­

.

.

Mezcal


PEMABUK-pemabuk Oaxaca memenuhi setiap sudut bar dengan sebuah mitos. Minumlah mezcal selagi kau merasa senang, sebagai perayaan atas kemenanganmu. Dan minumlah mezcal selagi kau merasa sedih, sebagai pelarut untuk menelan kepahitan. For every misfortune, for all good fortune,

“Beri saya satu gelas lagi!”

Jose si penjaga bar menuangkan semua isi botol yang masih tersisa. Seekor cacing berwarna merah ikut serta lalu mengendap di dasar gelas yang bening. Cacing itu, cacing maguey, gusano, tidak akan kau temukan dalam sebotol tequila. Dan konon cacing itu yang membuat rasa mezcal menjadi begitu nikmat.

Ini gelas terakhir saya malam ini. Jika gelas ini tidak juga mampu melarutkan semua rasa pahit, saya terpaksa pulang ke rumah sebagai lelaki kalah. Seperti malam sebelumnya dan seperti malam-malam yang lain. Kembali pada istri saya di rumah yang sesungguhnya tidak pernah menunggu saya pulang.

“Kau pilih cacing, Amigos? atau kalajengking?”

Suara serak itu terdengar samar di antara riuh tawa dan obrolan cabul yang menghidupkan suasana bar, terlontar dari mulut seorang lelaki asing bertampang lusuh. Dia duduk di sebelah saya. Pakaiannya kumal dan rambutnya berantakan. Matanya yang menatap saya nanar dan dia menggenggam sebotol mezcal setengah kosong.

“Jadi, gusano atau scorpion, Amigos?”

Radio milik Jose si penjaga bar, yang sejak lima menit lalu tersendat, kembali bernyanyi irama ranchera Mariachis. Seisi bar bersorak, seorang seniorita bertubuh molek menari salsa di tengah ruangan pengap.

“Amigos, kau dengar?”

“Gusano dan jangan panggil saya amigos. Kau mengusir keberuntungan.”

Lelaki asing itu tertawa terkekeh. Tampaknya dia sedang mabuk berat. Omongannya kacau. Katanya, “Kalajengking selalu lebih nikmat, Amigos. Lebih tajam,” lalu dia merendahkan nada bicaranya seraya mencondongkan tubuh ke arah saya, “membuatmu tinggi dan bisa lebih menikmati seks.”

Saya tidak menanggapi.

“Tidak banyak yang menjual mezcal jenis itu sekarang. Terakhir aku dapat dari seorang teman, amigos seperti kau. Kami bertemu di bar ini beberapa bulan yang lalu. Kuhabiskan dalam sekali minum dan malamnya, aku bercinta dengan istri orang di pojokan Dolores lima kali.” Lalu dia kembali tertawa.

Saya tetap tidak menanggapi. Saya hanya berpikir, kalau benar seperti yang disebutkan lelaki asing itu, betapa mudah menyelesaikan masalah pernikahan saya. Suara lelaki asing itu perlahan tertelan oleh suara-suara lain di dalam bar yang semakin riuh. Dia terus meracau sampai pada akhirnya saya putuskan pergi dari bar itu setelah menenggak habis gelas mezcal terakhir saya.

Malam itu saya kembali pulang sebagai lelaki yang kalah.

Entah sudah berapa lama saya rutin mengunjungi bar kecil milik Jose. Setiap malam saya melihat wajah-wajah yang sama menyesaki bar itu. Mereka membunuh waktu di sana, meminum berbotol-botol mezcal, menyoraki seniorita si penari, dan meracau sepanjang malam seakan-akan mereka tidak mempunyai tempat untuk pulang. Akhir-akhir ini saya menyadari, saya juga bagian dari mereka.

“Amigos, istrimu puas di tempat tidur?”

Sudah beberapa kali dalam satu minggu, lelaki asing itu minum di sebelah saya. Hari ini dia tidak semabuk biasanya tapi baru saya sadari, mabuk atau tidak, dia sama kacaunya.

