
Berikut headline sebuah koran nasional hari ini.
‘GARONG MENUNTUT SEORANG NENEK KE PENGADILAN.
Ibukota, Koran Nasional – Senin (3/2) siang, tim hukum yang mewakili Garong secara resmi mengajukan surat tuntutan ke pengadilan. Seorang nenek (63) terancam hukuman dua tahun penjara atau denda sebesar dua puluh lima juta rupiah karena melawan saat digarong. Nenek tersebut dianggap telah melakukan tindak kriminal dengan melanggar Kitab Undang-undang Penggarongan (KUHPe) pasal kesekian ayat kesekian tentang kebebasan menggarong.’
Headline itu membuat ibukota gempar. Setiap mulut membicarakannya di setiap sudut.
“Sudah baca berita hari ini? Berita Garong dan Nenek itu.”
“Kudengar pengadilannya akan diadakan minggu depan.”
“Kudengar juga, akan disiarkan lewat televisi.”
“Tentu saja. Ini peristiwa bersejarah.”
“Sangat bersejarah!”
“Seperti yang dulu pernah terjadi.”
“Oh ya! Dulu sekali.”
Dulu sekali pernah terjadi hal serupa, seorang tukang becak melawan saat digarong di tengah malam. Tukang becak itu memukul, menggigit dan memaki Garong. Garong tidak terima, maka dia menuntut Tukang Becak ke pengadilan dan sesuai Undang-undang yang berlaku, tukang becak itu dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Di dalam penjara dia dipukuli, digigit dan dimaki oleh penghuni-penghuni lain, sehingga saat dibebaskan, dia berubah menjadi orang yang sama sekali berbeda dan dia memutuskan untuk berganti profesi menjadi garong.
“Menurutmu, siapa yang akan menang?”
“Garong.”
“Benar. Bagaimanapun, garong adalah profesi yang legal.”
“Dan dihormati.”
“Sama legalnya seperti dokter.”
“Sama terhormatnya seperti mentri.”
“Nenek pasti kalah.”
“Nasibnya akan sama seperti Tukang Becak. Masuk penjara dan berubah menjadi garong saat keluar.”
Begitulah, penduduk-penduduk ibukota membicarakan berita itu tanpa henti sampai hari pengadilan tiba. Hari itu mereka datang berbondong-bondong menyesaki ruang pengadilan, membawa keluarga mereka: anak, saudara dan orang tua. Mereka duduk berdesak-desakan di deretan bangku-bangku panjang, siap dengan alat perekam di genggaman masing-masing.
Di ujung ruangan dekat meja hakim, seorang perempuan tua duduk sendiri di kursi terdakwa. Dialah nenek berusia enam puluh tiga tahun yang dituntut oleh Garong. Sudah pasti rambutnya putih, kulitnya keriput dan tubuh kurusnya hampir bungkuk, tetapi perempuan tua itu jauh dari kesan lemah. Dia terlihat kuat dan berani, matanya berapi-api. Pada media dia berkata, “Garong. Saya tidak takut. Saya yang dirugikan, jadi seharusnya saya yang menuntut!”
Garong tidak terlihat di dalam ruangan itu, hanya tim hukumnya yang berkerumun di meja penuntut sebagai perwakilan. Para audience di deretan bangku-bangku panjang mulai bergunjing. Mereka sibuk bertanya-tanya.
“Apakah Garong tidak hadir?”
“Tampaknya begitu.”
“Apakah dia takut?”
“Mana mungkin? Hukum berpihak padanya.”
“Lalu?”
“Garong orang penting. Orang penting punya banyak urusan di mana-mana.”
Maka sidang itu dimulai tanpa kehadiran Garong. Dipimpin oleh hakim senior bertubuh gempal, yang dulu pernah menangani kasus serupa dan menjebloskan seorang tukang becak ke dalam penjara.
“Saudara Garong menuntut Saudari Nenek atas hal-hal yang disebutkan sebagai berikut.” Salah seorang ahli hukum yang mewakili Garong berkata. “Mempermalukan, merendahkan dan menyakiti Garong, baik individu maupun profesi yang sama di seluruh negeri, dengan melakukan perlawanan, pemukulan, penendangan dan pencakaran saat digarong. Melalui sidang ini, Saudara Garong menuntut Nenek dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun, sesuai dengan KUHPe pasal kesekian ayat kesekian.”
“Bagaimana tanggapan Saudari Nenek?” tanya Hakim.
“Saya tidak bersalah.”
Audience ribut mendengar jawaban Nenek. Hakim mengetuk palu di tangannya untuk menenangkan mereka, lalu dia berkata pada tim hukum Garong.
