.

.

Meet Hanna: Laut

"That Feeling" milik machihuahua.deviantart.com


Pesan teks dari mamanya lagi.

Bagaimana terapimu tadi?

Hanna berhenti di depan pintu apartemen tempat dia indekos, di selasar sempit yang temaram dan sepi. Gadis itu lama menatap layar ponselnya, mencari jawaban yang pas untuk pertanyaan mamanya–atau barangkali menimbang-nimbang apakah pertanyaan mamanya itu perlu dijawab. Pada akhirnya, dia membalas:

Aku sudah sampai di apartemen.

Setelah kalimat itu terkirim, dia merogoh tas, berusaha menemukan kunci di antara buku-buku dan alat-alat tulis. Namun, dia mengurungkan niatnya.

Hanna melirik pintu logam bercat abu-abu muda di salah satu ujung selasar. Di balik pintu itu, ada tangga darurat. Dan, di ujung paling atas tangga darurat tersebut, ada tempat terbaik yang bisa ditemukan di bangunan ini–tempat yang dahulu sering dia datangi sewaktu senja.

Saat ini, pukul setengah enam sore. Tiba-tiba, dia ingin melihat senja.

Selain Hanna, tidak banyak penghuni apartemen yang tahu kalau bangunan tempat mereka tinggal memiliki taman kecil di atap. Kini, keadaannya tidak terlalu baik, tanaman-tanaman di pot telah kering dan papan-papan kayu yang melapisi lantai beton perlu dipelitur ulang, tetapi taman itu masih mampu menawarkan suasana tenang dan pemandangan kota meskipun hampir tidak ada yang peduli.

Hanna disapa udara hangat dan langit jingga begitu dia tiba di taman itu. Matahari tampak sangat dekat dengan cakrawala. Burung-burung terbang beriringan dan gedung-gedung tinggi berbaris membentuk siluet kelabu di kejauhan.

Dia berjalan ke tepi. Dia punya tempat duduk kesayangan di sana, sebuah bangku panjang berwarna biru pupus dari besi yang sandarannya melengkung dan catnya sedikit mengelupas. Bangku itu menghadap ke barat dan diselimuti debu tipis.

Hanna menyibakkan debu itu sebelum membiarkan tubuhnya direngkuh bangku kesayangannya. Lalu, dia bergeming memperhatikan semburat jingga di hadapannya bertambah pekat perlahan-lahan, diam menunggu momen kala senja memperlihatkan warna terbaiknya. Dia berpikir, betapa syahdunya tempat ini, betapa damainya. Seolah-olah, hanya dengan berada di sini, dia bisa melepaskan diri dari luka.

Namun, tentu saja tidak semudah itu dia bisa melepaskan diri dari luka. Bahkan, dia tidak tahu apakah dia akan bisa melepaskan diri. Luka telah meresap terlalu dalam ke jiwanya, terlalu jauh. Satu-satunya jalan keluar, barangkali, adalah laut.

Ah. Laut.

Hanna menjauhkan pandangannya, mencari-cari sesuatu di cakrawala. Di antara ratusan rona hangat senja, dia bertanya-tanya, adakah jejak laut?

Sayangnya, dia tidak mendapati garis biru di sana. Dia membiarkan mulutnya membisikkan desahan kecewa. Dadanya sesak seiring paru-parunya mengempis.

Lalu, dia mendengar rangkaian nada. Melodi-melodi indah yang sarat emosi.

Petikan gitar.

Dan, itu bukan sembarang petikan gitar. Itu petikan gitar yang belum lama Hanna dengar dari rekamannya saat dia berada di ruang duduk Lorraine. Kali ini, petikan gitar itu amat dekat, berasal dari atap yang sama.

Hanna bangkit dari tempat duduk. Pandangannya menjelajahi atap. Awalnya, dia tidak melihat siapa-siapa. Akhirnya, dia menemukan asal petikan gitar itu di balik barisan bugenvil yang meranggas.

Seorang pemuda duduk di tepi timur, memangku gitar. Tubuhnya berbalut kaus putih dan jeans pupus, berpendar samar kekuning-kuningan dihujani sinar senja. Wajahnya tampan, memikat. Garis rahang, tulang pipi, juga alisnya tegas dan sempurna menyerupai hasil pahatan. Rambutnya bergerak-gerak pelan dibelai angin, sesekali menutupi matanya, sesekali menampakkan sepasang bola cokelat yang menawan.

Tiba-tiba, sepasang bola mata cokelat itu menatap Hanna. Melodi-melodi indah menguap dan senyap tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera mengambil alih suasana.

Mereka berdua tertegun. Hanna dan pemilik sepasang bola mata cokelat itu. Pandangan mereka bertaut lama, tetapi bukan karena Hanna menginginkannya. Hanna terlalu terkejut, terlalu takut untuk mengalihkan pandangannya, apalagi bergerak. Dia, bahkan, lupa bernapas. Dia berdiri tegang dan gemetar di tempatnya, tidak tahu bagaimana cara melarikan diri dari situasi ini–dari tatapan pemuda itu.

Pemuda itu pun seperti tidak mau membiarkan Hanna lari. Pemuda itu tidak berkedip sama sekali dan sorot matanya begitu kuat seakan-akan dia ingin merenggut jiwa Hanna dengan tatapannya.

Lari.

Hanna memerintahkan tubuhnya untuk bergerak.

Pergi dari tempat ini, Hanna. Sekarang.

Namun, itu sia-sia. Tubuhnya tidak mau menurut.

Hanna mulai panik. Pikiran-pikiran buruk merasuki kepalanya, bayangan-bayangan mengerikan. Sejak peristiwa yang menimpanya setahun lalu, belum pernah dia berdua dengan lelaki di satu tempat seperti ini.


*taken from Hanna-Kai

7 comments:

  1. Windryyyy, gayamu sedikit lain di sini, atau mungkin hanya perasaanku ajah. padahal waktu baca bagian Kai, kamu banget :p.

    Tapi aku pre order dulu deh, satu buku dengan tandatanganmu *ngoleksi tanda tangan windry* kekekeke... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. masa sih, Yu? hihihi aku malah nggak nyadar. mungkin terbawa karakter Hanna XD. Hanna-Kai belum tahu kapan terbitnya, Yu. sudah selesai diedit redaksi sih. tapi entah apakah sudah masuk layout :D *pasrah*

      Delete
  2. Keren... Ditungguh, Mbak, novel barunya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih. doakan saja si novel baru cepat terbit :D

      Delete
  3. aaaakkkkkkkkkkkkk.........segeralah terbiiiiiiiitttttt >,<

    ReplyDelete
  4. ide sudah ada, outline jg ud sudah ada kak, tapi sampe skrang tulisannya gak jadi-jadi minta sarannya dong kak
    by mul

    ReplyDelete