.

.

Meet Samuel & Lana: Dua

Barangkali, hanya Lana yang masih bisa tersenyum lebar setelah melalui dua puluh enam jam penerbangan yang melelahkan. Penumpang-penumpang lain tampak kusut dan kehabisan tenaga. Dia justru berwajah cerah. Dia keluar dari pesawat sambil melambai ramah dan berterima kasih kepada pramugari yang memberinya ekstra anggur tadi. Langkahnya gegas dan mantap. Tubuhnya bergerak gesit mencari ruang kosong di antara keriuhan lobi bandara.

Dia terbiasa melakukan perjalanan. Dan, dia menyukainya. Hidupnya adalah perjalanan. Sejak usianya masih dua puluh tahun, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat-tempat asing di bagian lain dunia daripada di tempat tinggalnya. Dia bisa pergi berbulan-bulan ke India atau Burma, tetapi tidak pernah betah berlama-lama di Washington.

Baginya, Washington hanya pemberhentian sementara; peristirahatan yang akan dia datangi saat ingin meluruskan kaki, yang akan dia tinggalkan lagi begitu dirinya siap menempuh perjalanan baru.

Saat ini, dia sedang ingin meluruskan kaki. Yah, sekaligus menyelesaikan pekerjaan, membalas kebaikan institusi yang membiayai perjalanan dan hidupnya.

Dari Dulles International Airport, Lana naik bus ke pusat negara bagian, Distrik Columbia. Dia duduk di pojok belakang, di sisi jendela. Ini pukul sembilan pagi. Lalu lintas di sepanjang Dulles Toll Road agak semrawut. Mobil-mobil berbaris rapat di jalan aspal yang ujungnya tidak kelihatan, mengklakson, berebut jalur.

Kesemrawutan itu mengingatkannya pada Jakarta. Jakarta mengingatkannya kepada Samuel, lelaki yang dia tinggalkan secara diam-diam kemarin.

Lana tersenyum tanpa sadar. Dia tahu Samuel tidak akan senang ditinggalkan secara diam-diam. Bisa dibayangkan olehnya, pasti suasana hati lelaki itu buruk sepanjang hari. Barangkali, lelaki itu menggerutu tidak putus-putus, atau melampiaskan kekesalan kepada kru-krunya di lokasi syuting. Atau, barangkali juga, syuting dibatalkan. Dan, saat mereka bertemu lagi setengah atau satu tahun kemudian, lelaki itu akan mengungkit hal ini dan menyindirnya habis-habisan. Biasanya, Lana hanya akan tertawa-tawa.

Ah. Gawat, kan. Dia jadi rindu lagi kepada lelaki itu.

Sebenarnya, dia sendiri menyesal memesan tiket pulang terlalu cepat, apalagi setelah malam luar biasa yang mereka lalui bersama. Tetapi, apa boleh buat. Ada proses pascaproduksi film yang harus dia selesaikan di Washington dan atasannya di National Geographic Channel tidak bisa dirayu. Atasannya itu lelaki, tetapi tidak menyukai perempuan.

Setelah empat puluh lima menit, busnya tiba di Rosslyn, dekat pesisir Sungai Potomac yang membelah Washington. Lana menggiring kopernya dua ratus meter hingga ke stasiun metro terdekat. Dengan kereta bawah tanah, dia menyeberangi sungai tersebut, turun selang satu stasiun di Farragut, lalu kembali berjalan kaki–kali ini lebih jauh. Tujuannya adalah kantor pusat National Geographic. Letaknya satu kilometer lebih sedikit dari Gedung Putih, di utara.

Kantor pusat National Geographic tinggi-besar, terdiri dari dua bangunan yang dipisahkan oleh sebuah taman. Bangunan yang satu kotak memanjang, diselubungi tiang-tiang tipis putih. Yang satu lagi berundak-undak dan memiliki bentuk yang lebih rumit. Lana bekerja di bangunan yang berundak-undak itu, di lantai ketujuh belas. Dia bekerja di sana hampir selama enam tahun.

Di sana, di lobi bergaya modern yang bernuansa abu-abu gelap dan cokelat, dia disambut oleh rekannya, lelaki Amerika keturunan Tionghoa yang berbadan besar dan tegap, yang tampangnya lucu karena wajahnya lebar tetapi matanya kecil.

“Pat!”

Patrick, rekannya itu, atau biasa dipanggil Pat, tidak sengaja menyambut Lana. Kebetulan, Pat sedang mengantar pergi tamunya sewaktu Lana keluar dari salah satu elevator yang ada di lobi National Geographic Channel.