“Silakan kalian bacakan kronologis kejadian sesuai dengan yang Saudara Garong laporkan melalui surat tuntutannya.”
Salah seorang tim hukum Garong berdiri.
“Rabu, 29 Januari, pukul 19.30 WIB. Saya melihat seorang Nenek hendak menyeberang jalan raya. Jalanan itu ramai dan Nenek kesulitan menyeberang. Saya menawarkan bantuan pada nenek itu dan dia menerima. Saya bantu dia menyeberang jalan raya lalu setelah kami tiba di sisi seberang, saya merampas tasnya.
Di luar dugaan saya, Nenek melawan saat tasnya saya rampas. Dia memanggil nama saya, Garong. Dia memukuli badan saya dengan tongkat yang dibawanya, menendang kaki saya dengan sepatu boot-nya dan mencakar wajah saya sampai berdarah.
Saya mengeluarkan telpon genggam saya lalu sebelum saya pergi meninggalkan nenek itu, saya foto dia dan saya laporkan dia ke polisi.
Sekian.
Sebagai catatan, dalam kamus bahasa kita, kegiatan merampas digolongkan sebagai salah satu bentuk menggarong.”
Audience kembali ribut. Sekali lagi, Hakim mengetuk palu untuk menenangkan mereka. Hakim itu mengangguk-anggukkan kepala. Dia mengucapkan terima kasih pada tim hukum Garong lalu beralih pada Nenek seraya bertanya.
“Saudari Nenek. Ada sanggahan atas laporan Saudara Garong?”
Nenek berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat. Dia menjawab, “Seingat saya, kejadiannya memang persis seperti itu.”
“Berarti Saudari Nenek mengaku telah melakukan tindak kriminal terhadap Saudara Garong?”
“Oh, tidak. Saya tidak bersalah, kok. Lha Saya yang digarong!”
Audience ribut lagi. Mereka mulai kesal melihat sikap Nenek. Berbagai komentar miring pun mereka lontarkan untuk menyudutkan Nenek.
“Nenek itu pasti tidak mengerti hukum. Sudah jelas bersalah, masih tidak mau mengaku juga.”
“Dia pantas masuk penjara.”
“Hukum saja dia, Bapak Hakim!”
“Jebloskan ke penjara!”
Hakim mengetuk palu keras-keras sambil berusaha menenangkan audience. “Tenang! Tenang!” seru Hakim dengan lantang. Audience mematuhi seruan Hakim. Suasana ribut itu mereda, ruangan pengadilan kembali tenang.
“Ehm.” Hakim mengambil alih. “Dalam laporan yang diajukan kepada saya, tim hukum Saudara Garong melampirkan sejumlah foto. Foto-foto ini menunjukkan bukti penganiayaan Saudari Nenek kepada Saudara Garong, yaitu bekas luka memar di kaki dan badan, serta bekas luka cakar di wajah Saudara Garong. Menurut tim dokter, bekas-bekas luka tersebut sesuai dengan tongkat kayu, sepatu boot dan kuku tangan Saudari Nenek.
Dan berdasarkan bukti-bukti ini, maka saya sebagai hakim memutuskan bahwa Saudari Nenek bersalah atas segala tuduhan yang diajukan oleh Saudara Garong. Sesuai hukum yang berlaku dan setelah mempertimbangkan usia terdakwa, saya menjatuhkan hukuman satu tahun penjara atau membayar denda sepuluh juta rupiah.
Sidang selesai. Sekian.”
Keputusan Hakim itu disambut dengan sorak-sorai. Semua orang bertepuk tangan dan saling berpelukan, merayakan penegakan hukum yang baru saja mereka saksikan sendiri secara langsung. Reporter-reporter media segera mengerubungi Nenek. Mereka menanyakan tanggapan perempuan tua itu terhadap keputusan Hakim.
“Hukum negara ini benar-benar absurd!” teriak Si Nenek. “Tidak masuk di akal dan kalian semua sudah gila!”
Teriakan itu tertelan oleh sorak-sorai yang bergemuruh di dalam ruang pengadilan. Dua orang petugas mengapit kedua lengan Nenek. Nenek diseret keluar ruangan dan dibawa pergi untuk dijebloskan ke dalam penjara.
Keesokan harinya dan untuk satu minggu berikutnya, media-media dipenuhi berita seputar pengadilan hari itu. Nenek terlalu miskin untuk membayar denda sepuluh juta rupiah, maka perempuan tua itu terpaksa terkurung selama satu tahun di dalam penjara. Entah apa yang dia alami di dalam sana, tetapi kabar burung berkata, Nenek berganti profesi menjadi garong setelah dia dibebaskan.