“Saya tidak menikah,” jawab saya.

Lelaki itu tertawa. Sedikit terpingkal. Saya terpaksa menatapnya dengan bingung. “Amigos, lalu cincin apa itu yang kau pakai itu? Hiasan untuk mengenang ibumu yang sudah mati?” Dia menangkap basah kebohongan saya.

“Istrimu pasti membencimu di tempat tidur.”

“Mengapa kau berpikir seperti itu?”

“Aku tahu.”

Saya perhatikan dia menuang habis mezcal dalam botol miliknya ke dalam gelas, termasuk cacing di dasar botol. Dicapitnya cacing mati itu. Dimasukkannya ke dalam mulutnya dan dikunyahnya. Ekspresi di wajah saya berubah. Tidak banyak lagi orang yang memakan cacing maguy zaman sekarang dan saya jijik pada orang yang melakukan itu.

Memuakkan. Sama memuakkannya seperti pernikahan saya. Sama memuakkannya seperti istri saya.

Perempuan itu. Beberapa bulan ini dia selalu memojokkan saya. Dia menuntut terlalu banyak dan mengeluh setiap saat. Apa yang saya berikan, dia tidak menyukainya dan apa yang saya lakukan tidak pernah membuatnya puas. Hanya makian yang kini kerap keluar dari mulut perempuan itu. Bermangkuk-mangkuk sup hambar terpaksa saya telan setiap hari dan seks-seks dingin yang saya dapatkan di banyak malam membuat saya merasa seperti sedang memerkosa istri sendiri.

Saya berani bertaruh, perempuan itu berharap saya ceraikan. Tapi tidak. Tidak akan saya ceraikan dia. Dia membuat saya menderita, maka akan saya biarkan dia menderita juga bersama saya.

“Aku juga menikah, Amigos. Delapan tahun tapi sudah lama aku tidak melihat istriku. Perempuan ini lari bersama laki-laki Spanyol dan dia membawa semua biji emasku. Perempuan memang begitu, jadi kau tidak perlu terlalu serius dengan mereka. Cukup nikmati semalam dan tinggalkan besok paginya, atau jadikan mereka kekasih gelapmu.”

Kalimat terakhir diucapkan lelaki itu dengan nada cabul sambil terkekeh, membuat saya semakin muak sekaligus sedih. Mungkin seperti lelaki itu lah nasib saya satu atau dua tahun lagi. Ditinggal lari istri saya, menjadi pemabuk di bar murahan dan bercinta dengan istri orang di pojokan Dolores.

Demi Tuhan, saya tidak berani membayangkan itu.

“Kau percaya Tuhan, Amigos?”

Lelaki asing itu bertanya lagi. Saya tidak menjawab. “Aku tidak,” katanya,” Tuhan, Kristus, dosa ... aku tidak percaya. Aku lebih percaya pada Mezcal.” Racauannya mulai lagi. Dia mengangkat gelas miliknya seraya menatap ke dalam gelas itu. “Mezcal selalu ada saat kubutuhkan. Kapan pun.”

Ekspresi wajahnya seperti orang yang tidak waras tapi kali ini saya setuju dengannya. Saya angkat juga gelas saya walau setengah hati. Lelaki itu menyeringai senang lalu untuk pertama kalinya kami bersulang entah untuk apa.

Mungkin untuk hidup saya dan gambaran masa depan yang menyedihkan yang tercermin dari lelaki di sebelah saya.

“Amigos!”

Pada satu malam di penghujung bulan, lelaki itu berbisik di telinga saya. “Kau tahu di mana aku bisa mendapatkan mezcal berisi kalajengking?”

Saya tahu tapi tidak berminat memberitahu. Saya jawab dengan dingin, “Tidak,” dan lelaki itu terlihat kecewa. Kedua alisnya berkerut, bibirnya melengkung ke bawah.

Dia merengek, “Besok aku bertemu dengan kekasih gelapku. Di pojokan Dolores. Aku butuh mezcal itu!”

