.

.

Meet Kara & Kalle: Satu


Kali pertama aku melihatnya, perempuan itu berjalan ke arahku dengan air mata membasahi kedua pipinya.

Malam sudah sangat larut. Hari itu Selasa pertama Juli, aku ingat benar. Aku harus meninggalkan pertemuan bisnis di Bali agar bisa secepatnya pulang ke Jakarta. Pesawatku terlambat mendarat. Dari bandara, aku langsung ke rumah sakit.

Aku bertemu dengan perempuan itu di sana. Dia keluar dari ruang tunggu operasi. Sosoknya yang sangat ramping melewati pintu kaca. Langkahnya agak terhuyung. Tatapannya kosong.

Dia berjalan ke arahku, tetapi tidak melihatku. Perempuan itu menubrukku. Bahunya yang kecil melanggar dadaku. Aku lebih besar—karena aku lelaki—dan sepasang kakinya tidak menapak dengan benar. Dia pasti sudah jatuh kalau aku tidak menangkap lengannya.

“Hati-hati.” Aku berkata demikian kepadanya.

Perempuan itu tidak menjawab, tidak juga berpaling. Aku tidak yakin dia mendengarku. Kulitnya dingin dan berbau aneh: perpaduan logam dengan batu-batuan. Dia menegakkan tubuhnya perlahan-lahan, lalu kembali berjalan. Lengannya melepaskan diri dari genggamanku. Punggungnya menjauh bersama suara sepatunya yang diseret. Aku memperhatikannya ditelan lorong rumah sakit.

Untuk beberapa saat, aku masih bisa mencium bau logam dan batu-batuan. Itu yang membekas di benakku. Itu dan air mata di kedua pipinya. Lalu, untuk beberapa saat, aku melupakannya.

“Kalle.”

Namaku dipanggil dari dalam ruang tunggu operasi. Aku melihat adik Papa dan istrinya di balik pintu kaca. Aku masuk. Mereka memelukku bergantian. Adik Papa berusaha menahan tangis sementara istrinya sudah sesenggukan.

“Maaf, Nak. Kami minta maaf.”

Aku tahu jelas maksudnya. Operasi tidak berhasil. Mendadak, kakiku lemas. Aku melepas kacamataku dan menjatuhkan diri ke kursi di sudut. Tubuhku merunduk dan tanganku menutupi wajah. Aku berbisik, “Ya, Tuhan.” Dadaku luar biasa sakit sewaktu aku menarik napas.

Perempuan itu. Untuk beberapa saat, aku melupakannya. Sampai aku melihatnya lagi di pemakaman adikku.

*


Tidak satu hal pun terlihat muram pada pemakaman Eliot.

Langit luar biasa bersih. Biru tegas. Tanpa semburat putih, tanpa gumpalan kelabu. Nyaris seperti kolam cat. Matahari menyala kuat. Udara panas dan lembap. Tidak ada angin. Rumput dan tumbuhan tegak tidak bergerak. Pucuk-pucuknya yang licin berkilat.

Aku mendengar suara serangga, burung, sekop mencedok tanah, batu-batu kecil berjatuhan ke permukaan peti kayu, juga percakapan. Pelayat-pelayat di sekelilingku membicarakan Eliot.

Tidak satu hal pun terlihat muram, termasuk mereka. Mereka sangat siap menghadapi ini. Mereka tahu cepat atau lambat ini akan terjadi. Tidak ada kejutan. Ini bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, bukan kenyataan yang sulit diterima. Pelayat-pelayat itu, mereka telah melepaskan Eliot sejak lama, jauh sebelum ini.

Atau, lebih pas kalau kukatakan: kami.

Aku tahu umur Eliot tidak akan panjang. Dia lahir dengan kelainan jantung. Ada kebocoran di dinding antara dua katup. Itu mengurangi peredaran oksigen di tubuhnya. Eliot menjalani operasi pada usia tiga tahun, tetapi sepanjang hidup dia tetap lemah. Bahkan, beberapa tahun belakangan ini, kondisinya memburuk. Jika dia tidak memutuskan untuk menjalani operasi kedua kemarin, atau andai operasi itu berhasil, barangkali Eliot akan hidup lebih lama. Selama apa? Aku tidak yakin perbedaannya cukup berarti.