“Oh, hei. Kau benar-benar kembali.” Pat menghampiri Lana setelah tamunya pergi, sedikit terkejut.

Lana tertawa. “Tentu saja. Aku berkata kita akan bertemu di kantor hari ini, kan?”

“Yah, kau sering berkata begitu tapi baru muncul satu-dua minggu kemudian di kantor,” kata Pat. Lelaki itu membungkuk untuk mengambil koper dan tas kamera Lana. Dia selalu berbaik hati membawakan barang-barang perempuan.

Mereka memasuki kantor. Dalam sebuah ruangan yang sangat luas, puluhan kubikel setinggi dada berbaris rapi membentuk kolom-kolom memanjang. “Bagaimana Kyoto pada musim semi?” Di antara dering telepon dan perbincangan yang meramaikan kubikel-kubikel itu, Pat bertanya.

“Indah,” jawab Lana, “orang-orang Jepang menjaga tradisi mereka dengan baik. Dan, syuting berjalan lancar–walau tanpa kau.”

“Aku ingin saja ikut denganmu ke Kyoto, tapi perbaikan film Bhangarh membuatku gila. Lalu, bagaimana Jakarta?”

“Hem. Kau tahu. Jakarta akan selalu jadi Jakarta. Berantakan.”

“Tentu. Dan, Samuel? Bagaimana kabar lelaki kesayanganmu itu?”

Lana menatap Pat. Kini, dia yang terkejut.

Pat balas menatap sambil menaikkan alisnya. “Aku tahu kau ke Jakarta bukan untuk menemui ibumu. Tiga tahun aku kerja bersamamu, Bos. Aku dan kameraku menemanimu ke Gharapuri. Siapa yang mau kau bohongi? Jadi, apa malam kalian menyenangkan?”

Dia tidak mendapat jawaban. Lana hanya mengedikkan bahu dan tersenyum penuh rahasia. Perempuan itu mengambil kembali koper dan tas kameranya. “Aku ingin mandi dan sarapan. Apa kau bisa membelikan aku roti tuna yang biasa?”

“Roti tuna yang biasa. Oke.” Pat mengangguk. “Tapi pembicaraan ini belum selesai. Kau ingat proposal kita tentang film dokumenter Flores?”

“Maksudmu, proposal yang kita ajukan setahun lalu dan tidak juga disetujui entah karena alasan apa?”

“Ya. Proposal yang itu. Mereka menyetujuinya kemarin.”

Lana ternganga mendengar berita bagus tersebut. Dia ingin bertanya macam-macam untuk mendengar lebih banyak lagi, tetapi Pat buru-buru mencegahnya bicara dengan mengacungkan telunjuk.

“Detailnya kita bahas nanti, setelah kau mandi dan aku membeli roti tuna,” kata Pat.

*

Tentu saja, Lana mandi cepat-cepat. Dia tidak sabar membahas detail proposalnya yang disetujui oleh National Geographic Channel. Ini hal besar baginya. Dia telah menanti-nantikan ini selama satu tahun. Tetapi, seakan-akan Pat membeli roti tuna di negara bagian Amerika yang lain. Rekannya itu pergi lama sekali. Lana menunggu di kubikelnya hingga bosan, dengan rambut basah yang tergerai dan perut kosong.

Kubikelnya sesak. Bukan karena tidak cukup luas, melainkan karena terlalu banyak barang di dalamnya. Sisa-sisa perjalanan yang tidak sempat dirapikan atau lupa dibuang. Rak penuh naskah dan storyboard film. Sudut-sudut dijejali kotak-kotak kardus. Dinding-dinding dipenuhi peta, foto, notes, dan benda-benda lain seperti tiket pesawat atau karcis kereta beberapa tahun silam.

Dalam kebosanan, Lana menyalakan laptop. Dia menemukan puluhan surel baru, atau lebih tepatnya: puluhan surel tidak terbaca yang telantar. Dia memang tidak terlalu rajin memeriksa kotak surat. Sebagian besar di antaranya adalah tagihan dan pemberitahuan yang berhubungan dengan pekerjaannya, tetapi dua yang teratas berasal dari Samuel.

