Lilia, hari ini Oktober tanggal 28.
Aku menunggumu di beranda. Sendiri menantang udara dingin dalam rangkulan kursi rotan, hanya ditemani sebotol mezcal dan secarik kertas menguning. Di dalam rumah, sudah kusiapkan sebuah ofrenda untukmu. Kuhias dengan berikat-ikat bunga dan kuterangi dengan nyala lilin. Kuletakkan fotomu di atasnya, di antara kumpulan coklat berbentuk calavera dan permen aneka warna.
“Pablo ... Pablo ...”
Lilia.
“Kemari, Pablo ...”
Suaramu seperti terdengar di antara riuh musik parade tapi aku tahu itu hanya ada di dalam pikiranku. Sebentuk memori yang blur. Aku melihatmu, gadis kecil berambut ikal. Kau berlari di depanku menunjukkan arah. Kakimu telanjang menapak tanah tandus.
Bukankah hari yang sama, Lilia? saat dulu Kau mengajakku pergi melihat rumah Don Ricardo. Kita menyelinap masuk berdua, menghampiri bangunan bergaya spanyol yang berukuran lebih kecil dari bangunan satu lagi yang ada di dalam halaman tersebut.
Bangunan itu berukuran tujuh kali langkah terlebarku. Dindingnya dicat kuning, atapnya datar dan pintunya melengkung di bagian atas. Pintu itu tertutup tapi jendela di sebelahnya terbuka. Kepalamu melongok ke dalam lewat bibir jendela dan aku menirukanmu.
Di tengah ruangan, aku melihat sebuah ofrenda.
“Don Ricardo merayakan Dia de Los Muertos pada hari pertama,” kau berbisik padaku.
“Kenapa memangnya?”
“Mereka yang diperingati pada hari pertama, mati karena bunuh diri,” katamu, “dan kau lihat foto siapa yang ada di atas ofrenda? Dona Angela. Istri Don Ricardo.”
Mataku terbelalak menatapmu. Mulutku menganga lebar. “Yang benar?”
Ya. Hari yang sama, Lilia. Dan aku memperingati kematianmu seperti Don Ricardo memperingati kematian istrinya. Karena itu aku membutuhkan sebotol mezcal di tanganku. Terlalu menyakitkan melewati malam ini dalam kejernihan.
“Pablo ... Pablo ... aku bertemu seseorang, Pablo.”
Siapa nama lelaki itu, Lilia? Aku tidak pernah dapat mengingatnya dengan jelas. Kaubilang, dia datang dari sebuah kota di pesisir timur dekat perbatasan Amerika. Memainkan musik bersama rombongan teman-temannya sesama musisi. Dia menyewa rumah di sebelah rumahmu. Kehadirannya sangat mengganggu, membuatku tidak bisa tidur nyaris setiap malam.
Dulu kita selalu bersama. Rumahmu dan rumahku bersebelahan. Ibu-ibu kita saling berbagi masakan dan ayah-ayah kita merokok berdua di beranda setiap sore. Kita lahir di rumah sakit yang sama, belajar di sekolah yang sama, pergi ke dokter gigi yang sama. Usiamu satu tahun lebih tua dariku. Tubuhmu lebih tinggi dan kau seorang pemberani. Kemana kau pergi, aku mengikutimu.
Tapi lalu dia datang merebutmu.
“Seperti apakah cinta itu?”
Kita duduk di halaman belakang rumah, berdua mengupas satu keranjang kentang yang kurus dan kering. Wajahmu tertunduk. Warna pipimu serupa tomat yang masak di kebun. “Seperti pagi,” katamu.
“Seperti pagi?”
Kau mengangguk. “Tapi kadang seperti hujan, seperti badai.”
Aku menyimakmu baik-baik. Sosokmu yang kala itu berada di hadapanku tidak lagi kukenali. Lilia-ku tidak pernah tersenyum seperti caramu tersenyum. Tidak pernah juga dia menatap seperti caramu menatap. Lilia-ku tidak jatuh cinta pada lelaki pemain musik dari pesisir timur.
Aku menginginkan Lilia-ku kembali. Kutemui kedua orang tuamu. Kukatakan pada mereka perihal lelaki itu dan mereka setuju denganku. Tidak sebaiknya kau berdekatan dengan lelaki pemain musik dari pesisir timur. Lalu kau dikurung di dalam rumah. Tidak ada yang boleh menemuimu. Saat pergi keluar, kau dikawal.
Tapi dasar lelaki sialan! Aku tidak tahu bagaimana cara dia menculikmu. Kau menghilang! Dia membawamu lari. Kami mencarimu ke setiap sudut kota, ke kota sebelah, ke pesisir timur, ke perbatasan Amerika, tetapi kau tidak kami temukan. Lelaki itu membawamu lenyap dari permukaan bumi. Dia juga membawa pergi Lilia-ku.
“Pablo ... Kau Pablo, kan?”
Sampai suatu hari kita bertemu di Amerika, di sebuah kota dekat perbatasan. Kau hidup sendiri di dalam sebuah rumah kecil yang salah satu dindingnya nyaris rubuh. Tubuhmu kurus, kulitmu kusam dan perutmu buncit.
