.

.

(Excerp) Metropolis

HARI ini Leo Saada dikembalikan ke bumi. Jasadnya yang digosongkan api disembunyikan di dalam peti kayu, lalu diarak dari sebuah gereja kecil di daerah pinggiran Jakarta ke permakaman pribadi milik Keluarga Saada. Pemakaman Leo dipimpin oleh seorang pastor tua yang pantas dikuburkan lebih dahulu. Seluruh keluarganya yang tamak menyaksikan, begitu pula teman-teman terdekatnya yang gemar berutang, relasi-relasi bisnis, dan anggota geng yang Leo pimpin sebelum mati.

Di sekitar lokasi pemakaman, berjaga sejumlah polisi. Mobil-mobil mereka berbaris di pinggir tanah luas yang dipagari kamboja kuning dan tersaput rumput hijau yang terpangkas rapi. Bram yang memimpin polisi-polisi tersebut. Dia berdiri bersandar pada mobil dinasnya. Matanya memperhatikan kumpulan orang berpakaian serba hitam yang sedang berdoa di tengah permakaman. Di tengah-tengah kumpulan itu, dia mengenali Ferry, anak tunggal Leo. Ferry berdiri paling dekat dengan peti mati ayahnya dan lelaki muda berdarah Sulawesi itu tampak sangat terpukul.

“Aku tidak pernah melihat pemakaman. Ini yang pertama.”

Suara lirih Erik terdengar tiba-tiba, membuat perhatian Bram teralih. Polisi wanita yang memiliki nama maskulin berkat keeksentrikan orang tuanya itu berdiri di sebelah Bram sambil menunjukkan raut sedih dengan cara feminin. Mata Erik menatap pemandangan yang sama dengan yang dilihat Bram barusan. Bram tidak heran jika apa yang dikatakan oleh Erik itu benar. Erik terhitung baru di kesatuan mereka dan sebelum ini polwan itu lebih banyak mengerjakan tugas administratif.

“Kalau begitu, kau beruntung,” Bram memberi tanggapan seraya mengeluarkan sebungkus sahabat dari saku, “karena ini bukan pemakaman biasa. Ini pemakaman Leo Saada, penguasa wilayah 10.”

Dia menyulut satu batang rokok. Orang-orang di tengah permakaman masih sibuk berpura-pura khusyuk dengan wajah tertunduk dan tangan menghapus air mata buatan. Mereka bisa menipu Ferry dengan cara seperti itu. Terkadang Ferry bisa menjadi sangat naif. Tetapi, Bram seorang polisi. Dia dilatih untuk selalu berprasangka buruk, termasuk mencurigai alasan orang-orang tersebut menghadiri pemakaman Leo. Dan, percayalah, dia sangat terlatih.

Saat ditemukan meninggal, usia Leo Saada tidak jauh dari 57 tahun. Sebagai salah satu pemimpin mafia narkotika di Jakarta, Leo sangat diperhitungkan. Wilayah yang dia miliki adalah wilayah terbesar dan terbaik. Bisnis yang dia kelola selama dua puluh tahun ini berkembang menjadi sangat besar. Leo memiliki jaringan yang luas: Bangkok, Hong Kong, dan Laos. Selain itu, organisasinya didukung oleh sistem pengelolaan keuangan yang rapi, terpercaya, dan tidak terlacak.

“Orang-orang itu, Erik, mereka datang bukan untuk menghadiri pemakaman.”

“Bukan untuk menghadiri pemakaman?”

Bram mengangguk. “Begitulah kira-kira,” jawabnya.

Dia mengisap rokok di tangannya. Tidak sengaja, matanya menangkap sosok perempuan di kejauhan yang berdiri terpisah dari Geng Saada. Perempuan itu bertubuh tinggi, kurus, dan berkulit agak gelap seperti warna kulit yang terlalu sering menantang matahari. Wajahnya cukup cantik, tetapi bukan itu yang membuat Bram tertarik. Perempuan itu yang sedang ikut memperhatikan pemakaman Leo dengan sikap sembunyi-sembunyi.

