam.
Coklat dan permen di dalam kotak berkurang satu setiap malam. Kami kulum sambil menghabiskan waktu bersama. Tapi sebelum isi kotak itu habis, malaikat kecilku terbang ke sudut langit, duduk berayun di bulan sabit yang kekuningan sambil memainkan akordion. Dia asyik sekali bermain dan lupa pada rumah, lupa pada diriku. Orang-orang bilang, dia tidak akan pulang lagi dan hanya suara musiknya yang terdengar satu tahun sekali di akhir Oktober lewat riuh comparas.
Aku ingin malaikat kecilku pulang.
Tadi pagi aku membeli seplastik coklat aneka warna. Kumasukkan ke dalam beberapa toples kaca yang bening di atas ofrenda dengan hiasan lilin. Kucampurkan dengan seplastik permen aneka rasa, terbungkus kemasan motif polkadot dan garis-garis oranye.
Coklat dan permen itu akan memancing malaikat-malaikat kecil di malam ketiga Dia de Los Muertos. Satu per satu mereka datang, berkostum aneka rupa dan membawa keranjang rotan, mengetuk pintu, berjingkat masuk lalu berebut isi toples.
Aku bersembunyi di balik dinding setiap kali mereka datang. Kudengar tawa memenuhi rumahku seperti musik ceria. Kuintip untuk mencari malaikat kecilku tapi tidak pernah kutemukan dia di antara malaikat-malaikat itu.
Dia pernah berkata, “Pe ingin coklat calavera.”
“Calavera hanya ada di bulan Oktober, sayang.”
“Pe ingin sekarang.”
“Tidak bisa sekarang, sayang.”
Oh, suara malaikat kecilku masih kerap kudengar setiap saat. Bernyanyi di samping telingaku. Tertawa menghangatkan dada. Aku terbaring sedih di atas kasurnya, membuang air mata yang terserap serat-serat wool beraroma bayi. Kupanggil dia lirih, kubisikkan nyanyian pengantar tidur.
Ketukan.
Ketukan.
Ketukan terdengar samar sekali. Di tengah malam menjelang hari berganti. Aku melihat pintu depan terbuka. Ada boneka ladang melongokkan kepalanya. Helai-helai rumput keringnya berjatuhan ke lantai, meninggalkan bunyi gemerisik. Dia berjingkat masuk ke dalam, menghampiri ofrenda di sudut ruangan. Tangan kecilnya meraih toples di atas meja, merogoh coklat-coklat berbentuk calavera. Malaikat kecilku pulang!
Aku bangkit dari tempat tidur tanpa suara, takut dia tahu lalu lari lagi. Kuintip dia dari balik pintu kamar. Dia mengambil semua coklat dan memenuhi keranjang rotannya. Dikulumnya satu buah lalu dia bersiap-siap akan pergi.
Aku keluar dari persembunyianku. Menyergapnya sebelum dia sempat pergi. Tapi malaikat kecilku hilang dalam sekejapan mata. Menguap seperti sulap di comparas, meninggalkan asap tipis dan helai-helai rumput kering di lantai.
Malaikat kecilku terbang lagi ke sudut langit. Kubayangkan dia duduk berayun di bulan sabit yang kekuningan sambil memainkan akordion. Musiknya terdengar memenuhi udara malam yang berganti pagi. Semakin lama semakin kecil lalu akhirnya tidak terdengar.
Tangis.
Tangis.
Betapa sedihnya diriku tidak sempat memeluk dia.
Maka setiap tahun di malam yang sama, aku mendirikan kembali ofrenda dan mengisi toples bening dengan coklat calavera dan permen berbungkus motif polkadot. Kubuka pintu rumah. Kutunggu malaikat kecilku pulang. Dia berkostum boneka ladang. Rambutnya dari helai-helai rumput kering yang bersinar keemasan terkena lampu jalanan.
Jakarta, 15 Februari 2008
Catatan:
Dia de Los Muertos: perayaan untuk memperingati orang-orang yang sudah mati
Comparas: pawai merayakan Dia de Los Muertos di akhir Oktober
Cavalera: boneka tengkorak, terbuat dari coklat atau plastik
Ofrenda: meja altar untuk memperingati orang yang sudah mati
Malaikat kecilku yang manis tersenyum lebar. Matanya menatap dengan binar jenaka. Oh, betapa bersinarnya dia. Kucubit kedua pipinya. Kugenggamkan sebuah keranjang kecil dari rotan. Lalu kulepas dia berlari ke jalanan, menyusuri tanah berbatu, membaur bersama malaikat-malaikat kecil lain yang ramai tertawa gembira.
Dia pernah bertanya, “Mama, Pe ikut comparas, bisa?”