Dua surel itu langsung menarik perhatiannya. Ini tidak biasanya terjadi. Samuel jarang mengiriminya surel, bahkan hampir tidak pernah. Yang sudah-sudah, setelah dia dan lelaki itu berpisah, mereka tidak bertukar kabar lewat telepon maupun media komunikasi lainnya. Itu perjanjian yang mereka sepakati bersama. Itu cara mereka mencegah terjalinnya ikatan. Jika sekarang Samuel mengiriminya surel, Lana berani bertaruh, ini pasti ada hubungannya dengan kepergiannya yang diam-diam kemarin.

Lekas diperiksanya surel-surel itu. Surel pertama berbunyi seperti ini:

Bagus benar caramu berterima kasih. Kau mempelajarinya di Kyoto? Kalau kau mengira bisa lolos dari ini, kau keliru. Aku tidak pernah melupakan kesalahan seseorang.

Tetapi, surel kedua jauh berbeda.

Demi Tuhan, kau benar-benar menjengkelkan. Aku gila karena merindukanmu.

Lana tertawa. Dia geli bukan main hingga sudut-sudut matanya basah. Gelaknya lepas begitu saja, tidak tertahan. Beberapa kru National Geographic Channel yang melewati kubikelnya menoleh kepadanya sambil mengernyit. Bahkan, Pat terbingung-bingung saat memergokinya.

“Apa yang kau tertawakan?” tanya Pat. Lelaki itu merapikan benda-benda yang terserak tidak beraturan di meja Lana, lalu meletakkan bungkusan kertas cokelat dan dua kopi panas dalam gelas sekali pakai.

Lana menggeleng. “Cuma membaca beberapa surel.” Dia meredupkan layar laptopnya. Di bibirnya, masih tertinggal sedikit jejak tawa.

Pat mengangguk-angguk meskipun sepasang matanya yang kecil masih menyiratkan keingintahuan. Dia mengambil tempat duduk di hadapan Lana. Dikeluarkannya roti tuna dari bungkusan kertas cokelat yang dia bawakan untuk perempuan itu. “Jose sedang pergi, jadi anak lelakinya yang jaga kedai hari ini. Kerjanya lambat sekali. Antreannya sampai ke jalan.”

“Kenapa kau tidak meneleponku? Aku bisa pesan makanan lain.”

“Ya? Apa ponselmu menyala?”

“Hem. Tidak.” Lana terkekeh.

“Jadi, tentang proposal kita yang disetujui–” Pat menyeruput kopinya. “–Itu akan jadi proyek berikutnya setelah Kyoto. Bilbao batal. Ada kekacauan di tim Eropa. Sebagai gantinya, kita ke Flores.”

“Kapan?” tanya Lana. Mulutnya penuh. Dia seperti bergumam.

“Kapan saja kau siap.”

“Aku siap. Kau yang sedang sibuk dengan perbaikan film Bhangarh.”

Ekspresi di wajah Pat berubah muram. Pat mendesah lesu. “Ya. Film sialan. Hantu-hantu Bhangarh merusak lensaku.” Lelaki itu menyeruput kopinya lagi.

Lana tertawa, lalu diam untuk berpikir. Dia meletakkan makanannya dan menatap Pat. Tubuhnya dia condongkan sedikit ke arah lelaki itu. “Pat, menurutmu, apa kita bisa melakukan sebagian proses praproduksi dan pascaproduksi di Jakarta?”

“Kenapa?” Pat balas menatap Lana dengan curiga. “Supaya kau bisa menemui Samuel?” sindirnya.

Dituduh seperti itu, Lana malah kembali tertawa. “Kau ingat saat kita ke Gharapuri? Kita melewatkan sesuatu dan baru sadar setelah tiba di Washington. Itu kacau, Pat. Aku tidak mau itu terulang,” katanya, “dan, ya, supaya aku bisa menemui Samuel.” Di akhir perkataannya, dia tersenyum nakal.

Lawan bicaranya menggeleng-geleng. “Kau bosnya. Terserah kau saja.” Lelaki itu mengedikkan bahu dan mengangkat tangan ke udara. “Aku jadi penasaran dengan Tuan Samuel Hardi ini. Apa menariknya dia sampai kau bolak-balik ke Jakarta setiap kali ada kesempatan?”

“Oh, dia sangat menarik. Kalau kau perempuan, pasti kau juga tertarik kepadanya.”

“Masa? Kalau kau begitu tertarik kepadanya, kenapa tidak memintanya menikahimu?”

“Astaga, Pat.” Lana meringis tiba-tiba. “Jangan menyebut kata itu di depanku.”

“Kata apa? ‘Menikah’?”

“Ya. Itu.”