Dan satu hari, sebuah koran nasional memasang headline sebagai berikut.
‘SEORANG NENEK MENUNTUT GARONG KE PENGADILAN.
Ibukota, Koran Nasional – Jumat (5/4) pagi, Nenek (63), berprofesi sebagai garong, resmi mengajukan surat tuntutan ke pengadilan. Garong terancam hukuman lima tahun penjara atau denda sebesar lima puluh juta rupiah karena melawan saat digarong. Garong dianggap telah melakukan tindak kriminal dengan melanggar Kitab Undang-undang Penggarongan (KUHPe) pasal kesekian ayat kesekian tentang kebebasan menggarong.
Dalam tuntutannya, Nenek mengaku dimaki, dipukuli dan ditendang saat dia mencoba menggarong Garong. “Seorang garong sekaliber Garong seharusnya memahami betul KUHPe dengan baik. Garong telah membuat malu rekan-rekannya satu profesi di seluruh tanah air,” ungkap Ketua Komite Garong tingkat nasional saat diwawancara. “Kami berharap kejadian ini tidak terulang lagi.”’
Headline itu membuat ibukota gempar. Setiap mulut membicarakannya di setiap sudut.
“Dulu ini pernah terjadi.”
“Oh ya! Satu tahun yang lalu.”
“Menurutmu siapa yang akan menang?”
“Nenek.”
“Benar. Bagaimanapun, garong adalah profesi yang legal.”
“Dan dihormati.”
“Sama legalnya seperti dokter.”
“Sama terhormatnya seperti mentri.”
“Garong pasti kalah.”
“Nasibnya akan sama seperti Tukang Becak dan Nenek. Masuk penjara dan berubah menjadi garong saat keluar.”
“Lho! Tapi dia kan memang seorang garong?”
“Benar juga. Baru kali ini seorang garong dipenjara.”
“Ini peristiwa besar!”
“Peristiwa bersejarah!”
“Kita tidak boleh melewatkannya. Akan menjadi apa nanti Garong setelah keluar dari penjara?”
Jakarta, 3 Maret 2008
untuk Farah, Yana dan Intan
remembering our old days with Ionesco's piece
‘GARONG MENUNTUT SEORANG NENEK KE PENGADILAN.
Ibukota, Koran Nasional – Senin (3/2) siang, tim hukum yang mewakili Garong secara resmi mengajukan surat tuntutan ke pengadilan. Seorang nenek (63) terancam hukuman dua tahun penjara atau denda sebesar dua puluh lima juta rupiah karena melawan saat digarong. Nenek tersebut dianggap telah melakukan tindak kriminal dengan melanggar Kitab Undang-undang Penggarongan (KUHPe) pasal kesekian ayat kesekian tentang kebebasan menggarong.’
Headline itu membuat ibukota gempar. Setiap mulut membicarakannya di setiap sudut.
“Sudah baca berita hari ini? Berita Garong dan Nenek itu.”
“Kudengar pengadilannya akan diadakan minggu depan.”
“Kudengar juga, akan disiarkan lewat televisi.”
“Tentu saja. Ini peristiwa bersejarah.”
“Sangat bersejarah!”
“Seperti yang dulu pernah terjadi.”
“Oh ya! Dulu sekali.”
Dulu sekali pernah terjadi hal serupa, seorang tukang becak melawan saat digarong di tengah malam. Tukang becak itu memukul, menggigit dan memaki Garong. Garong tidak terima, maka dia menuntut Tukang Becak ke pengadilan dan sesuai Undang-undang yang berlaku, tukang becak itu dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Di dalam penjara dia dipukuli, digigit dan dimaki oleh penghuni-penghuni lain, sehingga saat dibebaskan, dia berubah menjadi orang yang sama sekali berbeda dan dia memutuskan untuk berganti profesi menjadi garong.
“Menurutmu, siapa yang akan menang?”
“Garong.”
“Benar. Bagaimanapun, garong adalah profesi yang legal.”
“Dan dihormati.”
“Sama legalnya seperti dokter.”
“Sama terhormatnya seperti mentri.”
“Nenek pasti kalah.”
“Nasibnya akan sama seperti Tukang Becak. Masuk penjara dan berubah menjadi garong saat keluar.”
