Lelaki itu bernama Jinendra.
Dia berdarah setengah Bali, seper empat Australia, dan seper empat Italia. Matanya biru keabu-abuan. Kulitnya cokelat. Tubuhnya beraroma laut musim panas. Ciumannya seperti segelas anggur.
Jika dia tersenyum, di kedua pipinya muncul lekuk kecil yang samar. Sepasang lesung pipit itu, aku tidak akan lupa, tampak sungguh manis bersama segaris jenggot tipis di dagunya. Dia berbicara dengan bahasa-bahasa yang bercampur aduk. Suaranya berat dan agak sengau. Kata-katanya memikat. Tawanya berlagu naik-turun.
Kami bertemu di Sydney. Kami bertiga; aku, Arlet, dan dia. Ketika itu dia masih bekerja di Quay, satu-satunya restoran Australia yang ada dalam daftar berprestise milik San Pellegrino. Masakan Italia merupakan keahliannya. Saus kesukaannya adalah salsa.
Dia tidak terjangkau pada awalnya. Koki ternama kelahiran Brescian, Alessandro Pavoni, menjadikan dia murid kesayangan dan Josephine Pignolet menganugerahinya penghargaan sewaktu dia baru berusia dua puluh lima tahun. Bagi aku dan Arlet, murid-murid Le Cordon Bleu yang belum pernah memasuki dapur sungguhan, dia seperti mimpi.
Lalu, mimpi itu melebur dengan kenyataan.
Lelaki itu membuka restoran kepunyaannya sendiri di Jakarta, di salah satu sisi ruas Kemang yang paling ramai. La Spezia, nama yang dia berikan pada restoran itu, diambil dari frasa Italia yang berarti rempah-rempah.
Aku tidak ingat, apakah dia yang mengajak kami turut serta atau aku dan Arlet yang menawarkan diri. Tetapi, yang aku tahu persis, di dapur La Spezia itulah kerumitan ini bermula. Dia koki utama, aku penanggung jawab pasta, dan Arlet di bagian makanan penutup. Kami bertiga.
*taken from Afternoon Tea
No comments:
Post a Comment