“Lana, saat kita menginginkan seseorang, kita menikah dengannya. Itu yang biasanya terjadi.”

“Aku tidak.”

Pat mengerutkan dahi. Dia lahir di keluarga Tionghoa yang kuno dan kolot. Oleh orangtuanya, dia dibesarkan dengan nilai-nilai yang menjunjung tinggi perjanjian antara lelaki dan perempuan. Dia percaya bahwa setiap hubungan harus digiring ke hadapan pendeta dan disahkan. “Lalu, apa kau akan membiarkan hubunganmu dengan lelaki itu seperti ini selamanya?” tanyanya.

“Ada masalah dengan itu?” Lana membalas acuh tidak acuh sambil melanjutkan sarapannya.

“Apa kau sadar seperti apa hubungan kalian? Hubungan kalian tidak jelas. Kalian tidak menjalin apa-apa.”

“Itu intinya, Pat. Kami tidak sedang menjalin apa-apa. Dan, aku menyukai hubungan kami yang seperti ini. Aku tidak ingin terikat kepada lelaki.”

“Aneh,” kata Pat, “tunanganku setiap hari bertanya kapan kami akan menikah. Kau malah menolak menikah.” Dia tersenyum masam.

Lana ikut tersenyum masam. “Tunanganmu tidak membenci pernikahan seperti aku.”

“Kenapa kau membenci pernikahan?”

“Pernikahan tidak adil bagi perempuan.”

“Itu tidak benar.”

“Kau tahu itu benar. Menurutmu, berapa persen perempuan yang harus melepaskan pekerjaannya karena pernikahan? Kalian, para lelaki, tidak cuma memberi cincin. Pada saat bersamaan, kalian memberi peran ganda kepada perempuan, kepada kami.”

“Peran ganda?”

“Peran ganda. Kami bukan makhluk super. Kami tidak akan bisa menjalani dua peran. Ujung-ujungnya, kami akan memilih: pekerjaan atau pernikahan. Dan, seringnya, karena telanjur terikat, kami terpaksa memilih pernikahan. Katakan, bagian mana yang adil?”

Lagi, Pat mengerutkan dahi. Dia terdiam lama, mencari kata-kata untuk membalas, tetapi tidak kunjung menemukannya.

Lana menepuk bahu lelaki itu. “Apa kita sudah selesai? Kalau sudah, kau bisa kembali ke ruang editing untuk memperbaiki film Bhangarh. Lakukan itu, lalu kita bahas film Flores.”

Lelaki itu menurut. Tubuhnya yang besar dan tegap bangkit perlahan-lahan dari kursi di hadapan Lana, lalu pergi dengan langkah-langkah gontai yang mewakili kebingungannya.

*

Lana masih ingat.

Mereka bertemu tujuh tahun lalu di Prancis. Dia dan Samuel. Dia yang tertarik kepada lelaki itu terlebih dahulu, lewat sebuah film dokumenter tentang penari Jawa yang ditayangkan di Théâtre Lumière pada salah satu malam Festival de Cannes.

Dia masih ingat pula. Film itu membuatnya tidak sanggup beranjak dari tempat duduk, bahkan setelah pita seluloid di ruang proyektor tidak lagi berputar. Dia tinggal sendiri di ruang pertunjukan. Penonton-penonton lain telah keluar. Kedua tangannya saling meremas di pangkuannya. Wajahnya dibasahi air mata. Dan, dalam dadanya, berbagai emosi campur aduk.

Samuel Hardi.

Dia mendapatkan nama lelaki itu dari daftar acara festival. Internet bercerita lebih banyak kepadanya. Dan, dia cukup terkesan begitu tahu apa-apa saja yang telah diraih oleh lelaki itu. IDFA, Leipzig, Silver Docs, dan berbagai penghargaan internasional lainnya. Salah satunya diterima pada usia sembilan belas tahun. Pada usia dua puluh empat tahun, lelaki itu telah memiliki studio film sendiri. Benar-benar mengesankan.

Tetapi, sikap lelaki itu tidak kalah mengesankan. Seperti kebanyakan seniman genius yang kenyang dielu-elukan dunia, dia sangat percaya diri. Tidak hanya itu, dia luar biasa arogan. Lelaki itu tahu posisinya, juga posisi orang-orang lain, dan cara menegaskan hal tersebut. Sineas-sineas senior yang kalah berbakat darinya tidak menyukainya sama sekali. Perempuan-perempuan, sebaliknya, merubungnya seperti serangga yang menyerahkan diri secara sukarela pada api.