“Kau ingin melihatnya untuk kali terakhir?”

Om Ed bertanya kepadaku. Dia berdiri di tepi makam. Di dekat lelaki itu, dua orang penggali berhenti bekerja.

Aku mengangguk, membenarkan letak kacamataku, lalu maju beberapa langkah.

Peti Eliot putih agak kuning, berada di dasar lubang, setengahnya tertutup tanah merah. Aku memandangi peti itu dan pikiranku melayang ke pagi berkabut dua belas tahun lalu, saat aku masih tiga belas tahun dan Eliot baru sepuluh tahun, ketika orangtua kami dikuburkan.

Semua ini tidak terlalu asing bagiku. Aku pernah menghadapi semua ini. Iring-iringan yang melintasi lahan luas berumput. Kumpulan orang dalam pakaian berwarna gelap. Tatapan simpati. Ucapan duka. Peti di dasar lubang.

Hanya saja, dahulu, ada dua peti. Dan, ketika itu, aku tidak menghadapinya sendiri. Aku bersama Eliot. Kami bersebelahan di tepi makam. Dua anak lelaki yang berpegangan tangan. Eliot menangis tidak putus-putus. Aku berusaha kuat untuknya, mati-matian mencegah air mataku keluar. Pada akhirnya, aku tetap menangis. Tetapi, paling tidak, dahulu aku berbagi rasa kehilangan dengan Eliot.

Sekarang, aku sendiri. Berdiri di tepi makam seperti ini membuatku sadar, sekarang aku tidak memiliki seorang pun yang berhubungan darah denganku. Ya, aku merasa kehilangan. Di sisi lain, aku lega.

“Cukup, Kalle?”

Aku kembali mengangguk. Para penggali meneruskan tugas mereka. Perlahan-lahan, peti Eliot pun tertutup tanah merah sepenuhnya.

Kami meninggalkan Eliot setelah membacakan doa untuknya dan meletakkan bunga di nisannya. Kumpulan orang dalam pakaian gelap bergerak ke rumah duka yang letaknya berdekatan dengan lahan berumput tempat kami berada. Aku di tengah-tengah mereka.

Ketika itulah aku melihat perempuan itu lagi.

Dia bergerak berlawanan arah dengan yang lain. Gaunnya hitam, kusut, sedikit di atas lutut, dan terlalu besar di tubuhnya. Rambutnya tergerai berantakan, panjang, bergelombang, kecokelat-cokelatan terkena sinar matahari.

Seperti sebelumnya, langkahnya terhuyung, tatapannya kosong, dan air mata membasahi kedua pipinya. Dia berjongkok di sisi gundukan. Tangannya meremas tanah. Samar-samar, aku mendengarnya terisak. Tidak satu hal pun terlihat muram pada pemakaman Eliot kecuali perempuan itu.

Siapa dia?

Pertanyaan tersebut mengusikku hingga di rumah duka.

Dia tidak muncul di sana. Aku mencari-cari perempuan itu di antara kerabat jauh dan relasi bisnis yang bergantian menepuk bahuku, tetapi dia tidak ada.

“Kau sudah melalui banyak hal, ya, Nak. Pasti tidak mudah untukmu.” Lelaki berambut abu-abu seumuran Papa dan Mama—jika mereka masih hidup—menggenggam erat tanganku. Dia menatapku sambil menarik ujung bibirnya dengan masam. Katanya lagi, “Pertama orangtuamu. Sekarang adikmu. Kadang, kita tidak bisa memahami rencana Tuhan.”

Aku balas tersenyum kepadanya. “Terima kasih.” Lalu, aku membiarkan Om Ed membawa lelaki itu ke meja panjang tempat kami menyuguhkan makanan dan minuman.

Lelaki itu, aku tidak mengenalnya. Sama sekali. Barangkali, dia bekas relasi bisnis Papa. Dia bukan kerabat jauh. Aku tidak memiliki banyak saudara dari pihak Papa ataupun dari pihak Mama. Dan, aku punya ingatan yang baik.

