
Hari ini kulihat seorang gadis duduk di atas dak rumah susun kami. Gadis itu bertubuh mungil, mengenakan celana jeans dan sweater hijau. Kulitnya kecoklatan, rambutnya merah seperti terbakar matahari. Dia memangku satu plastik jeruk mandarin. Sepasang tangannya menggenggam sebuah kamera.
Gadis itu duduk di sana selama berjam-jam. Hampir tidak melakukan apa-apa. Hanya diam di bibir dak sambil menghabiskan jeruk lalu sesekali dia mengambil gambar dengan kameranya. Dia juga tidak bicara,
tetapi sorot matanya bercerita banyak.
Hari ini aku membawa kameraku menikmati pagi di atas dak sebuah rumah susun. Diyan masih tidur saat aku pergi. Aku keluar kamar dengan diam-diam. Kutinggalkan ponselku di rumah, agar tidak ada seorang pun bisa menghubungiku.
Cahaya pagi ini tidak terlalu bagus, langit sedikit berawan. Jeruk yang kubeli di depan terminal juga asam. Sudah berjam-jam aku hanya duduk diam, hampir tidak mengambil gambar. Hanya beberapa kali tadi saat kulihat suami istri sarapan bersama di balik sebuah jendela.
Mataku masih menatap suami istri itu. Sambil aku bertanya, apakah dulu mereka melepaskan sesuatu saat memutuskan untuk hidup bersama?
Kami biasa menjemur pakaian di atas dak. Aku dan keluargaku. Kulakukan setiap pagi saat cuaca bersahabat. Kadang adikku atau ibuku yang melakukannya, tetapi sejak rematik ibu sering kumat, hanya aku dan adikku yang kerap bergantian melakukan tugas itu.
“Ada yang menarik?”
Akhirnya kusapa gadis itu karena kurasa dia juga sudah menyadari kehadiranku di atas dak. Dia menoleh dan membalas sambil tersenyum lebar. Katanya, “Aku pinjam dak ini, ya. Ada yang ingin kuobrolkan dengan kameraku.”
Aku teringat pada Jo saat gadis itu menyapaku. Dia menenteng sebuah ember berisi pakaian basah yang baru selesai dicuci. Seperti Jo kala itu di bawah langit Hong Kong, dia menemaniku di bawah langit Jakarta sambil menjemur pakaian.
“Sepertinya mendung. Apakah kau tidak takut jemuranmu kehujanan?”
Gadis itu memantau langit lalu dia menjawab dengan tenang, “Memang sedikit berawan, tetapi tidak akan turun hujan.”
Jawaban itu membuatku tertarik. “Oh ya? Bagaimana kau tahu?”
“Perasaan saja.”
Tawa gadis itu lepas ke udara bebas. Dia mengambil sebuah jeruk dari kantong plastik di pangkuannya. Jeruk itu dia tunjukkan padaku. “Aku membeli terlalu banyak,” katanya sambil kembali mengulas senyum lebar.
Aku diam beberapa saat dengan canggung, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Senyuman di wajah gadis itu mengembang seakan membujukku. Kuhampiri dia di bibir dak. Kuterima jeruk yang dia berikan lalu aku duduk di sebelahnya. “Aku Faye.”
“An,” jawabku.
Faye menyebut namaku. “Hai, An. Senang berkenalan denganmu.”
Aku mengangguk lalu kami menghabiskan jeruk di dalam plastik berdua sambil menikmati pemandangan Jakarta dari atas dak yang sesungguhnya tidak indah.
Dulu aku berkata kepada Diyan, aku rela membuang fotografi demi dirinya. Aku bersungguh-sungguh mengatakan itu. Bukan sekedar ucapan manis demi bisa hidup bersama dengannya. Rei sedang menyiapkan pernikahan kami. Tanggal itu semakin dekat dan kini aku membutuhkan sedikit waktu bersama kameraku.
Saat matahari tenggelam, baru aku meninggalkan dak itu. Aku baru tahu begitu tiba di rumah, semua orang sibuk mencariku. Tante Indra memarahiku, Rei tidak berhenti berkomentar pedas, tetapi Diyan tidak berkata apa-apa. Dia hanya memelukku dan memberi kecupan di kening.
Diyan tahu.
Hari ini aku menemukan gadis itu lagi di atas dak yang sama. Kali ini dia berdiri di salah satu sisi, mendirikan kamera yang dibawanya dengan alat berkaki tiga. Tidak jauh dari alat itu, tergeletak satu plastik jeruk yang masih segar.
“Hai, An!” Faye menyapaku dengan nada riang. Kubalas sekilas lalu aku mulai menjemur pakaian seperti biasa.
Hari ini cuaca begitu cerah. Langit biru bersemburat putih. An datang saat aku baru akan mulai memotret. Kusapa dia sekilas lalu kubiarkan dia bekerja.