Saya tidak peduli. Saya sama sekali tidak peduli. Sampai saya tahu siapa perempuan yang lelaki itu sebut sebagai kekasih gelapnya.

Di pojokan Dolores saya melihatnya keesokan harinya. Dia bercinta di dalam kegelapan sebuah gang sempit. Nyaris tidak terlihat tapi saya hapal suara seraknya. Suara kekasih gelap lelaki itu saya juga hapal. Istri saya.

Malam itu dia bercinta dengan istri saya. Saya yakin, bukan yang pertama kalinya. Mereka bercinta dengan panas. Desahan perempuan itu tidak pernah saya dengar jika saya yang melakukannya di atas tempat tidur kami. Teriakan istri saya begitu liar sampai membuat kepala saya mendidih karena amarah.

Maka, saya cari mezcal berisi kalajengking yang sangat lelaki itu inginkan. Saya cari di setiap toko minuman keras yang ada di Oaxaca. Sulit karena tidak banyak tapi saya menemukannya. Satu botol mezcal. Seekor kalajengking yang masih utuh mengendap di dasar botol minuman itu.

“Kau bawa sesuatu, Amigos?”

Malam itu, di bar tanpa nama yang biasa, saya begitu pintar menyembunyikan emosi saya. Saya keluarkan mezcal yang saya bawa untuknya. Saya letakkan di atas meja bar yang terbuat dari kayu tua yang nyaris lapuk. Dan saya biarkan dia meraih botol minuman itu.

“Scorpion!”

Lelaki itu berseru. Matanya berbinar senang sekaligus terkejut seraya menyeringai lebar. “Scorpion!” dia mengulangi kata itu sambil tangannya meraba permukaan botol yang dia genggam seperti tergila-gila.

“Terlambat beberapa hari tapi tidak mengapa. Aku akan menyimpannya sampai saat aku bertemu lagi dengan perempuan itu,” katanya.

Istri saya, maksudnya tentu.

Saya merapatkan rahang, menahan amarah yang nyaris meledak tapi saya tidak akan menggagalkan rencana sendiri. Maka alih-alih mengamuk, saya telan kemarahan saya. Bagaimana pun, saya sudah menang.

Dia menyimpan mezcal pemberian saya ke dalam saku jaketnya. Sempat dia ciumi tutup botol minuman itu dengan mesra seperti mencium perempuan. Dan untuk kesekian kalinya, saya jijik.

Saya tidak tahu kapan tepatnya dia meminum mezcal itu. Tapi satu malam, saya tidak melihatnya di dalam bar kecil milik Jose. Bukan hanya sekali, tetapi selamanya. Lelaki itu tidak muncul lagi. Tidak sekali pun dan setelah beberapa bulan, saya yakin, saya benar-benar memenangkan pertarungan kami. Pertarungan yang dia tidak sadari saya mulai. Dia tidak tahu dan tidak saya biarkan dia tahu,

saya memasukkan racun ke dalam botol mezcal itu.

Hari ini Oktober tanggal 29.

Sebuah ofrenda dihias di pojokan bar kecil milik Jose. Saya menuang dua gelas mezcal. Satu untuk saya dan satu untuk lelaki yang mati karena sebotol mezcal kalajengking. Entah sejak kapan saya mulai memperingati kematian lelaki itu. Mungkin sejak saya melihat dirinya di dalam diri saya, saat istri saya lari dengan lelaki lain dan membawa semua biji emas simpanan saya.

Saya angkat gelas saya. Pemabuk-pemabuk Oaxaca sering berkata, “Untuk setiap nasib buruk; untuk semua nasib baik, tuang satu gelas lagi!”


Jakarta, 14 Februari 2008

2 comments:

  1. Mezcal. Aku suka cerpen ini, mungkin karena aku memang pemabuk dan sebentar lagi akan patah hati. But how can you avoid the bottles when they give you pleasure? Ah, mbuhlah, ra weruh.

    ReplyDelete
  2. jangan mabuk terus lah :)

    ReplyDelete