Begitulah, penduduk-penduduk ibukota membicarakan berita itu tanpa henti sampai hari pengadilan tiba. Hari itu mereka datang berbondong-bondong menyesaki ruang pengadilan, membawa keluarga mereka: anak, saudara dan orang tua. Mereka duduk berdesak-desakan di deretan bangku-bangku panjang, siap dengan alat perekam di genggaman masing-masing.
Di ujung ruangan dekat meja hakim, seorang perempuan tua duduk sendiri di kursi terdakwa. Dialah nenek berusia enam puluh tiga tahun yang dituntut oleh Garong. Sudah pasti rambutnya putih, kulitnya keriput dan tubuh kurusnya hampir bungkuk, tetapi perempuan tua itu jauh dari kesan lemah. Dia terlihat kuat dan berani, matanya berapi-api. Pada media dia berkata, “Garong. Saya tidak takut. Saya yang dirugikan, jadi seharusnya saya yang menuntut!”
Garong tidak terlihat di dalam ruangan itu, hanya tim hukumnya yang berkerumun di meja penuntut sebagai perwakilan. Para audience di deretan bangku-bangku panjang mulai bergunjing. Mereka sibuk bertanya-tanya.
“Apakah Garong tidak hadir?”
“Tampaknya begitu.”
“Apakah dia takut?”
“Mana mungkin? Hukum berpihak padanya.”
“Lalu?”
“Garong orang penting. Orang penting punya banyak urusan di mana-mana.”
Maka sidang itu dimulai tanpa kehadiran Garong. Dipimpin oleh hakim senior bertubuh gempal, yang dulu pernah menangani kasus serupa dan menjebloskan seorang tukang becak ke dalam penjara.
“Saudara Garong menuntut Saudari Nenek atas hal-hal yang disebutkan sebagai berikut.” Salah seorang ahli hukum yang mewakili Garong berkata. “Mempermalukan, merendahkan dan menyakiti Garong, baik individu maupun profesi yang sama di seluruh negeri, dengan melakukan perlawanan, pemukulan, penendangan dan pencakaran saat digarong. Melalui sidang ini, Saudara Garong menuntut Nenek dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun, sesuai dengan KUHPe pasal kesekian ayat kesekian.”
“Bagaimana tanggapan Saudari Nenek?” tanya Hakim.
“Saya tidak bersalah.”
Audience ribut mendengar jawaban Nenek. Hakim mengetuk palu di tangannya untuk menenangkan mereka, lalu dia berkata pada tim hukum Garong.
“Silakan kalian bacakan kronologis kejadian sesuai dengan yang Saudara Garong laporkan melalui surat tuntutannya.”
Salah seorang tim hukum Garong berdiri.
“Rabu, 29 Januari, pukul 19.30 WIB. Saya melihat seorang Nenek hendak menyeberang jalan raya. Jalanan itu ramai dan Nenek kesulitan menyeberang. Saya menawarkan bantuan pada nenek itu dan dia menerima. Saya bantu dia menyeberang jalan raya lalu setelah kami tiba di sisi seberang, saya merampas tasnya.
Di luar dugaan saya, Nenek melawan saat tasnya saya rampas. Dia memanggil nama saya, Garong. Dia memukuli badan saya dengan tongkat yang dibawanya, menendang kaki saya dengan sepatu boot-nya dan mencakar wajah saya sampai berdarah.
Saya mengeluarkan telpon genggam saya lalu sebelum saya pergi meninggalkan nenek itu, saya foto dia dan saya laporkan dia ke polisi.
Sekian.
Sebagai catatan, dalam kamus bahasa kita, kegiatan merampas digolongkan sebagai salah satu bentuk menggarong.”
Audience kembali ribut. Sekali lagi, Hakim mengetuk palu untuk menenangkan mereka. Hakim itu mengangguk-anggukkan kepala. Dia mengucapkan terima kasih pada tim hukum Garong lalu beralih pada Nenek seraya bertanya.
“Saudari Nenek. Ada sanggahan atas laporan Saudara Garong?”
Nenek berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat. Dia menjawab, “Seingat saya, kejadiannya memang persis seperti itu.”
“Berarti Saudari Nenek mengaku telah melakukan tindak kriminal terhadap Saudara Garong?”
“Oh, tidak. Saya tidak bersalah, kok. Lha Saya yang digarong!”
Audience ribut lagi. Mereka mulai kesal melihat sikap Nenek. Berbagai komentar miring pun mereka lontarkan untuk menyudutkan Nenek.
“Nenek itu pasti tidak mengerti hukum. Sudah jelas bersalah, masih tidak mau mengaku juga.”
“Dia pantas masuk penjara.”
“Hukum saja dia, Bapak Hakim!”
“Jebloskan ke penjara!”