Aku juga tidak mengenal pasangan muda yang menyapaku sebelum ini. Atau, lelaki bungkuk yang menarikku untuk memperlihatkan foto lama Eliot. Atau, anak-anak yang berlarian di ruang duduk—siapa yang membawa anak-anak menghadiri pemakaman? Atau, perempuan berwajah masam di sebelahku. Yah, aku tidak mengenal lebih dari setengah isi rumah duka.

“Kalle, Sayang.”

Setelah lelaki berambut abu-abu tadi, ada perempuan empat puluhan tahun bertubuh kurus dengan setumpuk kalung di lehernya mendekat kepadaku. Dia, aku kenal. Perempuan itu satu dari sedikit saudara yang kumiliki dan aku tidak menyukainya.

Dia memelukku memakai sepasang lengannya yang ringkih, yang menyerupai dahan pohon cemara pada musim kemarau. Jari-jarinya mengusap-usap punggungku. “Aku merasakan kesedihanmu, Kalle,” ucapnya.

Perempuan itu, dia selalu salah menyebut namaku. Dia memanggilku Kal-le. Seharusnya, dia memanggilku Kay. Ka yang tegas seperti bunyi burung gagak dan y yang samar seperti jika kita bertanya, “Eh?”

“Kasihan Eliot. Bagaimana dia pada saat-saat terakhir? Apa pesannya untukmu?” tanya perempuan itu.

Aku melepaskan diri dari perempuan itu, lalu mengambil jarak beberapa langkah. “Eliot tidak berpesan apa-apa,” kataku, “aku tidak bersama dengannya saat dia menjalani operasi. Sebenarnya, sudah berbulan-bulan kami tidak bertemu.”

Mata lawan bicaraku membesar. Perempuan itu terkejut. Pasti dia tidak mengharapkan jawaban demikian. Aku meninggalkannya setelah berbasa-basi menawarinya minuman. Dia menolak sambil memainkan kalungnya dengan kikuk.

Di belakangku, perempuan itu dan beberapa tamu lain melakukan keahlian mereka. “Bagaimana dia bisa tidak ada di sisi adiknya pada saat-saat terakhir?” Tetapi, aku tidak peduli. Aku mengambil segelas air, lalu menyelinap keluar dari rumah duka.

Udara di teras jauh lebih mudah dihirup. Di dalam tadi, aku sulit bernapas. Terlalu banyak orang, terlalu banyak kata-kata simpati, terlalu banyak perhatian yang tidak kubutuhkan.

Aku menyandarkan punggungku ke dinding, melepaskan kancing jas dan melonggarkan dasi, lalu meneguk minumanku. Pandanganku menyapu lahan berumput tempat kami menguburkan Eliot. Gundukan Eliot tampak kesepian, sendiri di hamparan hijau yang seakan-akan tidak berujung.

Ini permakaman baru. Tanah berbukit seluas lima ratus hektar yang menyerupai taman Eropa, dilengkapi bangunan-bangunan berbentuk kastel. Letaknya di Karawang. Aku berusaha mencarikan Eliot tempat di sisi Papa dan Mama di permakaman lama dekat rumah peninggalan orangtua kami di Jakarta, tetapi tidak menemukannya. Aku terlambat. Aku telah siap melepaskan Eliot sejak lama. Mengapa aku tidak memesankan makam untuknya sejak lama juga?

Sial. Yang barusan itu terdengar sangat dingin.

Aku meneguk minumanku lagi.

“Sekarang, dia satu-satunya yang tersisa di keluarganya, bukan?”

Di foyer, di balik dinding yang kujadikan sandaran, seseorang berkata seperti itu. Lelaki. Aku tidak bermaksud mencuri dengar. Suaranya yang berat dan serak melarikan diri lewat pintu yang terbuka lebar di dekatku.

Lelaki lain menimpali, “Ya. Entah, kita harus kasihan atau iri.” Yang kedua ini bersuara kecil. “Kita sama-sama tahu sebesar apa aset keluarganya. Saya tidak heran kalau dia diam-diam berharap adiknya meninggal di meja operasi.”