Kameraku menemukan sesuatu yang menarik di bangunan sebelah di wilayah rumah susun yang sama. Di balik sebuah jendela, sepasang suami istri sarapan pagi bersama. Kemarin aku mencoba mengambil gambar mereka, tetapi hasil yang kudapatkan tidak terlalu baik. Langit berawan kemarin.
Pekerjaanku selesai dengan cepat. Aku duduk di dekat pintu sambil memperhatikan Faye. Pagi ini Faye terlihat sibuk sekali. Dia memotret begitu banyak. Entah berapa kali Faye mengganti rol filmnya dan yang membuatku bingung, dia hanya menyorot ke satu arah.
Faye berhenti memotret tepat pukul sepuluh saat matahari mulai tinggi. Aku bertanya padanya setengah berteriak, “Mengapa berhenti? Langit tidak berawan.”
Dia membalas sambil tertawa kecil, “Matahari sudah terlalu tinggi. Kameraku tidak suka panas.”
Aku ikut tertawa. Kuhampiri dia untuk membantunya merapikan peralatan lalu kami duduk di bawah bayangan gedung sebelah sambil menikmati jeruk. “Kau seperti temanku. Dia bernama Jo.”
“Jo?”
Kadang aku kerap bertanya-tanya, bagaimana kabar Jo? Apakah dia masih di Hong Kong atau sudah kembali ke Indonesia? Aku ingin mengiriminya sebuah gambar. Gambar yang dulu kuambil di atas dak apartemen tempatnya tinggal.
“Apa yang tadi kaupotret?” An bertanya.
Aku tidak langsung menjawab. Pandanganku beralih pada jendela di gedung sebelah yang kini kosong. “Aku dan dia di masa depan.”
“Ha?”
Perkataan Faye sedikit membingungkan untukku. Apakah dia melihat masa depan melalui lensa kameranya?
“Hai, An. Apakah kau punya seseorang yang kausukai?”
Aku semakin bingung lalu Faye berkata, “Aku menyukai pemuda ini. Sangat suka. Melebihi kameraku.” Dia memeluk kamera miliknya erat-erat. Tidak kudengar lagi dia berbicara hari itu sampai kami berpisah,
tetapi matanya bercerita banyak.
Kami sedang berdiskusi, apa yang akan kulakukan padanya setelah dia kutinggalkan. Aku ingin menyimpannya, tetapi aku takut tidak bisa menahan diri saat keinginan bepergian di pagi hari muncul kembali. Bisa saja dia kusembunyikan di dalam kotak yang tertutup rapat, kutimbun di dalam gudang, tetapi aku tahu, itu tidak akan berarti banyak.
Kamera itu tidak boleh ada saat cintaku pada Diyan berkurang di usia tua, atau saat masa lalu datang menggelitik, atau saat sisi egoisku bangun mengambil alih.
Mereka berbicara cukup lama. Aku tidak ingin mengganggu, maka kutinggalkan mereka berdua di atas dak. Kulihat Faye keluar dari bangunan rumah susun kami saat matahari terbenam. Dia membawa serta kamera miliknya. Mereka menghampiriku.
Hari ini aku berpisah dengan kameraku.
Hari ini Faye memberiku kameranya. Dia berkata, “Berdirilah di atas dan lihat ke arah bangunan sebelah. Ada aku dan dia di salah satu jendela.
Hari ini aku memilih Diyan.
Jakarta, 19 Maret 2008
Gadis itu duduk di sana selama berjam-jam. Hampir tidak melakukan apa-apa. Hanya diam di bibir dak sambil menghabiskan jeruk lalu sesekali dia mengambil gambar dengan kameranya. Dia juga tidak bicara,
tetapi sorot matanya bercerita banyak.
Hari ini aku membawa kameraku menikmati pagi di atas dak sebuah rumah susun. Diyan masih tidur saat aku pergi. Aku keluar kamar dengan diam-diam. Kutinggalkan ponselku di rumah, agar tidak ada seorang pun bisa menghubungiku.
Cahaya pagi ini tidak terlalu bagus, langit sedikit berawan. Jeruk yang kubeli di depan terminal juga asam. Sudah berjam-jam aku hanya duduk diam, hampir tidak mengambil gambar. Hanya beberapa kali tadi saat kulihat suami istri sarapan bersama di balik sebuah jendela.
Mataku masih menatap suami istri itu. Sambil aku bertanya, apakah dulu mereka melepaskan sesuatu saat memutuskan untuk hidup bersama?
Kami biasa menjemur pakaian di atas dak. Aku dan keluargaku. Kulakukan setiap pagi saat cuaca bersahabat. Kadang adikku atau ibuku yang melakukannya, tetapi sejak rematik ibu sering kumat, hanya aku dan adikku yang kerap bergantian melakukan tugas itu.