Hakim mengetuk palu keras-keras sambil berusaha menenangkan audience. “Tenang! Tenang!” seru Hakim dengan lantang. Audience mematuhi seruan Hakim. Suasana ribut itu mereda, ruangan pengadilan kembali tenang.
“Ehm.” Hakim mengambil alih. “Dalam laporan yang diajukan kepada saya, tim hukum Saudara Garong melampirkan sejumlah foto. Foto-foto ini menunjukkan bukti penganiayaan Saudari Nenek kepada Saudara Garong, yaitu bekas luka memar di kaki dan badan, serta bekas luka cakar di wajah Saudara Garong. Menurut tim dokter, bekas-bekas luka tersebut sesuai dengan tongkat kayu, sepatu boot dan kuku tangan Saudari Nenek.
Dan berdasarkan bukti-bukti ini, maka saya sebagai hakim memutuskan bahwa Saudari Nenek bersalah atas segala tuduhan yang diajukan oleh Saudara Garong. Sesuai hukum yang berlaku dan setelah mempertimbangkan usia terdakwa, saya menjatuhkan hukuman satu tahun penjara atau membayar denda sepuluh juta rupiah.
Sidang selesai. Sekian.”
Keputusan Hakim itu disambut dengan sorak-sorai. Semua orang bertepuk tangan dan saling berpelukan, merayakan penegakan hukum yang baru saja mereka saksikan sendiri secara langsung. Reporter-reporter media segera mengerubungi Nenek. Mereka menanyakan tanggapan perempuan tua itu terhadap keputusan Hakim.
“Hukum negara ini benar-benar absurd!” teriak Si Nenek. “Tidak masuk di akal dan kalian semua sudah gila!”
Teriakan itu tertelan oleh sorak-sorai yang bergemuruh di dalam ruang pengadilan. Dua orang petugas mengapit kedua lengan Nenek. Nenek diseret keluar ruangan dan dibawa pergi untuk dijebloskan ke dalam penjara.
Keesokan harinya dan untuk satu minggu berikutnya, media-media dipenuhi berita seputar pengadilan hari itu. Nenek terlalu miskin untuk membayar denda sepuluh juta rupiah, maka perempuan tua itu terpaksa terkurung selama satu tahun di dalam penjara. Entah apa yang dia alami di dalam sana, tetapi kabar burung berkata, Nenek berganti profesi menjadi garong setelah dia dibebaskan.
Dan satu hari, sebuah koran nasional memasang headline sebagai berikut.
‘SEORANG NENEK MENUNTUT GARONG KE PENGADILAN.
Ibukota, Koran Nasional – Jumat (5/4) pagi, Nenek (63), berprofesi sebagai garong, resmi mengajukan surat tuntutan ke pengadilan. Garong terancam hukuman lima tahun penjara atau denda sebesar lima puluh juta rupiah karena melawan saat digarong. Garong dianggap telah melakukan tindak kriminal dengan melanggar Kitab Undang-undang Penggarongan (KUHPe) pasal kesekian ayat kesekian tentang kebebasan menggarong.
Dalam tuntutannya, Nenek mengaku dimaki, dipukuli dan ditendang saat dia mencoba menggarong Garong. “Seorang garong sekaliber Garong seharusnya memahami betul KUHPe dengan baik. Garong telah membuat malu rekan-rekannya satu profesi di seluruh tanah air,” ungkap Ketua Komite Garong tingkat nasional saat diwawancara. “Kami berharap kejadian ini tidak terulang lagi.”’
Headline itu membuat ibukota gempar. Setiap mulut membicarakannya di setiap sudut.
“Dulu ini pernah terjadi.”
“Oh ya! Satu tahun yang lalu.”
“Menurutmu siapa yang akan menang?”
“Nenek.”
“Benar. Bagaimanapun, garong adalah profesi yang legal.”
“Dan dihormati.”
“Sama legalnya seperti dokter.”
“Sama terhormatnya seperti mentri.”
“Garong pasti kalah.”
“Nasibnya akan sama seperti Tukang Becak dan Nenek. Masuk penjara dan berubah menjadi garong saat keluar.”
“Lho! Tapi dia kan memang seorang garong?”
“Benar juga. Baru kali ini seorang garong dipenjara.”
“Ini peristiwa besar!”
“Peristiwa bersejarah!”
“Kita tidak boleh melewatkannya. Akan menjadi apa nanti Garong setelah keluar dari penjara?”
Jakarta, 3 Maret 2008
untuk Farah, Yana dan Intan
remembering our old days with Ionesco's piece
No comments:
Post a Comment