Gelasku membeku di udara. Aku tertegun. Rupanya, aku yang mereka bicarakan.

“Kabarnya, dia sendiri yang mengelola aset keluarganya.” Si suara berat menimpali balik.

“Baru tiga tahun ini. Dia bisa berbisnis. Lumayan untuk bocah seusianya.”

“Yah, dia sekolah di luar negeri.”

“Keponakan saya sekolah di luar negeri, tapi memenangi tender saja tidak bisa.”

Dua lelaki itu tertawa. Lalu, mereka ganti membahas pasar saham.

Aku tersenyum masam. Kuhabiskan minumanku. Setelah itu, aku menempelkan gelas yang telah kosong ke keningku dan terpejam.

Dua lelaki itu, mereka benar. Diam-diam, memang, sebagian dari diriku berharap Eliot tidak berhasil di meja operasi.

Mulutku melepaskan desahan dengan berat. Aku merasakan keringat menggelincir di leherku. Udara semakin panas. Matahari sedang tinggi-tingginya.

Saat membuka kembali mataku, aku melihat perempuan itu. Perempuan dengan gaun kusut yang terlalu besar di tubuhnya. Ah, bukan. Aku hanya melihat punggungnya. Punggungnya menjauh seperti ketika kami di rumah sakit. Dia menyusuri jalan setapak yang mengarahkannya ke gerbang.

Aku masih belum tahu siapa dia. Teman Eliot, barangkali. Tetapi, apa peduliku?

Perempuan itu hilang dari pandanganku tidak lama kemudian dan aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi.

Menjelang sore, tepat saat matahari mulai tergelincir, para pelayat meninggalkan rumah duka. Satu per satu, sambil kembali menepuk bahuku atau memelukku, mereka pamit.

Setelah melepas tamu terakhir kami, aku berkumpul bersama Om Ed dan Tante Emma di ruang duduk. Om Ed mengenyakkan diri di sofa dan menyulut sebatang rokok. Tante Emma mengumpulkan gelas kosong yang berserakan—meskipun ada pelayan yang akan melakukan itu nanti. Aku di sudut, menerima telepon dari rekan bisnisku.

Rekanku bertanya, bagaimana pemakaman Eliot. Aku menjawab sekadarnya, “Lancar,” lalu balik bertanya mengenai hasil rapat yang tidak bisa kuhadiri.
“Rapat? Astaga, Kalle, lupakan rapat,” kata rekanku, “ini saat yang penting bagimu untuk menghabiskan waktu berdua dengan Eliot.”

Tetapi, Eliot sudah meninggal.

“Pokoknya, tenang. Semua terkendali.” Lalu, rekanku menyudahi pembicaraan kami.

Aku menyimpan ponselku di saku. Sambil berjalan ke tengah ruangan, aku melepas jas dan dasiku. Tante Emma sudah capai mengumpulkan gelas kosong. Perempuan itu duduk agak menjaga jarak dari Om Ed—dia tidak tahan terhadap asap rokok. Aku mengambil tempat di hadapan mereka.

“Semua baik-baik saja?” tanya Om Ed. Lelaki itu, dia memiliki banyak kemiripan dengan Papa—dengan Eliot juga. Wajah tirus, rambut ikal kemerah-merahan, mata besar yang cerah, tubuh yang sedikit bungkuk, dan caranya menatapku.

“Ya.” Aku menjawab. “Aku cuma mengecek situasi.”

“Tidak ada masalah di perusahaan, kan?”

“Oh, hentikan, kalian berdua.” Tante Emma menukas. Perempuan itu memelototi kami. Alisnya yang tipis bergerak naik. Kerudung hitam di kepalanya melorot ke bahu. Tampak rambutnya mulai memutih. Dia mengerutkan hidungnya. “Ini bukan momen yang pas untuk membahas perusahaan. Seharusnya, kita mengenang Eliot.”

“Sayang, aku tidak suka mengenang yang sedih-sedih.” Suaminya berdalih demikian. “Lagian, Eliot pasti tidak suka kita menangisi kepergiannya.”