Bram mengerutkan alis. Dia tidak mengenali perempuan itu.

“Bram,” Erik memanggilnya sambil menunjuk ke arah dua mobil kapsul yang berhenti di tepi permakaman.
Bram melihat sejumlah orang keluar dari mobil-mobil tersebut, sekitar tujuh atau delapan orang. Dia mengenali mereka. Mereka orang-orang dari Geng Gilli. Dan, dia sadar, harus ada yang mencegah mereka memasuki permakaman atau akan terjadi pertumpahan darah.

Geng Gilli, atau biasa dikenal sebagai geng wilayah 11, sama seperti Geng Saada. Mereka baru saja kehilangan pemimpin. Maulana Gilli mati dibunuh penembak misterius satu bulan yang lalu. Kepalanya pecah dan pelaku penembakan itu belum tertangkap. Buruknya hubungan antara kedua geng menimbulkan kecurigaan di masing-masing kubu. Rumor beredar, Geng Saada terlibat dalam penembakan Maulana Gilli, dan kini rumor itu berbalik saat Leo Saada mati terpanggang dalam sebuah kecelakaan mobil.

“Mundur, Gilli. Sedang ada pemakaman di sini.”

Bram menghadang gerombolan yang baru datang itu sebelum mereka memasuki tanah milik Keluarga Saada. Pasukan kecil polisi yang dia pimpin berjaga tidak jauh darinya.

Pemimpin baru Gilli tertawa. Suaranya serak seperti orang yang sedang sakit tenggorokan. Lelaki itu memiliki perawakan kurus kering. Penampilannya seperti aktor-aktor dalam film Mandarin keluaran tahun 90-an; necis dengan kemeja warna mencolok dan celana berbahan licin, klimis oleh minyak rambut, serta sanggup membuat orang menolak bernapas berkat wangi parfumnya. Kroco-kroco yang mengekor di belakangnya berpenampilan serupa sehingga mereka seperti gerombolan penggemar berat Andy Lau yang sedang melakukan pesta kostum.

“Oh ya, aku tahu. Justru untuk itu aku datang,” kata Gilli, “Tapi jangan khawatir, Pak Polisi. Aku tidak akan bikin keributan.”

Bram mendengus. Omong kosong, pikirnya. Terakhir kali Geng Gilli dan Geng Saada bertemu, terjadi baku hantam yang menjatuhkan banyak korban dari masing-masing kubu. Geng Saada harus menyewa pikap untuk mengangkut saudara-saudara mereka yang mati, lalu mereka membunuh sekalian orang yang menyewakan pikap itu agar tidak ada yang bicara. Geng Gilli lebih berengsek lagi. Mayat orang-orang mereka malah dibiarkan begitu saja di jalanan sementara mereka kabur sehingga pada akhirnya polisi yang harus membereskan itu semua.

Sebenarnya sudah terlambat untuk meminta Gilli angkat kaki dari permakaman itu. Ferry Saada telanjur mengetahui keberadaan Gilli dan kini anak satu-satunya Leo itu menghampiri tamu tak diundangnya bersama empat orang anggota Geng Saada yang bertubuh besar dan tegap. Mereka seperti petinju yang siap naik ring, tangan terkepal dan mata menatap tajam ke arah lawan.

“Mau apa kau?” Ferry menghardik Gilli begitu mereka bertemu.

Gilli tersenyum menyambut kedatangan Ferry. “Tenang, Ferry. Aku datang untuk berkabung, balasan atas kunjunganmu pada pemakaman kakakku bulan lalu,” ejeknya.

“Puki!” Ferry menatap curiga lawan bicaranya. “Katakan dengan jelas! Apa kalian yang bertanggung jawab atas kematian ayahku?” tanyanya.

Gilli menjawab, “Sekarang skor kita satu sama.”