“Ada yang menarik?”
Akhirnya kusapa gadis itu karena kurasa dia juga sudah menyadari kehadiranku di atas dak. Dia menoleh dan membalas sambil tersenyum lebar. Katanya, “Aku pinjam dak ini, ya. Ada yang ingin kuobrolkan dengan kameraku.”
Aku teringat pada Jo saat gadis itu menyapaku. Dia menenteng sebuah ember berisi pakaian basah yang baru selesai dicuci. Seperti Jo kala itu di bawah langit Hong Kong, dia menemaniku di bawah langit Jakarta sambil menjemur pakaian.
“Sepertinya mendung. Apakah kau tidak takut jemuranmu kehujanan?”
Gadis itu memantau langit lalu dia menjawab dengan tenang, “Memang sedikit berawan, tetapi tidak akan turun hujan.”
Jawaban itu membuatku tertarik. “Oh ya? Bagaimana kau tahu?”
“Perasaan saja.”
Tawa gadis itu lepas ke udara bebas. Dia mengambil sebuah jeruk dari kantong plastik di pangkuannya. Jeruk itu dia tunjukkan padaku. “Aku membeli terlalu banyak,” katanya sambil kembali mengulas senyum lebar.
Aku diam beberapa saat dengan canggung, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Senyuman di wajah gadis itu mengembang seakan membujukku. Kuhampiri dia di bibir dak. Kuterima jeruk yang dia berikan lalu aku duduk di sebelahnya. “Aku Faye.”
“An,” jawabku.
Faye menyebut namaku. “Hai, An. Senang berkenalan denganmu.”
Aku mengangguk lalu kami menghabiskan jeruk di dalam plastik berdua sambil menikmati pemandangan Jakarta dari atas dak yang sesungguhnya tidak indah.
Dulu aku berkata kepada Diyan, aku rela membuang fotografi demi dirinya. Aku bersungguh-sungguh mengatakan itu. Bukan sekedar ucapan manis demi bisa hidup bersama dengannya. Rei sedang menyiapkan pernikahan kami. Tanggal itu semakin dekat dan kini aku membutuhkan sedikit waktu bersama kameraku.
Saat matahari tenggelam, baru aku meninggalkan dak itu. Aku baru tahu begitu tiba di rumah, semua orang sibuk mencariku. Tante Indra memarahiku, Rei tidak berhenti berkomentar pedas, tetapi Diyan tidak berkata apa-apa. Dia hanya memelukku dan memberi kecupan di kening.
Diyan tahu.
Hari ini aku menemukan gadis itu lagi di atas dak yang sama. Kali ini dia berdiri di salah satu sisi, mendirikan kamera yang dibawanya dengan alat berkaki tiga. Tidak jauh dari alat itu, tergeletak satu plastik jeruk yang masih segar.
“Hai, An!” Faye menyapaku dengan nada riang. Kubalas sekilas lalu aku mulai menjemur pakaian seperti biasa.
Hari ini cuaca begitu cerah. Langit biru bersemburat putih. An datang saat aku baru akan mulai memotret. Kusapa dia sekilas lalu kubiarkan dia bekerja.
Kameraku menemukan sesuatu yang menarik di bangunan sebelah di wilayah rumah susun yang sama. Di balik sebuah jendela, sepasang suami istri sarapan pagi bersama. Kemarin aku mencoba mengambil gambar mereka, tetapi hasil yang kudapatkan tidak terlalu baik. Langit berawan kemarin.
Pekerjaanku selesai dengan cepat. Aku duduk di dekat pintu sambil memperhatikan Faye. Pagi ini Faye terlihat sibuk sekali. Dia memotret begitu banyak. Entah berapa kali Faye mengganti rol filmnya dan yang membuatku bingung, dia hanya menyorot ke satu arah.
Faye berhenti memotret tepat pukul sepuluh saat matahari mulai tinggi. Aku bertanya padanya setengah berteriak, “Mengapa berhenti? Langit tidak berawan.”
Dia membalas sambil tertawa kecil, “Matahari sudah terlalu tinggi. Kameraku tidak suka panas.”
Aku ikut tertawa. Kuhampiri dia untuk membantunya merapikan peralatan lalu kami duduk di bawah bayangan gedung sebelah sambil menikmati jeruk. “Kau seperti temanku. Dia bernama Jo.”
“Jo?”
Kadang aku kerap bertanya-tanya, bagaimana kabar Jo? Apakah dia masih di Hong Kong atau sudah kembali ke Indonesia? Aku ingin mengiriminya sebuah gambar. Gambar yang dulu kuambil di atas dak apartemen tempatnya tinggal.
