Sejak mengandung Balerina, tentunya setelah triwulan pertama yang mengerikan berlalu, saya rajin memantengi Asian Food Channel. Saya memang suka acara-acara kuliner, terutama yang berhubungan dengan masak-memasak dan bukannya sekadar icip-icip masakan orang. Program yang tidak pernah saya lewatkan adalah Restaurant Makeover, barangkali karena saya seorang arsitek.
Pada setiap episode Restaurant Makeover, ada restauran yang nyaris tutup, pemilik dan koki yang butuh bantuan, perancang interior (atau terkadang arsitek), kontraktor, dan koki ternama. Selain kontraktor, peran-peran yang lain selalu berganti orang.
Misi acara ini adalah menyelamatkan restoran tersebut atas permintaan si pemilik dengan cara mengubah fisik bangunan dan menu. Tentu saja, ada budget (biasanya sekitar USD 50.000) dan deadline (tujuh hari kerja). Si arsitek akan membuat rancangan interior baru yang kemudian direalisasikan oleh kontraktor, sementara si koki ahli mengajari koki restoran sekaligus membantu menciptakan menu-menu baru.
Proses perubahan selalu diawali dengan penghancuran kondisi eksisting. Saya selalu tertawa setiap melihat ekspresi si kontraktor ketika memalu dinding, merubuhkan langit-langit ruangan, atau mencabuti lantai kayu. Dia tampak sangat menikmati pekerjaannya. Barangkali dia vandalis. Pada momen ini, pemilik restoran sangat tidak disarankan berkunjung ke TKP. Ada juga yang nekad dan bisa dibayangkan reaksi sang pemilik ketika melihat restorannya dalam keadaan dipereteli.
Dalam seminggu itu, beberapa proyek berjalan lancar, sebagian mengalami sedikit masalah seperti over budget, conflict of interest antara arsitek dan koki, atau kekurangan pegawai konstruksi sehingga renovasi bisa jadi tidak selesai pada waktunya. Mungkin konflik-konflik inilah yang menarik, meski tidak lebay seperti kebanyakan realiti show yang sedang marak di Indonesia.
Kejadian paling lucu yang saya ingat betul adalah ketika di arsitek memutuskan untuk mencat ulang dinding luar restoran. Setelah dicat, sang pemilik gedung (rupanya pemilik restoran hanya menyewa tempat) datang mendadak, lalu berkata, "Maaf, saya sudah katakan dulu di kontrak: tidak boleh mengubah tampak muka bangunan. Tolong, dikembalikan seperti semula." Padahal, kondisi dinding luar bangunan semula adalah ekspos bata merah. Dan, ketika itu deadline hanya tinggal satu hari lagi.
Di dapur, masalah para koki tidak seberapa dibanding urusan renovasi fisik. Mereka hanya mereview menu yang ada, coret sana-sini (biasanya, semua menu akan dibuang), kemudian membuat menu baru yang lebih menarik, lebih fokus, mudah disiapkan, dan sesuai dengan imaji baru restoran. Agak tidak adil, memang.
Sebesar apa pun tantangan tim Restaurant Makeover, mereka hampir selalu mengalami akhir yang menyenangkan. Terkadang pemilik restoran tidak menyukai perubahan yang dibuat (ini juga faktor yang menarik, tidak semua proyek berhasil), namun lebih sering mereka puas dan seolah memiliki harapan baru, bahwa bisnis kuliner mereka belum berakhir.
*note: this post part of 30 Days of MEME
Pada setiap episode Restaurant Makeover, ada restauran yang nyaris tutup, pemilik dan koki yang butuh bantuan, perancang interior (atau terkadang arsitek), kontraktor, dan koki ternama. Selain kontraktor, peran-peran yang lain selalu berganti orang.
Misi acara ini adalah menyelamatkan restoran tersebut atas permintaan si pemilik dengan cara mengubah fisik bangunan dan menu. Tentu saja, ada budget (biasanya sekitar USD 50.000) dan deadline (tujuh hari kerja). Si arsitek akan membuat rancangan interior baru yang kemudian direalisasikan oleh kontraktor, sementara si koki ahli mengajari koki restoran sekaligus membantu menciptakan menu-menu baru.
Proses perubahan selalu diawali dengan penghancuran kondisi eksisting. Saya selalu tertawa setiap melihat ekspresi si kontraktor ketika memalu dinding, merubuhkan langit-langit ruangan, atau mencabuti lantai kayu. Dia tampak sangat menikmati pekerjaannya. Barangkali dia vandalis. Pada momen ini, pemilik restoran sangat tidak disarankan berkunjung ke TKP. Ada juga yang nekad dan bisa dibayangkan reaksi sang pemilik ketika melihat restorannya dalam keadaan dipereteli.
Dalam seminggu itu, beberapa proyek berjalan lancar, sebagian mengalami sedikit masalah seperti over budget, conflict of interest antara arsitek dan koki, atau kekurangan pegawai konstruksi sehingga renovasi bisa jadi tidak selesai pada waktunya. Mungkin konflik-konflik inilah yang menarik, meski tidak lebay seperti kebanyakan realiti show yang sedang marak di Indonesia.
Kejadian paling lucu yang saya ingat betul adalah ketika di arsitek memutuskan untuk mencat ulang dinding luar restoran. Setelah dicat, sang pemilik gedung (rupanya pemilik restoran hanya menyewa tempat) datang mendadak, lalu berkata, "Maaf, saya sudah katakan dulu di kontrak: tidak boleh mengubah tampak muka bangunan. Tolong, dikembalikan seperti semula." Padahal, kondisi dinding luar bangunan semula adalah ekspos bata merah. Dan, ketika itu deadline hanya tinggal satu hari lagi.
Di dapur, masalah para koki tidak seberapa dibanding urusan renovasi fisik. Mereka hanya mereview menu yang ada, coret sana-sini (biasanya, semua menu akan dibuang), kemudian membuat menu baru yang lebih menarik, lebih fokus, mudah disiapkan, dan sesuai dengan imaji baru restoran. Agak tidak adil, memang.
Sebesar apa pun tantangan tim Restaurant Makeover, mereka hampir selalu mengalami akhir yang menyenangkan. Terkadang pemilik restoran tidak menyukai perubahan yang dibuat (ini juga faktor yang menarik, tidak semua proyek berhasil), namun lebih sering mereka puas dan seolah memiliki harapan baru, bahwa bisnis kuliner mereka belum berakhir.
*note: this post part of 30 Days of MEME
No comments:
Post a Comment