“Berapa umurmu?”
“Enam ... oh ... tujuh!”
“Baiklah, kurasa umur tujuh tahun sudah diperbolehkan ikut comparas.”
Dia adalah boneka ladang di comparas, pulang dengan keranjang penuh coklat dan permen. Kami hitung satu-satu di kamar tidurnya, kami simpan di dalam kaleng kotak kesayangannya, lalu kupeluk dia sepanjang malam.
Coklat dan permen di dalam kotak berkurang satu setiap malam. Kami kulum sambil menghabiskan waktu bersama. Tapi sebelum isi kotak itu habis, malaikat kecilku terbang ke sudut langit, duduk berayun di bulan sabit yang kekuningan sambil memainkan akordion. Dia asyik sekali bermain dan lupa pada rumah, lupa pada diriku. Orang-orang bilang, dia tidak akan pulang lagi dan hanya suara musiknya yang terdengar satu tahun sekali di akhir Oktober lewat riuh comparas.
Aku ingin malaikat kecilku pulang.
Tadi pagi aku membeli seplastik coklat aneka warna. Kumasukkan ke dalam beberapa toples kaca yang bening di atas ofrenda dengan hiasan lilin. Kucampurkan dengan seplastik permen aneka rasa, terbungkus kemasan motif polkadot dan garis-garis oranye.
Coklat dan permen itu akan memancing malaikat-malaikat kecil di malam ketiga Dia de Los Muertos. Satu per satu mereka datang, berkostum aneka rupa dan membawa keranjang rotan, mengetuk pintu, berjingkat masuk lalu berebut isi toples.
Aku bersembunyi di balik dinding setiap kali mereka datang. Kudengar tawa memenuhi rumahku seperti musik ceria. Kuintip untuk mencari malaikat kecilku tapi tidak pernah kutemukan dia di antara malaikat-malaikat itu.
Dia pernah berkata, “Pe ingin coklat calavera.”
“Calavera hanya ada di bulan Oktober, sayang.”
“Pe ingin sekarang.”
“Tidak bisa sekarang, sayang.”
Oh, suara malaikat kecilku masih kerap kudengar setiap saat. Bernyanyi di samping telingaku. Tertawa menghangatkan dada. Aku terbaring sedih di atas kasurnya, membuang air mata yang terserap serat-serat wool beraroma bayi. Kupanggil dia lirih, kubisikkan nyanyian pengantar tidur.
Ketukan.
Ketukan.
Ketukan terdengar samar sekali. Di tengah malam menjelang hari berganti. Aku melihat pintu depan terbuka. Ada boneka ladang melongokkan kepalanya. Helai-helai rumput keringnya berjatuhan ke lantai, meninggalkan bunyi gemerisik. Dia berjingkat masuk ke dalam, menghampiri ofrenda di sudut ruangan. Tangan kecilnya meraih toples di atas meja, merogoh coklat-coklat berbentuk calavera. Malaikat kecilku pulang!
Aku bangkit dari tempat tidur tanpa suara, takut dia tahu lalu lari lagi. Kuintip dia dari balik pintu kamar. Dia mengambil semua coklat dan memenuhi keranjang rotannya. Dikulumnya satu buah lalu dia bersiap-siap akan pergi.
Aku keluar dari persembunyianku. Menyergapnya sebelum dia sempat pergi. Tapi malaikat kecilku hilang dalam sekejapan mata. Menguap seperti sulap di comparas, meninggalkan asap tipis dan helai-helai rumput kering di lantai.
Malaikat kecilku terbang lagi ke sudut langit. Kubayangkan dia duduk berayun di bulan sabit yang kekuningan sambil memainkan akordion. Musiknya terdengar memenuhi udara malam yang berganti pagi. Semakin lama semakin kecil lalu akhirnya tidak terdengar.
Tangis.
Tangis.
Betapa sedihnya diriku tidak sempat memeluk dia.
Maka setiap tahun di malam yang sama, aku mendirikan kembali ofrenda dan mengisi toples bening dengan coklat calavera dan permen berbungkus motif polkadot. Kubuka pintu rumah. Kutunggu malaikat kecilku pulang. Dia berkostum boneka ladang. Rambutnya dari helai-helai rumput kering yang bersinar keemasan terkena lampu jalanan.
Jakarta, 15 Februari 2008
Catatan:
Dia de Los Muertos: perayaan untuk memperingati orang-orang yang sudah mati
Comparas: pawai merayakan Dia de Los Muertos di akhir Oktober
Cavalera: boneka tengkorak, terbuat dari coklat atau plastik
Ofrenda: meja altar untuk memperingati orang yang sudah mati
No comments:
Post a Comment