“Apa yang tadi kaupotret?” An bertanya.
Aku tidak langsung menjawab. Pandanganku beralih pada jendela di gedung sebelah yang kini kosong. “Aku dan dia di masa depan.”
“Ha?”
Perkataan Faye sedikit membingungkan untukku. Apakah dia melihat masa depan melalui lensa kameranya?
“Hai, An. Apakah kau punya seseorang yang kausukai?”
Aku semakin bingung lalu Faye berkata, “Aku menyukai pemuda ini. Sangat suka. Melebihi kameraku.” Dia memeluk kamera miliknya erat-erat. Tidak kudengar lagi dia berbicara hari itu sampai kami berpisah,
tetapi matanya bercerita banyak.
Kami sedang berdiskusi, apa yang akan kulakukan padanya setelah dia kutinggalkan. Aku ingin menyimpannya, tetapi aku takut tidak bisa menahan diri saat keinginan bepergian di pagi hari muncul kembali. Bisa saja dia kusembunyikan di dalam kotak yang tertutup rapat, kutimbun di dalam gudang, tetapi aku tahu, itu tidak akan berarti banyak.
Kamera itu tidak boleh ada saat cintaku pada Diyan berkurang di usia tua, atau saat masa lalu datang menggelitik, atau saat sisi egoisku bangun mengambil alih.
Mereka berbicara cukup lama. Aku tidak ingin mengganggu, maka kutinggalkan mereka berdua di atas dak. Kulihat Faye keluar dari bangunan rumah susun kami saat matahari terbenam. Dia membawa serta kamera miliknya. Mereka menghampiriku.
Hari ini aku berpisah dengan kameraku.
Hari ini Faye memberiku kameranya. Dia berkata, “Berdirilah di atas dan lihat ke arah bangunan sebelah. Ada aku dan dia di salah satu jendela.
Hari ini aku memilih Diyan.
Jakarta, 19 Maret 2008
Hi Kak Windry,
ReplyDeleteAq baru aja slesai baca novel Orange.. haha... truz karna penasaran, isenk" mampir kesini. Ga nyangka di sini ada secuplik cerpen Orange. Foto samar" cewek dsitu siapa sih? haha...
The Girl Behind Lens nya bner" manthap. hahaha... kata-katanya oke banget.. simple tapi mengena. hehe... Btw katanya sedang bwat novel kedua ya? Sukses ya!
Hi M.T.
ReplyDeletesalam kenal.
terima kasih banyak ya. aku senang banget dikunjungi. cerpen ini potongan kedua setelah The Girl Behind Lens I yang juga bercerita tentang Faye. kadang kalau kangen, aku suka menceritakan tokoh-tokoh novelku dalam bentuk cerpen.
Hai...
ReplyDeleteSaya juga mampir ke sini setelah baca novel orange.
Seneng deh liat lanjutannya Orange.
Klo boleh, sering2 dibikin cerpen lanjutan ya ^^
^_^ hihihi oke. thanks for the visit
ReplyDeleteiyaa bnerr2..
ReplyDeleteseneng bgt kalo baca ttg faye ma diyann..
bnykin ygg cerpen ttg mrekaa..
kalo perluu bikin ORANGE 2..
hahahaaXD
good luck sist^^
:)
terima kasih, Felie :)
ReplyDeletecerpen-cerpen lepasan seperti ini kutulis saat aku sedang kangen dengan tokoh-tokoh Orange. Aku ingin sekali menulis sekuel Orange, hanya saja rencana itu harus nunggu giliran karena ada beberapa tema novel yang sudah kurencanakan lebih dulu.
thanks sudah mampir dan baca-baca :)
Aq udh bc orange ne..
ReplyDeleteG ada capek2ny bcny..
Buatin sekuelny dunk..
aku suka banget sm novel orange. aku juga suka sm cerpen ini :)
ReplyDeletethankies :)
Deletebaru beberapa hari yg lalu selesai baca novel orange...
ReplyDeleteakhirnya bisa dapat juga tuh nvl setelah mencari kesana-sini(kkkkk,, curhat)
aq suka sama cerita mbak!! skrg lgi baca yg metropolis...
(maklum,, penggemar baru mbak~ kkkkkk^^)
alurnya gak membosankan,, aplgi rangkaian katanya :D
wawasan mbak luas bgt,, sampe bisa bikin crta kayak metropolis
keren deh!!
jadi faye memilih diyan~~ waah,, cinta mengalahkan passion faye terhadap dunia potretnyaaaa?? woow~~ faye memberikan ap yg gk bisa rera berikan pada diyan??
hohoho~~ di tunggu sequel lainnya ya mbak^^
terima kasih sudah membaca Orange. yeppp, Faye memilih Diyan. which woman could say no to Diyan Adnan, right? :)
Delete