“Ada lebih banyak kenangan yang menyenangkan daripada yang menyedihkan kalau menyangkut Eliot,” kata Tante Emma, “sepanjang hidupnya, anak itu tidak pernah kehilangan semangat.”

Om Ed tersenyum. Mendadak, mata lelaki itu diselimuti butir-butir haru. “Hem, ya, bahkan sampai saat-saat terakhir. Dia yakin operasinya akan berhasil. Yang dia katakan sebelum perawat membawanya pergi adalah dia ingin makan semangkuk besar pasta ragu saat pulang ke rumah.”

Butir-butir haru muncul juga di mata Tante Emma. Perempuan itu tertawa kecil seraya menengadahkan wajahnya. Jari-jarinya mengusap bagian atas kedua pipinya. Dia menarik napas panjang.

“Anak itu. Sampai sekarang, aku masih tidak mengerti kenapa dia ingin menjalani operasi. Sebelumnya, itu tidak pernah terlintas di pikirannya. Dia paham kondisinya. Umurnya tidak akan panjang dan operasi tidak bisa mengubah itu. Persentase keberhasilan yang dimilikinya sangat kecil, risikonya terlalu besar. Lalu tiba-tiba dia—”

Ucapan Tante Emma tidak berlanjut. Tante Emma menggigit bibir dan menggeleng. Om Ed meraih tangan perempuan itu.

Aku diam memperhatikan mereka. Barangkali, kepergian Eliot jauh lebih berat bagi Om Ed dan Tante Emma daripada bagiku. Mereka yang menemani Eliot selama ini. Tante Emma, terutama.

“Sayang sekali kau tidak punya banyak kesempatan untuk bersama dengannya.” Tante Emma tersenyum masam kepadaku.

Itu benar. Kebersamaanku dengan Eliot dalam beberapa tahun belakangan ini bisa dihitung dengan jari.

“Terima kasih untuk semua yang Om dan Tante lakukan demi Eliot.” Aku membalas demikian.

Om Ed mengangguk. “Kami sudah menganggap kalian seperti anak kami sendiri.”

“Tante ingin kau ikut ke Bogor, Kalle. Besok, atau sehari setelahnya, atau kapan pun kau ada waktu. Kita perlu memikirkan apa yang harus kita lakukan terhadap rumah adikmu.”

Ah. Rumah Eliot. Dokter menyarankan Eliot untuk tinggal di suburban yang tenang dan berudara bersih demi kesehatannya, maka dia membeli rumah di Bogor, jauh dari pusat kota.

“Segera setelah memeriksa jadwalku, aku akan mengabari Tante, kapan kita bisa ke Bogor.”

Tante Emma kelihatan tidak terlalu senang dengan jawabanku, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya menaikkan alis, lalu memakai kembali kerudungnya. Om Ed dan perempuan itu pergi setelah memastikan segala hal yang berhubungan dengan pemakaman Eliot beres.

Aku sendiri tetap di rumah duka untuk sekitar dua puluh menit kemudian. Aku tidak melakukan apa-apa dalam dua puluh menit yang berjalan luar biasa lambat tersebut, tidak sedikit pun beranjak dari tempat dudukku, bahkan nyaris tidak bergerak. Aku memikirkan Eliot.

Eliot, dia seperti sebongkah batu besar dalam karung lusuh yang harus kupanggul selama bertahun-tahun. Dan, kini karena dia sudah tidak ada, aku tidak lagi memiliki beban. Tetapi, herannya, aku masih bisa merasakan sakit yang muncul di dadaku sewaktu aku mengetahui operasi Eliot tidak berhasil.

*

Eliot lahir dua tahun setelah aku.

Aku tidak ingat jelas momen-momen kebersamaan kami yang pertama. Saat Papa dan Mama membawanya pulang dari rumah sakit, misalnya, atau saat dia diperlihatkan kepadaku—saat itu, aku masih terlalu kecil. Tetapi, aku ingat jelas, tidak butuh waktu lama bagiku untuk membencinya.