“Dia melihat anak di perutku dan pergi tidak kembali,” kau berkata dengan tenang. Terlalu tenang. Aku bertanya-tanya, apakah karena keberanianmu atau kau sudah lelah bersedih? Lalu kaubilang, kau ingin membunuh anak itu. Kau meminta uang dariku untuk ke dokter di sudut kota. Dokter itu akan membantumu membuang sisa penderitaanmu.
Kau bukan Lilia-ku. Aku benci melihat dirimu yang asing. Aku muak! Maka kutinggalkan dirimu tetap sendiri di kota itu. Kuberi kau uang secukupnya seperti yang kau minta. Terserah akan kau pakai untuk apa. Perihal anak di dalam perutmu, aku tidak peduli.
Kukatakan pada kedua orang tuamu, aku tidak pernah menemukan anak mereka. Lalu mereka bersedih selama sebulan penuh. Mereka membuang semua fotomu. Mereka membakar pakaian-pakaianmu. Dan mereka mencoba melupakanmu.
Tapi aku tidak bisa melupakan Lilia-ku. Kutunggu kau kembali setiap hari di halaman belakang rumah. Kadang kutunggu kau di beranda depan. Kadang kutunggu kau di perbatasan kota. Lalu datang sepucuk surat perpisahan menggantikan kepulanganmu. Dalam isinya kau menulis:
‘Aku pergi saat surat ini sampai di tanganmu, Pablo. Kutinggalkan hidup dan tidak ingin kembali lagi. Uang yang kau berikan padaku kupakai untuk membeli obat. Jumlahnya sangat banyak.’
Oh, Lilia. Aku bersedih bertahun-tahun setelah surat itu datang. Ribuan hari kulalui dengan penyesalan. Berbotol-botol mezcal kutegak setiap hari. Aku menyimpan fotomu. Aku memeluk pakaianmu yang dulu tertinggal di rumahku. Aku membaca suratmu setiap hari.
Dan aku merayakan kematianmu setiap hari pertama Dia de Los Muertos.
Hari ini, aku merasa tidak sanggup bertahan lebih lama lagi. Aku terlalu merindukanmu, Lilia. Dalam botol mezcal yang kuminum hari ini, kumasukkan bubuk racun. Kata orang, benda itu membunuh dengan perlahan, tanpa rasa sakit.
“Pablo ... Pablo ... kapan kau tiba?”
Sebentar lagi, Lilia. Tubuhku sudah mati rasa.
“Aku menunggumu, Pablo.”
Tidak lama lagi. Nafasku nyaris terputus tapi mataku masih bisa melihat walau buram, Lilia. Aku melihat seseorang membuka pintu pagar rumahku. Rambutnya panjang dan dia mengenakan baju seperti baju yang sering kau kenakan.
“Pablo?” Dia memanggilku seperti kau sering memanggilku. “Ini aku, kau masih mengingatku?”
Siapa kau? Mengapa kau seperti Lilia-ku?
Dia berlari kecil menghampiriku. Tangannya merangkul tubuhku yang sudah tidak mampu bergerak. Wajahnya begitu dekat. Wajahnya seperti wajahmu, Lilia. Sentuhannya sehangat sentuhanmu.
“Pablo. Aku pulang, Pablo.”
Apakah kau Lilia?
Tidak mungkin. Kau sudah mati. Kau mengirimiku surat. Kau bunuh diri meminum obat yang kaubeli dengan uang dariku. Dia bukan Lilia-ku. Ya kan, Lilia?
Jakarta, 13 Februari 2008
Notes:
Dia de Los Muertos: hari perayaan di Mexico untuk merayakan mereka yang mati. berlangsung selama empat hari.
Mezcal: minuman alkohol khas Mexico
Ofrenda: meja altar
Calavera: tengkorak tiruan, terbuat dari plastik atau coklat
Marigold: nama bunga
Mmm...kembali ke gaya lama ya win?
ReplyDeleteBagus cerpennya, cuma agak terganggu dengan kalimat "Kita menyelinap masuk berdua, menghampiri bangunan bergaya spanyol yang berukuran lebih kecil dari bangunan satu lagi yang ada di dalam halaman tersebut." Kok rasanya kurang smooth gitu...
iyak nih, Fann :D
ReplyDeleteskillkuw belum nyanggup bikin gaya beda sehari satu ... dududuuu, kuatir balik terjebak ke masa laluw.
thanks yaw komennya ^^
kamu mau nyaingi mario puzo ya wind? kayaknya, asal dapat penerbit, orang-orang harus siap-siap melupakan puzo. :D
ReplyDeletengga mau nyaingin siapa-siapa, mas, secara blum sanggup juga :D
ReplyDeletecerpen di atas pas kebetulan aja ada ide nulis tema ini gara-gara baca tentang festival Dia de Los Muertos
Huaaaaa...keren banget Mba... :'D You're the only Indonesian female author than amazes me this much :'D Can't wait for your next novels!
ReplyDelete