Wajah Ferry berubah merah padam. Lelaki itu mengeluarkan pistol dari balik baju. Dia menodongkan senjata itu ke muka Gilli, lalu dengan sigap orang-orang di belakang Gilli balas mengacungkan senjata, begitu juga dengan kelompoknya sendiri. Sejurus kemudian, suasana di tepi permakaman itu berubah tegang. Kedua geng siap baku tembak, tetapi mereka masih menahan diri agar tidak menarik picu pistol mereka.

Ada Bram dan pasukan kecil polisi di sekeliling mereka.

“Turunkan senjata kalian!”

Ferry dan Gilli mengalihkan perhatian kepada Bram. Sesaat, keduanya terlihat ragu, tetapi kemudian mereka menuruti perintah Bram. Anak buah mereka mengikuti.

“Seperti biasa, kau tidak suka melihat keributan, Pak Polisi?” ledek Gilli.

“Pulanglah dan bawa gerombolanmu, Gilli, atau kubuat kau menginap di Polda malam ini,” ancam Bram.

Gilli menurut walau sambil berlagak. Sebagai polisi yang menyimpan banyak kartu as, Bram memang ditakuti oleh banyak mafia narkotika, termasuk Gilli dan Saada. “Yah, aku juga sudah cukup berkabung,” kata Gilli. Lalu, lelaki itu beranjak pergi dari lokasi pemakaman Leo Saada bersama semua anak buahnya.

Sepeninggal Gilli, Bram berkata kepada Ferry, “Aku yang tangani kasus ayahmu. Kurasa, Gilli tidak terlibat dalam masalah ini.”

Ferry menolak ide itu mentah-mentah. “Omong kosong, Bram. Kalau ada yang diuntungkan dengan kematian ayahku, itu pasti Gilli.”

Bram mengenal Ferry bukan baru satu atau dua hari. Dia mengenal Ferry hampir selama masa bertugasnya di Sat Reserse Narkotika. Dia hafal sifat lelaki itu dan tahu tidak ada gunanya berdebat saat penyakit keras kepala Ferry sedang kambuh. “Pemakaman ayahmu belum selesai. Lanjutkan sana,” kata Bram. Dia menambahkan, “Oh, ya. Aku menemukan petunjuk tentang penyelundupan yang kau lakukan di pelabuhan. Kali ini kau tidak akan lolos.”

Ferry tampak terkejut saat mendengar ucapan Bram yang terakhir, tetapi tidak berkata apa-apa untuk menanggapi itu. Lelaki itu hanya menepuk bahu Bram, lalu melangkah kembali ke tengah permakaman untuk meneruskan pemakaman ayahnya.

Bram kerap merasa aneh saat menilai sendiri hubungannya dengan Ferry. Dia tidak tahu apakah mereka kawan atau lawan, tetapi dia paling senang berurusan dengan orang-orang Saada. Tidak seperti pengedar-pengedar narkotika yang lain, orang-orang Saada tidak suka menggunakan cara licik. Mereka berperang secara terbuka dan Bram menghargai itu.

Pemakaman Leo dilanjutkan dan berakhir tidak lama kemudian. Selain keributan kecil yang ditimbulkan Geng Gilli, hanya batuk berkepanjangan sang pastor yang sempat mengganggu jalannya pemakaman tersebut. Sebelum Bram meninggalkan lokasi, dia sempat mencari-cari perempuan cantik berkulit gelap yang dilihatnya tadi. Perempuan misterius itu sudah pergi dan untuk sementara Bram tidak ingin ambil pusing. Dia masuk ke mobilnya, lalu meminta kepada Erik yang sudah siap di balik kemudi untuk membawa mereka kembali ke kantor.