Eliot bayi yang lemah. Dia tidur hampir setiap waktu dalam keranjangnya. Suaranya juga lemah. Kalau dia berada di ruangan lain dan menangis, aku tidak akan mendengarnya. Lalu, Papa atau Mama akan memarahiku karena itu—karena aku tidak mendengar. Eliot menangis adalah masalah yang sangat serius.

Dia makhluk rapuh yang harus diperlakukan dengan sangat berhati-hati. Papa dan Mama melarangku menyentuhnya. Mereka takut aku melukainya. Aku hanya diperbolehkan melihatnya dari jauh. Saat Mama mendekapnya erat-erat dan Papa menemani mereka, aku berdiri di luar kamarnya, di lorong rumah kami, mengintip lewat sela-sela pintu yang terbuka.

Eliot, dia membuatku berada di luar lingkaran—keluarga yang semula hanya terdiri dari aku, Papa, dan Mama. Aku pernah berharap agar jatuh sakit juga seperti Eliot, agar bisa kembali ke dalam lingkaran. Sialnya, aku lahir dengan kondisi fisik tanpa cela. Jantungku—dan semua bagian tubuhku yang lain—baik-baik saja.

Keberadaanku memudar dan aku tidak bisa mencegah itu. Satu-satunya cara agar aku tidak kasatmata seutuhnya di hadapan Papa dan Mama adalah memakai topeng anak sempurna. Sebisa mungkin aku memenuhi harapan mereka.

Jadi, bagaimana aku bisa menyukai Eliot? Ketika Papa dan Mama pergi, aku semakin tidak menyukainya.

Itu bukan momen yang menyenangkan, ketika Papa dan Mama pergi. Usiaku tiga belas tahun. Eliot sepuluh tahun, hampir sebelas. Pagi itu, Mama mencium puncak kepala Eliot sebelum meninggalkan rumah. Papa menepuk bahuku. Sorenya, Om Ed datang dan serta merta memeluk kami. Dia berlutut di hadapan aku dan Eliot, menangis tanpa suara untuk waktu yang cukup lama, lalu berkata terbata-bata bahwa mobil Papa dan Mama bertabrakan dengan bus.

Eliot yang paling terpukul. Dia terus menyebut Papa dan Mama di tempat tidurnya sepanjang malam. Aku berjaga di sisinya sambil memangku telepon, siap menghubungi dokter apabila Eliot kenapa-kenapa. Aku tidak berani memejamkan mata sedetik pun.

Sebelumnya, Eliot bukan bebanku. Tiba-tiba, aku harus menanggungnya.
Aku juga harus menanggung perusahaan keluarga kami. Papa seorang pebisnis. Dia memiliki banyak properti, tersebar di banyak kota. Ketika dia dan Mama pergi, semua itu dilimpahkan kepadaku.

Aku belajar menjalankan perusahaan. Aku magang di bawah pengawasan Om Ed, datang ke ratusan seminar, sekolah bisnis, dan keluar negeri untuk mendapatkan magister. Seketika, hidupku berubah ke satu tujuan, dan hanya ke satu tujuan, bahkan sebelum aku tahu apa yang sesungguhnya ingin kulakukan dalam hidupku.

Sekarang pun aku tidak tahu apa yang sesungguhnya ingin kulakukan. Dalam hidupku, aku hanya tahu kewajiban. Aku terperangkap.

Aku, bukan Eliot.

*

Rumah Eliot tidak besar. Aku berdiri di depan pagar dan mengamati bangunan bergaya minimalis itu sambil menyembunyikan kedua tanganku di saku celana. Bangunan itu hanya terdiri dari satu lantai dan lebar mukanya tidak seberapa kalau dibandingkan dengan rumah keluarga kami.

Aku sudah lama tidak mengunjungi rumah Eliot, tetapi bangunan itu tidak berubah sama sekali. Semua dindingnya tetap putih. Halaman depannya kosong, hanya ditanami rumput. Terasnya sempit—satu set meja-kursi taman tidak muat di sana.

Sebuah sedan berhenti di belakang jipku. Tante Emma keluar dari kendaraan itu. Aku menyambutnya dengan sedikit membungkukkan tubuh. Dia meraih lenganku untuk berpegangan. Sepatunya agak terlalu tinggi.