Wajar. Lelaki itu menarik. Samuel salah satu lelaki paling menarik yang dikenal Lana, bahkan.

Lelaki itu asli Indonesia–meskipun barangkali di keluarganya yang kaya ada sedikit darah Belanda karena kulitnya agak pucat dan garis-garis wajahnya tidak khas Jawa, Sumatera, atau Kalimantan. Dia tinggi untuk ukuran lelaki Asia dan tubuhnya terbentuk sempurna. Perempuan-perempuan pasti meleleh melihat barisan otot di perut lelaki itu. Dadanya bidang dan lengannya tampak kokoh.

Lana mencari lelaki itu pada malam terakhir Festival de Cannes. Mereka mengobrol sampai pagi di bar dekat Théâtre Lumière, lalu berpisah. Dia kembali ke New York. Lelaki itu ke Jakarta. Begitu saja.

Pertemuan mereka berikutnya terjadi beberapa bulan kemudian di Washington, di kantor pusat National Geographic. Lana berada di sana untuk wawancara kerja sementara Samuel sedang mengurus kontrak film. Pertemuan itulah yang mengawali segalanya.

Setelah wawancara kerjanya selesai, Lana mendapati Samuel menunggunya di luar bangunan, di taman. Lelaki itu mengajaknya makan siang. Mereka pergi ke kedai yang menjual roti tuna paling nikmat di Farragut. Lalu, makan siang itu berlanjut ke obrolan santai di museum. Obrolan santai berlanjut ke makan malam. Dan, makan malam–berkat beberapa gelas anggur dan ciuman di elevator–berlanjut ke tempat tidur.

Di tempat tidur, dalam kamar penginapannya yang kecil dan sederhana, Lana menunjukkan film-filmnya kepada Samuel. Lelaki lain akan memilih bercinta satu-dua kali lagi dengannya, tetapi Samuel tidak. Samuel menariknya ke pelukan, lalu mereka menonton dan membahas film-film itu semalaman. Lelaki itu mendengarkannya, menghargainya. Bagi Lana, ini sisi Samuel yang paling mengesankan.

Sejak itu, setiap kali ada kesempatan, dia akan menyempatkan diri menemui lelaki itu. Seringnya, dia yang ke Jakarta di sela-sela kesibukan syuting atau pada saat dia mengunjungi ibunya. Terkadang, Samuel yang mendatanginya. Yang mana pun itu, semua tanpa rencana. Sama halnya dengan hubungan mereka. Sama halnya dengan perasaannya.

Lana tidak pernah menyangka bahwa dia akan menyukai Samuel hingga sebesar ini. Tetapi, dia tidak boleh menyukai lelaki itu lebih besar lagi. Lelaki itu pemain yang mahir. Perempuan-perempuan silih berganti di sisinya. Lana tidak mau dibuat patah hati.

Barangkali, penyelamatnya selama ini adalah jarak geografi yang terbentang di antara mereka dan kenyataan bahwa dia dan Samuel sama-sama tidak menginginkan ikatan.

* * *

15 comments:

  1. ahhh.. menunggu novel ini nangkring di rak toko buku :)

    ReplyDelete
  2. yaaah~ terbitnya masih lama ya kak?
    aku tertarik banget sama karakternya Samuel sejak baca Montase.
    tipe2 bad boy gitu. hehe~
    ditunggu ya novel ini sm sequel London-nya.^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih. semoga semua lancar, jadi bisa terbit sesuai jadwal.

      Delete
  3. ditunggu semua novel coming soon-nya mbak. Nggak.Sabar.Banget :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe siaaap. yang satu segera masuk proses pracetak :)

      Delete
  4. Satu yg mana mbak? Klo request yg samuel dlu boleh?! Hehee tp janji yaa happy ending^^ *btw aku Dwian, salam kenal..*

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe jadwalnya nggak bisa ditukar. nanti aku akan posting teaser untuk yang segera terbit :)

      Delete
  5. Lana sama samuel sama2 suka tapi ga mau ada ikatan, TTM dong? eh btw nama kita mirip ya :)

    ReplyDelete
  6. masih lama yak terbitnya?
    udh gk sabar mau bacanya..hehe

    ReplyDelete
  7. Ini akan menjadi novel kedelapan kah, mbak?

    ReplyDelete
  8. Semoga tahun ini beneran terbit. Lancar selalu ya, Windry..

    ReplyDelete