AJUN Komisaris Besar Polisi Moris Greand pensiun pada hari yang sama. Bram baru ingat saat dia tiba di rumah malam itu dan menerima pesan suara yang Moris tinggalkan lewat telepon. Dalam pesannya Moris berkata, “Bagaimana pemakaman Leo? Terjadi sesuatu? Curut itu hidup lagi atau semacamnya? Ha ha ha. Aku tunggu sampai siang, tapi kau tidak juga kembali ke kantor. Hari ini aku pensiun, Anak Muda.”

Bram tersenyum mendengar pesan Moris. Moris adalah atasannya di Sat Reserse Narkotika selama enam tahun dan sudah seperti ayahnya sendiri. Lelaki itulah yang membimbingnya serta mendukung kariernya di kepolisian sampai dia menjadi seperti sekarang. Bram sangat menyayangkan Moris harus pensiun, tetapi Moris memang sudah tua dan mulai besok dia tidak akan menemukan lelaki itu lagi di kantor mereka.

“Oh, ya. Aku punya berita buruk untukmu. Penggantiku nanti adalah Burhan dari Reskrimsus.” Moris melepaskan tawa lagi. “Siap-siap saja, Anak Muda. Dia akan membuat perjalanan kariermu ke depan lebih berat. Dan satu lagi. Cepat kau bereskan kasus penyelundupan yang dilakukan Ferry. Sampai kapan kau akan menahan bukti itu?” Setelah itu, pesan Moris berakhir.

Bram meninggalkan pesawat telepon. Dia melangkah menuju dapur untuk mengambil satu botol air mineral dari dalam kulkas. Ditenggaknya air itu sementara dia memikirkan perkataan Moris. Bram bukan tidak ingin menangkap Ferry, tetapi dia yakin bahwa kartu as yang sedang disimpannya ini akan berguna saat dibutuhkan. Selama ini, Ferry telah menjadi lawan transaksi yang menguntungkan baginya. Lelaki itu sering menawarkan informasi berharga kepadanya dan Bram harus selalu siap dengan sesuatu di genggaman untuk ditukar.

Ferry sangat dikenal di kalangan pelaku bisnis gelap Jakarta. Di dunia mafia Eropa, orang seperti Ferry biasa dijuluki ginnetti, lelaki flamboyan dengan koneksi tersebar luas. Ferry menjalani gaya hidup tinggi; memakai pakaian mahal dan mengendarai mobil mewah, beredar dari satu klub malam ke klub malam lainnya, dikelilingi perempuan-perempuan cantik; dan mengenal banyak orang. Akan tetapi, Ferry tidak bisa berbisnis sebaik Leo dan itu sangat disayangkan oleh banyak pihak di kalangan mafia.

Leo mengalami kecelakaan mobil di salah satu tol dalam kota. Mobilnya terbakar habis. Leo mati di tempat bersama sopir dan dua orang anggota kelompoknya. Tim forensik kepolisian menemukan peluru di sekitar lokasi kejadian maka dengan mudah Bram mengambil kesimpulan: kematian Leo bukan kecelakaan. Tidak ada keraguan mengenai hal itu. Awalnya, Bram menyangka kematian Leo adalah dampak dari perseteruan yang biasa terjadi antarmafia narkotika, tetapi kemudian dia mendapati fakta bahwa ada lima orang pemimpin geng lain selain Saada dan Gilli yang mati dalam satu tahun belakangan ini. Jumlah itu terlalu besar bagi Bram, maka dia mulai menduga kasus yang sedang ditanganinya ini tidak sesederhana yang dia pikirkan.

Bram kembali ke ruang tengah setelah selesai dengan satu botol air mineralnya. Dia membuka jendela di salah satu sisi ruangan dan membiarkan udara malam yang dingin masuk bersama suara kendaraan yang terdengar lamat-lamat. Diambilnya asbak dari atas meja, lalu dia duduk di bibir jendela, menyulut sebatang rokok, dan membiarkan dirinya larut dalam lamunan.

Dia teringat kembali kepada perempuan misterius di permakaman.

Siapa perempuan itu?

No comments:

Post a Comment