“Tidak masuk?” tanya Tante Emma. “Pukul segini, biasanya, si Bibi sedang bersih-bersih di dalam.”

“Aku baru sampai,” sahutku.

Kami membuka pagar besi yang membatasi lahan, lalu melintasi pelataran. Bugenvil tumbuh rimbun tidak jauh dari teras. Bunga-bunga krem yang telah jatuh dan layu berserakan di tanah dan di lantai.

Di dalam rumah, seperti kata Tante Emma, ada perempuan empat puluhan tahun membersihkan ruang duduk. Perempuan itu buru-buru meletakkan sapunya begitu melihat kami. Dia menghampiri Tante Emma, lalu tiba-tiba menangis.

“Saya sulit percaya Eliot sudah tidak ada,” kata si Bibi, perempuan itu.
Tante Emma menepuk-nepuk punggung perempuan itu. “Kita semua merasa kehilangan, Bi.”

Si Bibi mengangguk-angguk. Tante Emma dan perempuan itu berjalan berangkulan ke tengah ruangan. Dengan suara lirih yang dibarengi isak, mereka membicarakan Eliot. Aku membiarkan mereka melepas kesedihan. Pandanganku berputar.

Ruang duduk Eliot lengang—nyaris kosong. Selain satu set sofa berlapis kulit, meja kopi, rak buku, dan beberapa peti rotan yang ditumpuk di sudut, tidak ada perabot lain. Dinding-dinding polos dan putih seperti dinding-dinding luar.¬ Lantai, di beberapa tempat, tertutup karpet cokelat pudar.

Dapur berada di sisi kananku, menjadi satu dengan ruang makan. Dari seberangku, cahaya masuk dengan leluasa melalui pintu kaca dan jendela besar yang memenuhi bidang. Di baliknya, aku melihat kolam renang dan sepetak tanah berumput.

Kolam itu sudah ada sejak Eliot membeli rumah ini, tetapi aku tidak tahu mengapa Eliot mempertahankannya. Dokter tidak memperbolehkan dia berenang. Lagi pula, dia pernah tenggelam. Lain hal jika aku yang membeli rumah ini.

“Kamar Eliot di sana, Kalle. Pintu pertama dari tempat kau berdiri.” Tante Emma memberi tahu. Dia menunjuk pintu pertama di sisi kiriku.

Aku menggerakkan kakiku ke sana. Kamar Eliot tidak dikunci. Aku menyelinap ke dalamnya dan kembali mendapati ruangan serbaputih yang nyaris kosong. Dipan, lemari pakaian, meja kerja kecil, dan—lagi-lagi—rak buku. Benar-benar, Eliot tidak memiliki banyak barang. Yah, dia tidak memerlukan banyak barang.

Rak bukunya tidak hanya menyimpan buku. Beberapa baris paling atas memang disesaki bacaan. Tetapi, baris-baris di bawah dijejali keranjang-keranjang yang berfungsi seperti laci dan bisa ditarik keluar. Aku menemukan banyak kaset dan keping video di salah satu keranjang. Di keranjang lain, ada sejumlah kamera.

Eliot senang merekam sejak kecil. Aku menghabiskan banyak waktu untuk berenang sementara Eliot setiap saat memegang kamera. Dia mengintai siapa saja, lalu memindahkan semua yang dilihatnya ke kaset. Aku tidak mengerti apa asyiknya merekam. Dan, entah apakah dia mahir, tetapi Eliot memang kuliah di institut seni. Tidak sampai selesai. Hanya tiga tahun. Dia tidak cukup kuat untuk menjalani tahun keempat. Dia tidak pernah mendapatkan gelar sarjananya. Yah, dia tidak memerlukan gelar sarjana.

Aku berpindah ke sisi lain kamar. Di hadapan meja kerja, aku tertegun. Mataku tertuju ke foto berbingkai putih yang diletakkan di permukaan perabot tersebut. Foto Eliot.

Rambutnya yang ikal dan kemerah-merahan tampak cerah terkena sinar matahari yang terang. Kulitnya pucat seperti biasa. Dia berada di suatu tempat—aku tidak tahu di mana. Di belakangnya, ada dinding biru yang pupus serta meja kayu panjang dengan puluhan gerabah yang berbaris dan bertumpuk-tumpuk. Kausnya putih, tetapi bebercak cokelat dan biru. Dia memeluk seorang perempuan yang rambutnya bergelombang dan digelung ke atas secara acak-acakan. Bibirnya di pipi perempuan itu, memberikan kecupan.

Perempuan itu, sosok dalam dekapan Eliot, menatap lurus ke arahku. Dia membelalak, terkejut. Pada saat yang bersamaan, wajahnya merona. Ada cat di hidungnya, juga di lehernya, di jari-jarinya yang meremas kaus Eliot, dan di beberapa bagian di kemejanya sendiri.

Dia, perempuan itu, aku melihatnya beberapa hari silam di rumah sakit dan di permakaman. Dia kekasih Eliot, rupanya.

“Jadi, bagaimana?”

Suara Tante Emma menyentakku. Aku lekas berpaling dari foto di meja kerja. Tante Emma berdiri di ambang pintu. “Apa yang akan kau lakukan terhadap rumah ini?” Dia memperjelas pertanyaannya.

“Hem.” Ya, apa yang akan kulakukan terhadap rumah ini? Sejujurnya, aku belum tahu. “Untuk sementara, mungkin, aku akan merapikan barang-barang Eliot. Akan kupikirkan setelah itu,” jawabku.

“Kalau begitu, sebaiknya, kau yang memegang kunci.” Tante Emma menyerahkan benda yang dimaksud. “Kau bisa mengosongkan rumah ini, lalu menjualnya.” Dia memberi usul demikian. Tetapi, lalu dia tampak menyesali perkataannya. Ekspresinya berubah muram. “Atau, kau bisa menyimpannya. Eliot sangat menyukai rumah ini.” Tante Emma memperhatikan ruang di sekeliling kami sambil mendesah.

Aku mengangguk. “Akan kupikirkan.”

Lalu, bunyi kucing merebut perhatian kami.

Aku menunduk. Sumber bunyi itu bersimpuh dekat kakiku. Kucing hitam besar yang memiliki garis putih di atas mata kirinya. Dia menjilat salah satu kaki depannya, lalu mengusap-usap kepalanya. Saat pandangan kami bertemu, dia kembali mengeong. Dahiku berkerut. “Eliot memelihara kucing?” tanyaku.

Tante Emma merunduk mengambil kucing itu. “Oh, ini kucing Kara. Dia sering kabur ke sini.”

“Kara?”

Tante Emma melirik foto di meja kerja. Aku langsung paham. “Kara tinggal di belakang,” kata Tante Emma.

Belakang?

“Rumah belakang.” Tangan Tante Emma menunjuk ke luar jendela kamar, ke rumah berdinding biru pupus yang membelakangi rumah Eliot. Tante Emma memanggil si Bibi. Dia memberi perintah kepada perempuan itu, “Kucing Kara menerobos pagar lagi. Tolong kembalikan. Lewat pintu depan.” Si Bibi pun membawa kucing Kara pergi.

Sebelum aku meninggalkan rumah Eliot, Tante Emma mengajakku ke beranda. Kami duduk bersebelahan di sepasang kursi besi yang dijajarkan di tepi kolam. Tante Emma meletakkan sebuah kotak sepatu di pangkuanku. “Titipan Eliot,” katanya, “untukmu.”

Aku ragu-ragu menerima—meminjam istilah Tante Emma—titipan Eliot. Aku tidak mengantisipasi hal semacam ini sama sekali. “Terima kasih.” Hanya itu yang kukatakan.

Kotak pemberian Eliot tidak berisi sepatu, melainkan kamera. Sewaktu aku diam di beranda memikirkan maksud Eliot, mataku menangkap sosok perempuan berambut acak-acakan di kejauhan, di balik pagar besi dan tanaman yang membatasi halaman rumah Eliot dengan halaman rumah berdinding biru di belakang.

Kara.

* * *


9 comments: